Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Melawan Muntaber Dengan Rose

Ratusan penduduk di kecamatan Sukaraja & Salopa, Tasikmalaya, terserang muntaber. DR. Imas & DR. Ina memakai rumus dari WHO sehingga jumlah korban bisa ditekan. Rose yang disarankan WHO mulai diterapkan.(ksh)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAU anyir masih mendominasi suasana Balai Desa Sukaraja, Kabupaten Tasikmalaya. Ruangan seluas 40 m2 itu masih digunakan untuk mengatasi wabah muntaber yang meledak dua pekan lalu. Dua penderita tampak masih telentang di sebuah bangku panjang di sana. Sudah agak tenang, selepas pertarungan melawan semburan air lewat mulut dan dubur. Sebenarnya, menurut dr. Imas Maesaroh dari puskesmas Sukaraja, muntaber hampir tak pernah berhenti di desa itu. "Belum pernah ada bulan yang kosong tanpa muntaber," ujar dokter lulusan FK UKI, Jakarta, itu. "Paling tidak sebulan sekali pasti ada yang harus diinfus karena muntaber." Namun, dua pekan silam jumlah penderita meningkat sampai ke tingkat wabah. Jumlah total 117 penderita, umumnya anak-anak sekitar 14 tahun, tapi tak satu pun korban yang meninggal. Awal wabah itu, menurut perkiraan Imas, makan-makan pada sebuah pesta lulus ujian. Dulu, muntaber senantiasa minta korban jiwa. Angka kematian akibat diare ini terhitung tinggi di Indonesia. Tahun 1974, ketika penduduk Indonesia 125 juta, tercatat korban jiwa mendekati 1 juta. Tahun 1981, ketika penduduk Indonesia 150 juta, angka kematian bisa ditekan sampai setengahnya. Imas mengutarakan, dalam mengatasi muntaber di Sukaraja, ia menggunakan cara yang disarankan WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia). Khususnya untuk mengatasi habisnya cairan tubuh (dehidrasi). Ny. Endah, 32, misalnya, berhasil mengatasi krisis dengan memberikan cairan infus Ringer Laktat (RL) sebanyak 52 botol - sama dengan 26 liter - dalam dua hari. Jumlah yang cukup mengeJutkan, memang. Tapi karena itu ia sembuh. Pekan lalu, kendati masih lemah, ia sudah diperkenankan pulang. Muntaber ternyata tidak cuma menyerang Kecamatan Sukaraja, tapi juga Kecamatan Salopa pada waktu yang bersamaan. Di kecamatan yang tak jauh dari Sukaraja ini dr. Ina Aniati berjuang keras menghadapi penderita yang jumlahnya hampir dua kali lipat dari penderita di Sukaraja. Terakhir tercatat 235 penderita, delapan orang di antaranya meninggal. Ina sudah mengerahkan segala daya. Antara lain meminjam cairan infus RL dari puskesmas Cikatomas, yang dibina suaminya, dr. Budiarto. Sebab, setiap puskesmas hanya mendapat jatah 80 botol untuk satu tahun jumlah untuk keadaan normal, bukan untuk menanggulangi wabah. Ina juga membangun pos kesehatan darurat dekat dengan daerah wabah di Desa Tanjungsari, langkah yang terhitung paling penting dalam mengatasi keadaan. Ina menjalankan pula cara mengatasi dehidrasi yang disarankan WHO. Karena itu, ia membutuhkan cairan infus RL sangat banyak. Tentang korban jiwa, khususnya para penderita pertama, menurut Ina, karena mereka terlambat datang di puskesmas. Dua orang di antaranya bahkan meninggal di perjalanan. Perjalanan dari Desa Tanjungsari ke puskesmas Kecamatan Salopa memakan waktu sekitar dua setengah jam. Bahaya utama muntaber memang dehidrasi. Kehilangan cairan tubuh ini terbagi dalam tiga tingkatan. Yang ringan, penderita hanya kehilangan 5% berat badan yang sedang, kehilangan 6%-10% berat badan dan pada dehidrasi berat, penderita kehilangan 10% lebih berat badan. Keadaan yang secepatnya harus diatasi adalah berubahnya keseimbangan keasaman darah (asidosis metabolik). Bila penderita sampai kejang dan koma, pertanda keadaan sudah terlambat. Azhali M.S., dokter ahli anak dan kepala Bagian Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin bersama rekannya dr. Yasmar Alfa dari bagian penyakit saluran cerna anak, mengutarakan bahwa korban jiwa di Salopa umumnya karena terlambat dapat pertolongan pertama. Pada tingkat dehidrasi ringan, penderita seharusnya sudah meminum oralit - yang menurut WHO termasuk salah satu bagian penting mengatasi dehidrasi dalam muntaber. Tapi, kenyataannya, bubuk oralit sulit didapatkan di pedesaan. Dan penduduk pun tak mengerti apa dan bagaimana menggunakannya - yang cuma dicampur dengan air minum. Azhali mengutarakan, dulu usaha mengatasi dehidrasi memang cuma mengandalkan pemberian infus - tanpa oralit. Cara pemberian infus pun berdikit-dikit dan bertahap selama 24 jam. Jumlahnya pun diperhitungkan terlampau berhati-hati, dan rumit pula. Misalnya, cairan yang diberikan harus sama dengan cairan yang keluar lewat muntah, ditambah cairan yang dibutuhkan secara normal, dan ditambah lagi cairan yang keluar bukan karena muntah. Pemberiannya pun harus tepat - kurang sedikit hasilnya bisa fatal. Kini, cara tersebut umumnya sudah ditinggalkan. Menurut Azhali, selain tidak praktis, perhitungannya pun sulit dijalankan. Dalam waktu 24 jam, bisa saja ada muntahan dan tinja yang luput diperhitungkan. Karena itu, banyak yang meninggal. Pada tahun 1976, menurut Azhali, dr. Suharyono dari FK UI sejalan dengan saran WHO memperkenalkan ROSE (Rehidrasi, Oral solution - pemberian oralit - Simultan, dan Education). Menurut cara ini, pemulihan kehilangan cairan (rehidrasi) hanya delapan jam. Satu jam pertama diberikan 30 ml cairan per kilogram berat badan, dan tujuh jam berikutnya 10 ml cairan per kilogram berat badan. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian oralit lewat mulut. "Dengan memakai cara ROSE, kematian memang bisa ditekan," ujar Azhali kepada Syafiq Basri dari TEMPO. Belakangan WHO menyusun lagi cara baru, jumlah pemberian cairan lebih banyak. "Cairan diberikan dalam volume lebih besar, dan lebih cepat," ujar dr. Yasmar Alfa. Pada cara ini, proses pemberian cairan RL hanya tiga jam, yaitu 70 ml-100 ml per kilogram berat badan. "Hingga dehidrasi berat sekalipun bisa terkejar," ujar Yasmar lagi. Cara ini pula yang digunakan dr. Imas dan dr. Ina di Tasikmalaya. Jim Supangkat Laporan Biro Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus