PENGAJIAN di diskotek, agar tidak cuma hura-hura? Ini langka. "Para jemaah diskotek harap ikut pengajian di Studio East." Hampir saja seruan itu diumumkan Radio Ardan, Bandung. Dalam rangkaian acara Paket Ramadan kali ini, radio itu hendak bikin kejutan: mengadakan pengajian di diskotek dan lomba mengaji lewat telepon. "Tujuannya untuk menarik minat remaja pada agama," kata Yudhi Budhi Harsanto, Direktur PT Radio Ardan. Begitu Ramadan tiba, banyak pihak sibuk mencari acara yang pas, terutama bagi pengelola radio dan yang suka ngebrik. Radio Ardan misalnya. Di Jakarta, antara lain, Prambors Rasisonia juga sibuk menyusun acara. Mereka kenal persis siapa penggemarnya. Mereka sama-sama digandrungi remaja yang umumnya masih sekolah di SMP dan SMA -- terutama dari keluarga menengah atas. Dengan kata lain, jemaah radio-radio itu adalah mereka dari kalangan Si Boy atau Si Doi --sebutan ngetop di tengah kawula muda -- yang suka ke disko, ngeceng, dan hura-hura. Tapi memang tak mudah meluncurkan dakwah untuk Si Boy dan Doi. Kalau kelewat menggurui, pendengarnya menampik. Membiarkannya sama sekali? hasilnya bisa tidak menentu. Tapi para pengelola radio punya resep. "Yang perlu," kata Tutut dari Prambors, "adalah sedikit ngepop." Dengan resep itu pihaknya melempar acara yang dinamai Opus, Obrolan Puasa. Lewat Opus, Prambors mengajak pendengarnya berbincang menunggu saat berbuka. Acara itu dilakukan setiap tahun. Semula acara itu disebut Priska, yakni hasil kerja Prambors dan Riska (Remaja Islam Sunda Kelapa). Kemudian diganti Opus. Sepintas lalu, yang diperbincangkan hanya soal keseharian biasa. "Sebenarnya kita ngomong agama," kata Tutut, penanggung jawabnya. Suasana Opus memang ngepop. Dengar temanya: "Buat apa, sih, salat?" dan "Cewek cantik di mata cowok" atau MBA yang berarti Married by Accident. Dengan tema tertentu seperti itu, seorang mubalig atau pembicara berbincang dengan tiga remaja di Studio Prambors. "Mereka hanya memancing dialog." Lalu para pendengar boleh mengajukan pertanyaan apa saja lewat telepon. Semua percakapan dalam telepon disiarkan Prambors. Radio Ardan juga memanfaatkan jasa telepon. Begitu pihaknya mengumumkan lomba mengaji, telepon Radio Ardan berdering. "Setiap hari pesertanya sampai 25-an orang," kata Pedet, penanggung jawab Paket Ramadan. Syaratnya gampang Setiap serta cukup menelepon Radio Ardan, dan membacakan Quran. Paling banyak sepuluh ayat dan waktunya sekitar lima menit. Seluruh pembacaan Quran itu langsung di-on air-kan. Cara itu hanya untuk babak penyisihan. Dari ratusan peserta, Radio Ardan menyeleksi menjadi 15 orang saja. Lalu mereka harus adu hebat baca Quran di Studio. "Kalau lewat telepon terus, kami tak tahu siapa sebenarnya yang ngaji," kata Pedet. "Bisa saja yang mendaftar adiknya, yang ngaji kakaknya." Selain itu, juri merasa perlu membaca gerak bibir. Itu tidak bisa melalui telepon. Mungkin justru karena tak seserius MTQ, maka peserta lomba mengaji ini membludak. Sebab fals-pun boleh. Seorang peserta, Lesly Puspitasari, berkisah. Mulanya siswi kelas 2 SMA Pasundan III Bandung itu iseng menilpon studio. Eee . . . ditawari ikut lomba mengaji. "Saya kan bisa ngaji," kata gadis tomboy itu. "Dulu belajar di rumah kakek." Maka, ia mencoba membaca lima ayat saja. Sehari-hari Lesly suka bersepatu roda. Juga, Lesly suka ke pesta. Ke diskotek? "Tidak." Agaknya Radio Ardan bernafsu menggaet anak-anak diskotek buat menengok agama. Studio East, salah satu diskotek paling populer di Indonesia, sudah dihubungi. Mereka bersedia dan malah senang. Penceramah juga sudah diancarkan yang mengerti tabiat anak muda. Walau tanggal sudah ditentukan, 14 April, hingga kini tak kunjung terlaksana. Sebab, menurut Yudhi, penceramahnya mengaku "padat acara". Mencari penceramah pengganti tak mudah. Ada pengalaman tak enak. Sewaktu diskotek itu baru dibuka dulu H. Miftah Faridl membaca doa. Maka, semua meributkan Ketua MUI Kodya Bandung itu. "Bagaimana, sih Pak Miftah, kok tempat maksiat didoakan supaya maju," kata Yudhi mengutip polemik beberapa waktu lampau. Sepintas diskotek memang mengesankan maksiat, sehingga sejumlah orang mengimbau Radio Ardan membatalkan pengajiannya. Tapi Prambors tidak menunggu diimbau. "Semula kami terpikir untuk bikin buka puasa bersama di diskotek," kata Nia Suwardi, Manajer Program Prambors. Setelah dipertimbangkan lagi, mereka mencoret acara itu. "Rasanya kok nggak enak. Nanti bisa rusak semuanya. Agamanya sebagai agama dapat rusak. Diskonya sebagai disko juga rusak." Akhirnya mereka mengadakan opus. Memang santai, tapi kadang bahasan agamanya menukik tajam. Seperti dikatakan Zakky Mubarak, seorang penceramah di Prambors, Opus memungkinkan para remaja tertarik pada agama. Tema dan sarananya ia anggap cocok. Setiap pendengar Prambors, yang punya telepon, bisa melontarkan segala macam pendapat dan pertanyaan, bahkan yang berbau nakal. "Terkadang pertanyaannya sama sekali tidak terduga. Kalau tak menguasai masalah, penceramah bisa gelagapan," kata Zakky. Banyak masalah serius terlontar dalam acara yang nampaknya santai itu. Pada hari pertama Opus misalnya. Seorang peserta bertanya. "Kita lahir ke dunia kan nggak minta. Ngapain kita harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita?" Ada lagi, "Kalau ortu (orangtua) superbadung apakah anak tetap harus menghormatinya?" Acara di radio-radio itu seperti kurang berarti. Ternyata, tak demikian. Untuk kalangan Si Boy dan Doi, terus terang memang diperlukan cara dakwah tersendiri. Ini dibenarkan Tutut. "Setelah acara begini," katanya, "setiap tahun kami selalu kebanjiran pasien yang haus agama." Para pasien itu tentu tidak lagi ditangani Prambors tapi disalurkan ke Masjid Sunda Kelapa. Zaim Uchrowi, Budiono Darsono (Jakarta), Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini