KINI Maulana tergolek di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Matanya malas melihat ke kiri dan kanan. Anak berusia dua tahun, yang dulu lincah dan suka berceloteh itu, diduga menderita cacat mental sejak dua tahun silam. Kejadian yang menimpa si bungsu dari lima bersaudara ini bermula dari imunisasi yang digalakkan Departemen Kesehatan. Ketika itu, 14 Desember 1989, sekitar pukul 10.00, dua petugas Dinas Kesehatan Kota (DKK) Pontianak, Kalimantan Barat, melakukan imunisasi keliling. Mantri Jamil, seorang dari petugas tadi, memberi suntikan vaksinasi DPT dan BCG sekaligus kepada Maulana. Ke dalam mulut Maulana, yang kala itu berusia 45 hari, juga diteteskannya vaksin polio. Ternyata reaksinya cukup berat. Tubuh Maulana tidak mengalami panas sesaat, seperti biasa dialami anak-anak yang diberikan imunisasi. Yang dialami Maulana justru kejangkejang dan panas tubuhnya sampai 40 derajat Celsius. "Dan itu berkepanjangan," kata Lina, ibunya. Karena panas itu tidak kunjung melorot, kemudian Lina membawa anaknya itu ke rumah bersalin Bunda, tempat Maulana dilahirkan. Di sini, malah seorang bidan menyarankan kepadanya agar cepat membawa bayi tersebut ke dokter spesialis anak. Dari dokter itu, seingat Lina, Maulana diberi resep Paratamol sirup dan vitamin B kompleks. Hasilnya cespleng. Panasnya turun. Tetapi, setelah obat itu habis, tubuh Maulana kembali menggigil panas. Karena anaknya tidak kunjung sembuh, Lina sebulan bolak-balik membawanya ke empat dokter. Namun, kondisi Maulana tidak pulih seperti layaknya teman sebayanya yang ceria. Ia lemah. Kemudian Lina membawa Maulana ke RS Dokter Sudarso, Pontianak, untuk mendapatkan perawatan khusus. Di sini anak ini diinfus, karena mulutnya sudah tidak mampu lagi menerima makanan dan minuman. Malah, anak ini 17 hari pingsan. Ketika sadar, tatapan matanya kosong. Bila ada nyamuk mampir, ia tak berkedip. Kondisinya, setelah 23 hari diopname di rumah sakit itu, tidak ada kemajuan. Kemontokan Maulana makin kempis. "Saya hampir putus asa walau sudah habis-habisan," kata Lina. Pedagang ikan ini mengaku telah menghabiskan dana sekitar Rp 12 juta untuk merawat Maulana. Derita yang dialami Maulana didengar Wali kota Pontianak dan aparat dinas kesehatan. Akhirnya, muncul surat keterangan dari Pak Wali untuk memberi keringanan biaya pengobatan kepada anak itu. Maulana bersama ibunya kemudian berlayar ke Jakarta. Sejak pertengahan bulan lalu, anak ini menjalani perawatan di RSCM. Di rumah sakit ini Maulana mendapat pemeriksaan secara teliti. Paru-paru dan kepalanya, misalnya, dironsen. Darahnya diambil untuk dicek di laboratorium. "Menurut dokter, anak saya ibarat rumah yang terbakar," ucap Lina. Mengutip keterangan dokter yang merawat anaknya, ibu yang berusia 32 tahun itu mengatakan bahwa salah satu di bagian syaraf Maulana sudah tidak berfungsi. Penyebabnya ada dua kemungkinan. Pertama, karena pemberian vaksin yang sudah kedaluwarsa. Kedua, anak tersebut masih terlalu kecil untuk menerima suntikan DPT. "Untuk itu, kabarnya Departemen Kesehatan akan melakukan pengecekan," tambah Lina. Rupanya, yang dialami Maulana selama ini tak diketahui Jamil. Ia mengaku melakukan imunisasi kepada Maulana dengan cara memberi tiga vaksin sekaligus. Tindakannya ini, kata lelaki berusia 38 tahun itu, tak menyalahi prosedur. "Masalah ini urusan atasan, saya tidak bisa menjelaskannya," kata mantri di Puskesmas itu. Ia sudah dipanggil atasannya gara-gara kasus tersebut. Menurut Dokter Fattah Rahman Noor, Kepala DKK Pontianak, yang dialami Maulana dapat terjadi bukan karena imunisasi. "Mungkin Maulana ketika itu sudah dalam masa inkubasi polio atau ensefalitis," ujar Fattah kepada Djunaini K.S. dari TEMPO. Ensefalitis adalah radang otak yang ditunjukkan dengan gejala koma, demam, dan kejang. Repotnya, menurut Fattah, kondisi itu memang sulit dibuktikan. Akan halnya Maulana yang diduga sudah mengalami cacat sejak ia dilahirkan, dibantah ibunya. Sebab, pada usia 36 hari, Maulana pernah memenangkan kontes bayi sehat di kampungnya. Hal itu juga dibenarkan Agnes T. Sutarno, bidan yang menolong kelahiran bayi itu. Ia lahir dengan normal, berat 3,8 kilogram dan panjang tubuhnya 51 cm. "Maulana segera menangis dan gerak tubuhnya kuat," kata Agnes. Setelah dua minggu mendapat perawatan fisioterapi di RSCM, kini kondisi Maulana banyak kemajuan. Matanya yang semula hanya mendelik dan tak mampu berkedip, misalnya, sudah dapat melirik. Dan yang menggembirakan, panas badannya sudah normal. "Hanya, pengobatannya itu menurut dokter harus dilakukan selama lima tahun," kata Lina. Walaupun begitu, ibu muda ini merasa plong, karena biaya perawatan Maulana ditanggung Departemen Kesehatan. Dalam pada itu, Dokter Gandung Hartono, Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, meragukan penyakit yang diderita Maulana karena akibat imunisasi. Sebab, pemberian suntikan BCG dan DPT plus tetasan polio pada usia 45 hari secara teoritis tidak salah. "Meskipun kemungkinan imunisasi berisiko pada selaput otak, tapi itu sangat kecil," katanya. Itu pun kalau vaksin yang diberikan sudah rusak, seperti kedaluwarsa dan cara menyimpannya salah. Hingga tahun 1990 tercatat 4,28 juta bayi di Indonesia yang telah diimunisasi dan belum ada laporan yang meninggal dunia atau cacat setelah mengikuti program tersebut. Yang ada hanya angka perkiraan bahwa dari jumlah bayi yang sudah diimunisasi, kemungkinan menderita seperti Maulana hanya sekitar 70 bayi. Bagaimana kalau Maulana terbukti korban dari imunisasi? "Berarti hanya baru dia saja dan persentasenya kecil," kata Gandung Hartono. Gatot Triyanto dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini