Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Tewasnya bayi di mulut ibu

Angka kematian bayi di ntb tinggi. penyebabnya pemberian makanan tambahan yang terlalu dini, dan kebiasaan mengunyah makanan oleh ibunya sebelum diberikan. perlu mengubah perilaku masyarakat tersebut.

21 Maret 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI di Nusa Tenggara Barat (NTB), seorang ibu mengunyah makanan lebih dulu sebelum disuapkan pada bayinya. Kebiasaan itulah agaknya yang mengatrol angka kematian bayi paling tinggi di Indonesia. Itu dibuktikan lewat survei kesehatan rumah tangga pada tahun 1986: dari 1.000 kelahiran, bayi yang meninggal dunia itu menunjukkan angka 120,9. Adapun angka rata-rata untuk seluruh Indonesia sekitar 71,8. Padahal, menurut Dokter Muharso, Kepala Kantor Wilayah Kesehatan NTB, pelayanan kesehatan di daerahnya terbilang lumayan dibandingkan tempat lain seperti di Irian Jaya, Kalimantan Selatan, atau Nusa Tenggara Timur -- provinsi terdekat dengan NTB. Sarana rumah sakit, puskesmas, dan tenaga dokter juga memadai. Rata-rata puskesmas, misalnya, dipimpin oleh 1,5 dokter. Malah, pada tahun 1990, NTB mendapat penghargaan UCI (Universal Child Immunization) dari Departemen Kesehatan, karena termasuk 10 besar pencapaian target imunisasi. Namun, sukses program itu tampaknya tidak mampu mengempiskan angka kematian bayi. Apa kiranya musabab tingkat kematian bayi di NTB masih yang tertinggi? Itulah yang menggelitik Dokter Hananto Wiryo untuk melakukan penelitian. Dokter spesialis anak yang juga Kepala Unit Pelayanan Fungsional Anak di Rumah Sakit Mataram itu kemudian menyelidiki kebiasaan para ibu yang baru melahirkan bayinya. Selama tiga bulan (Agustus-Oktober) tahun 1990, ia melakukan studi etnografi di 22 desa yang tersebar di empat kecamatan di NTB: Gerung, Labuapi, Kediri, dan Gunungsari. Penelitian tahap pertama yang disiapkan Hananto untuk menyelesaikan program doktor di Universitas Airlangga Surabaya itu menunjukkan bahwa ibuibu di NTB punya kebiasaan memberikan makanan tambahan pada bayinya yang baru lahir. Makanan tambahan itu antara lain berupa madu, pisang, dan kelapa muda. Ada 86 persen ibu-ibu yang memberikan makanan pendamping ASI, berupa pisang atau nasi, dan pisang yang dihaluskan atau dikunyah dulu. Pengunyahan makanan itu dalam tradisi di NTB disebut memapak. Bahkan makanan tambahan tadi, setelah dikunyah, kemudian disimpan semalam untuk dimasamkan. Mereka memberikan makanan tersebut, sebab 93 persen ibu-ibu yang baru melahirkan punya kebiasaan membuang air susunya yang pertama atau disebut kolostrum. Akibat gencarnya pemberian makanan tambahan sejak dini plus budaya memapak itu, terjadilah penyumbatan saluran pencernaan (PSP) pada si bayi. Kasus itu dalam penelitian mencapai 31,6 persen. Dan 30 persen dari bayi itu adalah yang berumur kurang dari satu bulan. Satu contoh, seperti diceritakan Haeriyah, yang baru punya bayi berusia 11 hari. Kebiasaannya memapak bayi dengan pisang itu sudah dilakukan ketika anaknya berusia sehari. "Supaya anak saya tidak menangis terus," kata ibu muda itu ketika ditemui TEMPO di posyandu (pos pelayanan terpadu) Lombok Barat. Gejala yang diderita sang bayi misalnya perut kembung yang disertai muntah-muntah, mencret ringan, sebagian tampak darah pada feses. Ketika dironsen pada bagian lambung bayi-bayi itu dijumpai nasi atau pisang. Dari 2.000 bayi yang baru dilahirkan, menurut penelitian Hananto, lebih dari 90 persen sudah menyantap makanan padat pisang. Ia kemudian menyimpulkan, sekalipun upaya menekan angka kematian bayi dengan program imunisasi berhasil, masih tetap terbuka peluang risiko kematian bagi si bayi jika kebiasaan para ibu setempat masih terus berlanjut. "Tanpa dikunyah pun sebenarnya makanan padat itu merupakan penyebab kematian, apalagi kalau makanan itu dikunyah, jelas menambah risiko infeksi," kata Hananto kepada Supriyanto Khafid dari TEMPO. Alasan lainnya, menurut dokter anak itu, memberi makanan padat terlalu dini pada bayi otomatis mengakibatkan berkurangnya jatah ASI buat sang bayi. Padahal, ASI merupakan benteng alamiah buat pertahanan tubuh bayi. Pemberian makanan padat bisa merusak karena usus bayi belum mampu mencernanya. Tambahan lagi, akibat bakteri yang menyelinap ke dalam makanan dari hasil kunyahan ibunya, lengkaplah sudah faktor yang membuat lebih gawat kondisi bayi. Suburnya bakteri terutama lantaran kurang cermatnya si ibu menjaga kebersihan mulut. Seperti dijelaskan Djalaludin Arzaki, kebiasaan penduduk pedesaan, misalnya di Lombok, ibu-ibu suka makan sirih atau mengunyah tembakau setelah melahirkan. Dan langsung saja mengunyah makanan tambahan yang akan diberikan pada bayinya. "Apa yang akan terjadi, sudah bisa dibayangkan. Bayinya akan sakit," kata Ketua Yayasan Kebudayaan dan Pengembangan Pariwisata NTB itu. Djalaludin mengaku telah kehilangan tiga saudaranya gara-gara tradisi mapak yang dilakukan ibunya. Sekalipun ada akibat negatifnya, katanya, tradisi mapak tetap perlu dipertahankan. Karena lewat cara itu hubungan batin antara ibu dan anak akan terjaga dengan baik. "Sedangkan untuk mencegah terjadinya infeksi, perlu diberi penyuluhan soal kebersihan mulut kepada para ibu," katanya. Tingginya angka kematian bayi itu sebenarnya sudah disadari pihak aparat kesehatan di provinsi ini. Menurut Kakanwil Kesehatan NTB, upaya untuk menekan angka kematian itu sudah dilakukan. "Tapi pelayanan kesehatan yang baik hanya berperan 20 persen. Yang penting adalah mengubah perilaku masyarakat itu sendiri," kata Muharso. Gatot Triyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus