Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Untung, ada riset

19 Januari 1985 | 00.00 WIB

Untung, ada riset
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MENTERI MITI Jepang pernah "menuduh" Indoncsia sebagai negara yang tidak terlalu banyak mengandalkan kekuatan riset. Pcrnyataan ini dibuatnya setelah melihat kenyataan bahwa di Indonesia sangat sedikit terdapat orang berprofesi riset. Kalau tidak keliru, Indonesia, yang berpenduduk lebih dari 150 juta orang ini, hanya mempunyai 1.500 tenaga riset. Riset memang masih merupakan suatu kemewahan di Indonesia. Riset masih merupakan kebutuhan yang tersembunyi, dan belum masuk dalam daftar prioritas. Seorang peneliti di Indonesia mengatakan bahwa bila tiba-tiba suatu organisasi atau perusahaan membutuhkan data dasar untuk membuat keputusan penting, maka mereka lantas menjadi histeris, dan pontang-panting untuk memperolehnya. Dan ketika itu tidak jarang mereka harus puas dengan data yang sudah berusia lebih dari setahun dan spektrumnya tidak sesuai. Minggu lalu majalah Intisari bersama perusahaan riset Multi Mcdia menyelenggarakan sebuah seminar tentang konscpsi dan aplikasi riset dalam perencanaan periklanan. Persis seperti pernyataan kekhawatiran yang terdahulu, ternyata, memang tak ada pembicara yang menyuguhkan data terbaru. Data paling baru tentan media periklanan yang disajikan adalah data 1983 Dan data tua inilah yang bakal dipakai para pemasar dan pengiklan untuk menyusun siasat 1985, tahun yang bakal sulit ini. Seorang pembicara dalam seminar itu mengatakan bahwa riset makin diperlukan dalam situasi persaingan yang makin tinggi. Dua puluh tahun yang lalu persediaan barang memang sangat langka. Beli katun kasar saja harus antre pakai kupon di kelurahan. Apalagi mobil yang harus dibeli secara inden, tanpa kepastian kapan akan mendapatkannya, dan warna apa yang bakal diperoleh. Situasi ini oleh para pemasar disebut sebagai sellers' market, pasar dikuasai pcnjual. Dan para pembeli harus waspada - caveat emptor. Situasi kini berbalik. Mana ada lagi orang mau membeli mobil tanpa mendapat kepastian warna yang diingininya. Itu pun tidak lagi dibayar tunai. Tidak ada lagi antre katun kasar di kelurahan. Sekarang pasar dikuasai pembeli. Justru pedagang yang kini harus waspada - caveat venditor. Pasar memang terus-menerus berubah. Lima tahun yang lalu, orang suka dasi selebar serbet. Sekarang, semua dasi ciut lagi. Di Amerika bahkan ada jasa yang ditawarkan melalui Playboy untuk menciutkan dasi. Dulu, di AS ada usaha menyewakan popok bayi, karena ibu-ibu segan mencuci. Tetapi usaha ini langsung bangkrut ketika ada perusahaan yang membuat popok kertas, yang sekali pakai langsung dibuang. Orang Amerika, yang dulu dikenal sweet tooth, sekarang repot menurunkan kadar gula pada setiap jenis minuman dan makanan yang di jual. Perubahan yang terus-menerus itu menuntut pula upaya riset dan monitoring yang terus-menerus pula. Sebab, perasaan dan intuisi saja tidak cukup untuk menduga apa yang sedang terjadi. Dulu orang tidak mengeluh memakai handuk sekeras karung. Setelah ada cairan fabric softener, maka kita jadi manja, dan selalu mencuci handuk dengan softener agar handuk tetap lembut dan lunak. Tetapi, dari mana produk baru itu dapat ditemukan kalau tidak melalui suatu proses mengenali tingkah laku dan gelagat pasar? Sulit untuk membayangkan pemasaran modern tanpa kegiatan riset dan pengembangan. Tetapi riset itu sendiri selalu makan waktu dan biaya. Sebuah perusahaan di Singapura memutuskan untuk menghemat waktu dan biaya dengan memakai hasil riset yang "dicuri" dari perusahaan lain. Usaha yang kemudian dikembangkan bcrdasarkan riset yang dua tahun kedaluwarsa itu ternyata menemui ke gagalan. Sebuah perusahaan farmasi Swiss menemui kegagalan di Muangthai karena memulai produksi tanpa meriset keadaan pasar. Disangkanya produk itu tidak tersedia di pasar karena dari Swiss tidak pernah dikapalkan ke Muangthai. Ternyata, di pasaran sudah cukup tersedia barang selundupan. Ketika Unilever meluncurkan produk Rinso ke pasaran pada awal 1970-an, monitoring penjualan menunjukkan pertumbuhan yang kurang pesat. Iklan mereka ketika itu menggunakan slogan: Rinso mencuci lebih putih karena Rinso mencuci lebih bersih. Slogan itu telah terbukti ampuh untuk menopang penjualan di negara-negara lain. Tetapi dalam riset di Indonesia ditemukan bahwa slogan atau janji itu justru misleading. Konsumen menganggap bahwa Rinso hanya untuk mencuci pakaian yang berwarna putih. Untuk mencuci pakaian berwarna, konsumen tetap menggunakan sabun batangan. Buru-buru slogannya diubah. Dan Rinso pun jadi laris. Untung, ada riset. Bondan Winano

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus