Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vivi Alatas
Belum lama ini Bank Dunia meluncurkan laporan kemiskinan yang berjudul ”Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia”. Pada saat yang sama, sejumlah media mengetengahkan pelbagai artikel tentang kemiskinan. Sebagian tulisan itu menekankan bahwa, menurut Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia tidak hanya 39,1 juta seperti disebutkan Badan Pusat Statistik, tetapi bahkan hampir separuh dari seluruh penduduk.
Berapa sebenarnya jumlah penduduk miskin di Indonesia? Kriteria kemiskinan apa yang digunakan Bank Dunia sehingga angkanya lebih besar? Apakah garis kemiskinan nasional yang didasarkan pada pola konsumsi 2.100 kalori, ataukah garis kemiskinan internasional berdasarkan PPP (purchasing power parity) US$ 1 dan US$ 2? Bank Dunia menggunakan keduaduanya, masingmasing untuk tujuan analisis yang berbeda.
Untuk menganalisis profil kemiskinan, penyebab kemiskinan, dan telaah strategi atau program antikemiskinan di sebuah negara, Bank Dunia memakai garis kemiskinan nasional—versi BPS untuk Indonesia. Garis kemiskinan nasional lebih tepat untuk analisis seperti ini karena didasarkan pada kebutuhan minimum konsumsi di negara tersebut.
Namun, parameter itu tidak dapat dipakai untuk membandingkan kemiskinan antarnegara karena pola konsumsi dan cara perhitungan garis kemiskinannya berbeda. Itu sebabnya diperlukan standar yang bisa diterapkan di seluruh negara. Untuk keperluan ini Bank Dunia menggunakan nilai tukar PPP. Nilai tukar PPP US$ 1 menunjukkan berapa rupiah yang diperlukan untuk membeli di Indonesia sejumlah barang dan jasa yang bisa dibeli dengan satu dolar di Amerika Serikat. Nilai tukar ini dihitung secara berkala dari data harga dan kuantitas konsumsi sejumlah barang dan jasa untuk setiap negara.
Dari perhitungan itu ditemukan bahwa 7,4 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi di bawah PPP US$ 1 per hari, dan 49 persen di bawah US$ 2. Angka 49 persen ini, walau bagi sebagian orang mengejutkan, sesungguhnya menunjukkan kemajuan nyata jika dibandingkan dengan 1999. Ketika itu, dua per tiga penduduk mengkonsumsi di bawah US$ 2 per hari.
Dibandingkan dengan negara tetangga, tingkat kemiskinan PPP US$ 1 Indonesia sebanding dengan Cina (8 persen), sedikit di bawah Filipina (9,6 persen), dan sedikit di atas Vietnam (6,2 persen). Namun ketiga negara tersebut memiliki tingkat kemiskinan PPP US$ 2 yang jauh lebih rendah: Cina (26 persen), Filipina (39,3 persen), dan Vietnam (39,7 persen).
Perbedaan yang besar antara tingkat kemiskinan US$ 1 dan US$ 2 per hari mencerminkan tingginya kerentanan kemiskinan di Indonesia. Sejumlah besar penduduk berada di sekitar garis kemiskinan nasional yang setara dengan PPP US$ 1,5. Berbagai musibah seperti gagal panen, kehilangan pekerjaan, atau anggota rumah tangga yang sakit dapat dengan mudah menjatuhkan mereka ke bawah garis kemiskinan.
Hal itu terlihat dari fakta bahwa 40 persen rumah tangga miskin adalah miskin baru. Mereka tidak miskin di tahun sebelumnya. Dari dua panel Susenas 2005 dan 2006, didapat bahwa 9,5 persen penduduk tergolong selalu miskin (miskin kronik), dan 14 persen tergolong kadangkadang miskin (miskin transien). Tingginya kerentanan kemiskinan bukanlah fenomena baru di Indonesia. Studi SMERU bahkan menunjukkan pada 19981999 sekitar 40,3 persen penduduk tergolong miskin transien, sedangkan 17,5 persen penduduk miskin kronik.
Dinamika keluar masuk kemiskinan dan tingginya kerentanan kemiskinan menunjukkan diperlukannya dua strategi utama pengentasan penduduk miskin. Pertama, memastikan bahwa penduduk miskin dapat memanfaatkan peluangpeluang pertumbuhan dengan baik melalui pemeliharaan stabilitas makroekonomi, peningkatan kemampuan penduduk miskin melalui investasi pendidikan baik formal maupun nonformal, dan peningkatan akses mereka terhadap jalan, kredit, telekomunikasi, dan peluang kerja di sektor formal.
Strategi kedua adalah memastikan penduduk miskin, dalam mengatasi musibah yang menimpa mereka, tidak terjebak pada pilihan tindakan yang memiliki dampak buruk bagi masa depan mereka dan masa depan anakanaknya. Belajar dari pengalaman negaranegara Amerika Latin, program Conditional Cash Transfer (CCT) layak dilakukan di Indonesia. Ini adalah program pemberian bantuan tunai kepada keluarga miskin dengan prasyarat anak mereka bersekolah dan balita serta ibu hamil memenuhi sejumlah protokol kesehatan yang ditetapkan.
Pemerintah Indonesia telah menyusun strategi dan program yang terkait dengan bidangbidang ini, antara lain melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat dan juga uji coba Program CCT yang dinamai Program Keluarga Harapan di sejumlah provinsi. Dengan memusatkan perhatian pada beberapa bidang prioritas, Indonesia memiliki peluang emas untuk membantu 39,1 juta penduduknya terlepas dari jerat kemiskinan dan juga mencegah sejumlah besar penduduk yang notabene saat ini tidak miskin terjerembap ke dalam kemiskinan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo