PUKUL sebelas Minggu lalu, di muka dan bagian belakang sebuah rumah petak di Kampung Sumur, Klender, Jakarta Timur, tampak enam sosok bayangan di kedininan malam. Salah seorang di antara mereka kemudian mengetuk pintu depan. Tak ada sahutan. Tapi dari arah belakang terdengar suara pintu terbuka. Dan seorang lelaki bertubuh gempal berlari ke luar. Melihat ada tiga bayangan mencegat, di sana, lelaki itu memutar, dan berlari ke depan. Lelaki itu Hendro Sucipto, 29, salah seorang pelarian dari rumah tahanan (rutan) Salemba, akhirnya bisa diborgol. "Tunjukkan di mana teman-temanmu," ujar Capa Padi Rijanto, pemimpin penyergapan Polres Jakarta Timur, dengan nada datar tapi tegas. Hendro, yang kumisnya telah tercukur licin, menyatakan bahwa teman-temannya ada di daerah Pondok Bambu, Jakarta Timur. Ia diantar ke sana. Namun, begitu tiba di tempat yang dikatakannya tempat persembunyian teman-temannya, Hendro mencoba lari. Tembakan peringatan tak digubris. Maka, entah berapa peluru mengejar punggungnya. Pelarian rutan Salemba itu pun roboh. Keesokan paginya ia dibawa ke LKUI untuk diautopsi. "Kalau tahanan lain tetap tak mau menyerah, bakal mengalami nasib seperti ini," ujar Kolonel Ibrahim, kepala Ditserse Polda Jakarta, Senin pekan ini. Penembakan atas Hendro terjadi tepat satu minggu setelah 32 tahanan lari dari rutan Salemba, Jakarta Pusat. Mereka lari, Minggu akhir bulan lalu, dengan cara yang hampir tak masuk akal: bukan dengan cara menggergaji terali besi, menjebol dinding, atau memanjat pagar tembok seperti biasa dilakukan pelarian umumnya. Melainkan, di suatu siang bolong, mereka beramai-ramai mendorong-dorong pintu gerbang dan merusakkan gemboknya. Pekerjaan itu dipermudah karena ternyata - hanya satu dari empat lapis pintu gerbang yang terkunci. Pelarian itu, yang menurut polisi sudah direncanakan secara matang, diduga dimotori oleh "kelompok Kwini", yang terdiri dari Bambang Heru, 30, Hendro Sucipto, 29, Supriyanto, 21, Rudy Siyaranamual, 35, dan Suparno, 28. Kelimanya perampok di Jalan Kwini, Jakarta Pusat, yang menewaskan Nyonya Lamria Marpaung dan menjarah emas perkiasan yang konon bernilai hampir Rp 1 milyar. Sebelum itu, kelompok ini sudah beberapa kali merampok. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di beberapa kota lain (lihat: Sama Banditnya, Lain Gayanya). Terhadap Hendro, polisi agaknya merasa perlu bersikap ekstrakeras. Selain dia memang diduga salah seorang perencana pelarian, dan tergolong penjahat kelas berat, kematiannya diharap bisa memancing pelarian lain yang masih bersembunyi. Bila ada yang tetap tak mau menyerah, kapolda Jakarta Mayjen Soedarmadji mengancam, mereka akan disukabumikan. "Suka artinya senang, bumi artinya tanah, alias lebih senang jadi cacing," ujar Soedarmadil serius. Ia memang sangat serius menangani soal pelarian itu. Bagaimana tidak? Dari 32 tahanan yang lari, yang 10 adalah tahanan kasus narkotik. Satu di antaranya, Husni alias Yono, 35, adalah terhukum mati yang kini sedang menanti putusan Mahkamah Agung. Dua belas pelarian lain - termasuk "kelompok Kwini" - menurut catatan rutan Salemba, adalah tahanan yang terlibat kasus pembunuhan dan pencurian dengan kekerasan. "Bila mereka berada di luar, terus terang, kami khawatir, angka kriminalitas bakal naik," kata seorang perwira polisi. Itu sebabnya, lima hari setelah terjadi pelarian, kapolda Jakarta membentuk Satgas Buru 32. Satuan yang dikomandani Mayor Zyaeri, kepala Dinas Kriminil Khusus Polda Jakarta, itu bertugas membekuk kembali, hidup atau mati, para pelarian. "Kami diberi waktu tiga bulan. Dan karena tugas, sampai ke ujung neraka sekalipun pelarian itu akan saya kejar," tutur Zyaeri kepada Bunga Surawijaya dari TEMPO. Satgas Buru 32 ini beranggotakan 96 orang. Terdiri dari petugas di Polda Jakarta dan petugas di Polres se-Ibu Kota. Namun, pelacakan terhadap para buron tak hanya di Ibu Kota. Semua polda, boleh dibilang, ikut terlibat. Salah satu daerah yang diminta mengetatkan penjagaan adalah Riau. Sebab, kuat dugaan, Husni alias Yono akan sampai ke sana dan kemudian, dengan menggunakan jalan laut, menyeberang ke Penang (Malaysia). Atau mungkin ke Singapura. Dia disinyalir mempunyai kaki tangan, mungkin juga bos, di sana. Sampai Senin pekan ini, selain Hendro yang tertembak mati, tercatat ada tujuh buron lain yang kini sudah kembali. Seorang lagi, Peng An alias Yakob, Minggu malam lalu menelepon dari Semarang ke rutan Salemba. "Saya ada di Semarang, Pak. Saya takut ditembak, dan ingin menyerah," ujarnya dengan nada ketakutan, seperti dituturkan sebuah sumber di rutan Salemba. Peng An, yang dijuluki "raja kunci palsu" karena kepandaiannya mencuri kendaraan bermotor, rupanya tak ingin mengalami nasib seperti Hendro. Seperti Wiwi bin Solihin, Imam Basari, Romli, Edy Mulyadi, Tony, Suparno dan Manik, yang sudah menyerah atau ditangkap kembali, Peng An kelihatannya turut lari dari Salemba karena terbawa arus - ikut-ikutan. Sebagian besar pelarian pun, tampaknya, seperti mereka: ikut lari karena ada kesempatan, dan bukannya karena mereka turut merencanakan. Berdasarkan pengakuan ketujuh pelarian yang kini sudah kembali, kisah pelarian 32 tahanan dari rutan Salemba itu kira-kira bisa di rekonstruksikan sebagai berikut: Pada Minggu pagi itu, seperti biasa, para tahanan mendapat sedikit kelonggaran. Mereka boleh berada di lapangan di depan blok-blok (lihat: Denah) untuk bekerja bakti. Saat seperti itulah yang rupanya dinantikan. Menjelang waktu makan siang, pukul 12.00, Heru mencari gara-gara. Dengan ulahnya, antara lain enggan ikut kerja bakti, ia membuat Syamsul Bachri - petugas pengawas saat itu - berang dan menamparnya. Api keributan, yang menurut beberapa sumber TEMPO memang sudah direncanakan matang, jadinya mulai tersulut. Dan Heru pula yang kemudian kian mengobarkan keributan: ia memanggil beberapa rekan tahanan untuk menghajar Syamsul. Tepat saat tanda makan siang dibunyikan, keributan semakin menjadi-jadi. Puluhan tahanan, yang dimotori "kelompok Kwini", me-rangsek menuju pintu tiga dan pintu empat, yang ternyata tak terkunci. Dengan berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senjata tajam, tahanan yang dibakar emosi itu terus maju mendekati pintu kedua. Dan, sungguh celaka, pintu ini juga dalam keadaan tak terkunci. Semangat para tahanan semakin menggebu. Sementara itu, tiga belas petugas LP yang dipimpin Lutfi Husni, komandan Regu II, menjadi keder dan kalang kabut. Memang ada petugas yang masih bernyali. Ia mencoba menyetop dengan melepaskan tembakan. Tapi, rupanya, sudah terlambat. Tahanan yang semakin beringas tak lagi peduli pada suara bedil. Mereka terus maju menuju pintu gerbang. Itulah satu-satunya pintu yang terkunci, dan ditunggui seorang petugas, Adiwinata. Petugas ini, dengan hati kecut, sempat mencoba mempertahankan pintu tapi tahanan yang kalap seperti air bah melindasnya. Adiwinata cedera - perutnya tergores senjata tajam. Setelah itu, dengan leluasanya para tahanan mencongkel gembok, dan mendorong-dorong pintu terakhir. Seperti anak-anak pada saat bubaran sekolah, ke-32 tahanan itu pun menghambur ke dunia luar. Sampai di situ, mereka mencari jalan selamat sendiri-sendiri. Wiwi bin Solihin, 19, ketika itu cepat saja bergabung dengan tiga teman senasib yang tak diketahui namanya. Cepat pula mereka menemukan kendaraan untuk lari: sebuah bajaj yang sedang diparkir, yang pengemudinya entah berada di mana, segera disambar. Seorang, Wiwi, memegang kemudi, dan tiga temannya menjadi penumpang. Sama seperti rombongan Wiwi, Tony Ferdiansyah, 30, dan Romly, Rudy, serta Suparno bisa mendapatkan bajaj untuk menjauh dari rutan Salemba. "Kami melewati jalan kecil yang tak begitu ramai, dan tahu-tahu sudah sampai di daerah Kramat," ujar Tony. Dari situ, perjalanan dilanjutkan dengan taksi. Parno yang menjadi cukong. Parno itu pula yang mentraktir kawan-kawannya makan bakmi di sebuah restoran di Jakarta Pusat. Setelah kenyang, baru mereka berpencar. Rombongan lain, yang terdiri dari Bambang Heru, Hendro, Supriyanto -ketiganya anggota "kelompok Kwini" - ditambah Yudo, Santoso, Edy Mulyadi, dan Martin Kasenda, secara kebetulan juga mendapat sebuah bajaj. Berhimpitan mereka menuju Matraman. Dari sana perjalanan disambung dengan bis kota jurusan Pulogadung. Di tengah jalan, mereka berpencar. Tommy Hendra, anggota "kelompok Kwini" yang lain, tak ikut serta. Dia, menurut sumber TEMPO, sebenarnya sudah berada di barisan depan saat mendorong-dorong pintu gerbang. Apa mau dlkata? Kaca mata minusnya pecah sehingga pandangannya terganggu. Akibatnya, ia urung ikut lari. Yang belum jelas ke mana dan naik apa larinya adalah Yono. Ada dugaan, dia dijemput seseorang karena dialah sebenarnya yang berdiri di belakang pelarian itu. "Dia menggunakan kelompok Kwini yang reputasi keberaniannya sudah teruji untuk memotori usaha pelarian. Tapi, bisa jadi, dialah yang sebenarnya amat berniat melarikan diri," ujar sumber TEMPO. Dugaan itu didasarkan kepada, pertama, Yono divonis mati baik oleh pengadilan negeri maupun pengadilan di tingkat banding. Kedua, sindikat narkotik, yang belakangan ini ramai diperangi, mungkin berniat "balas dendam" dengan mengeluarkan Yono dari tahanan. Polisi antinarkotik Polda Jakarta khawatir larinya Yono akan menyebabkan kasus narkotik merajalela. Tapi, perkara narapidana atau tahanan yang melarikan diri itu sendiri sebenarnya bukan cerita baru. Dua bulan lalu, tepatnya Minggu dinihari 17 Maret 1985, enam napi penghuni LP Mlaten, Semarang, juga tergoda untuk menghirup udarabebas sebelum waktunya. Dengan sebuah gergaji kecil, yang entah dengan cara bagaimana bisa diselundupkan ke dalam LP, mereka memotong jeruji besi kamar prodeo itu. Lolos dari rintangan pertama, mereka mengendap-endap menuju tembok dingin setinggi tiga setengah meter, yang memisahkan LP dengan dunia bebas. Dengan temali terbuat dari kain sarung dan selimut, ketujuh napi itu memanjat ke atas. Tapi, belum lagi sempat menjejak tanah di luar bui, mereka dipergoki petugas jaga. Kebetulan, ketika itu ada polisi yang sedang berpatroli mengendarai mobil, lewat di muka LP. Impian para pelarian itu buyar total. Timah panas imbalannya. Sakison, 30, terpidana 17 tahun karena kasus pembunuhan dan pencurian dengan kekerasan, tewas. Sedangkan rekannya, Jammad, terkena peluru di pantat. Setelah itu, tak jelas bagaimana jalan cerita sesungguhnya. Tapi pagi keesokan harinya, empat rekan mereka - Supoyo, Jarigin, Sugiono, dan Musroni - diketahui ikut tertembak, dan dead. Padahal, orang seperti Supoyo, meski pernah membunuh orang, boleh dibilang bukanlah seorang penjahat. Yang dibunuhnya seorang residivis, Didik, yang sering mengganggu istrinya, Sumiyati. Dan sekitar dua bulan sebelum ribut-ribut di Mlaten - antara Januari dan Februari 1985 - beberapa napi juga kabur dari Nusakambangan. Itu merupakan kisah pelarian yang kesekian dari "pulau narapidana kelas berat" di pantai selatan Jawa. Pelarian terbesar dari sini, dan itu terjadi 20 Mei 1982. Sebanyak 34 narapidana, yang dimotori Johny Indo, perampok beberapa toko emas yang pernah menjadi pemain film dan model iklan, ketika itu sempat menggasak senjata api dari gudang senjata di LP Permisan (salah satu LP di Nusakambangan). Dengan lima pistol dan satu mauser, mereka terlibat kontak senjata dengan petugas yang menghadang di Majingklak, di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Barat. Tercatat ada 11 pelarian yang tertembak mati. Lainnya ada yang berhasil lolos, tapi sebagian besar, termasuk Johny Indo, tertangkap tanpa cedera. Johny, yang nama aslinya Johannes Hymbertus Eykenboom, 37, ketika itu memang menjadi semacam "pahlawan". Berwajah ganteng, kulit putih, dan tubuh tinggi semampai, sedikit pun Johny tak mirip bandit. Padahal, ayah lima anak itu tergolong perampok yang ditakuti. Bersenjata Thompson, ia dengan beraninya menggasak beberapa toko emas di Jakarta. Peran itu sama dengan perannya dalam film serial tv produksi Kodak Metro Jaya (sekarang Polda Jakarta), yang pernah dibintanginya. Bisa jadi, karena perannya dalam film itulah ia kemudian tergerak untuk melakukan perampokan yang sesungguhnya. Ia melirik dunia hitam - seperti diakuinya - karena honornya sebagai aktor tak memadai. Padahal, ia merasa harus tampil meyakinkan: perlu naik mobil, berpakaian necis, makan di restoran atau hotel bertaraf internasional, dan tentu saja "wangi". Karena berpindah dunia itulah Johny kemudian divonis 14 tahun penjara - 10 tahun untuk kasus pemilikan senjata api dan 4 tahun karena merampok. Tapi, mungkin, masa hukumannya akan lebih pendek. Setelah mencoba lari tempo hari, ia kini dikabarkan sudah betul-betul kapok. Ketika ditemui TEMPO di LP Batu - salah satu LP di Nusakambangan - pada Agustus 1983, Johny merasa tak ada gunanya lagi mencoba kabur. Untuk mengisi hari-harinya yang sepi, ia mengembangkan hobi baru yaitu mengasah batu-batuan untuk dibuat cincin atau kalung. Narapidana yang tak kalah beken adalah Edy Sampak. Semenjak lari dari kamar tahanan Inrehab Polisi Militer, Cimahi, Bandung, pada malam Natal 1984 lalu, bekas sersan di Cianjur itu sampai kini belum ada kabar beritanya. Edy dikenal karena perbuatannya yang teramat nekat. Pada 1980 ia merampok Rp 21 juta dan menembak mati lima orang sekaligus serta membakar Colt yang ditumpangi para korban. Ia kemudian diadili dan divonis mati. Terakhir, Desember 1984, permohonan grasinya ditolak, dan karena itulah diduga ia nekat kabur. Di LP Surakarta, pernah pula terjadi napi lolos dari kungkungan. Itu terjadi pada Maret 1980. Sama seperti pelarian dari Mlaten, yang mula-mula dikerjakan sembilan napi di sini adalah menggergaji jeruji kamar. Juga, mereka kemudian menggunakan tali dari sobekan selimut untuk memanjat, dan lantas melompati tembok penjara. Untung saja, petugas segera tahu apa yang terjadi, sehingga puluhan napi yang juga mencoba lari bisa dicegah dengan tembakan peringatan ke udara. LP Cipinang, Jakarta, juga tak sepi dari usaha pelarian. Tujuh penghuni di situ diketahui kabur, Oktober t973, saat diberi kelonggaran menunaikan salat tarawih di bulan Puasa. Bulan berikutnya sekitar 200 napi Cipinang hampir pula lari beramai-ramai. Mereka meletupkan pemberontakan dengan cara melempari kaca perkantoran, membakar gudang, dan merusakkan genting. Sebelum huru-hara berlangsung lebih seru, petugas bisa mengendalikannya dengan tembakan beruntun, yang sempat mengenai lengan dua orang pemberontak. Setelah kejadian itu, LP Cipinang boleh dibilang aman-aman saja. Namun, pada akhir Juli 1982, pemberontakan muncul lagi. Sama seperti yang dulu, kali itu 300-an napi - dari sekitar 1.700 penghuni LP - sudah sempat membakar gudang dan sebuah pos jaga, melempari jendela, dan membanting beberapa alat pemadam kebakaran. Yang mengerikan, puluhan napi itu berteriak-teriak histeris sambil mengacungkan senjata tajam buatan mereka sendiri - ada paku yan diruncingkan, potongan kecil besi, atau potongan sendok yang diasah. Tapi, berkat kesigapan petugas, huru-hara inipun bisa dipadamkan. Tentu dengan sedikit korban: empat napi terkena serempetan peluru. Ada yang kena di lambung, di lengan, atau di kakinya. Perlukah pertanyaan: Mengapa ada narapidana atau tahanan yang mencoba lari? Menurut Dirjen Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Mayjen Hudioro, sebenarnya hal itu tidak aneh. Hal itu, katanya, erat kaitannya dengan keadaan psikis orang-orang yang kemerdekaan dan kebebasannya dibatasi. Rindu terhadap keluarga atau mendengar kabar buruk tentang anggota keluarga - seperti anak meninggal atau istri diganggu orang - bisa menjadi daya dorong untuk lari. Kondisi di LP pun bisa membawa pengaruh. Rutan Salemba, yang merupakan rumah tahanan percontohan, dalam hal ini agaknya kurang menguntungkan bagi tahanan. Bangunan yang berdiri pada 1908 dan kapasitas penampungannya sekitar 700 orang itu pada saat terjadi pelarian diketahui dihuni lebih dari 1.000 orang. Mereka sebagian besar - berstatus tahanan, narapidana, dan tahanan politik - misalnya H.R. Dharsono dan Sanusi. Tidur mereka agaknya kurang nyaman. Maka, setelah terjadi pelarian, sementara tahanan - khususnya yang berstatus napi - dipindahkan, antara lain ke LP Cipinang dan LP Paledang di Bogor. Tapi, menurut Hudioro, selama ini pemindahan penghuni dari Salemba sebenarnya telah berjalan. Hanya, katanya, rutan Salemba tetap penuh karena ramainya tindak kriminalitas di Ibu Kota. "Kalau yang dipindah 20, dan yang baru masuk seharinya sampai 50 orang, bagaimana tak akan penuh?" tanyanya kepada Didi Prambadi dari TEMPO. Selain soal kepenuhan, Tony Ferdiansyah, pelarian yang tertangkap kembali sekitar delapan jam kemudian di Rawa Buaya, Jakarta Barat, punya cerita sendiri. Petugas di Salemba, katanya, tak begitu akrab dengan penghuni. "Tahanan yang kenceng-kenceng - banyak uang - dipisah di blok tersendiri. Kalau orang seperti saya, sih, cukup di sel dayak - tak nyaman," ujarnya. Entah seberapa jauh keterangan Tony itubisa dipercaya. Yang pasti, 14 petugas rutan Salemba, termasuk kepala rutannya, Djamaris, kini terus diperiksa dan dialihtugaskan. Djamaris, yang jabatannya sebagai kepala rutan Salemba kini dirangkap oleh Sugiantoro, koordinator Lembaga Pemasyarakatan Jakarta, menilai sanksi yang diterimanya wajar. "Saya tidak kecil hati. Ini memang risiko seorang kepala LP atau rumah tahanan," ujar ayah sembilan anak yang pernah menjadi kepala LP di Jambi dan Lampung itu. Setiap pekerjaan memang ada risikonya. Tapi, bila kelewat sering ada tahanan atau napi lari, masyarakat tentu akan waswas. Dan orang seperti Mayr Zyaeri jadinya mendapat pekerJaan rumah, yang sebenarnya tak perlu, 'kan? Sursono Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini