Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Melek warna cara Jepang

Taketoshi yamada datang ke jakarta memperagakan pengobatan buta warna dengan metode akupungtur arus listrik yang disebut jp jc. puluhan ribu penderita disembuhkan. masih disangsikan para ahli mata.

30 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK penderita buta warna, dyscromatopsia, kini tersembuhkan dari penyakit yang sejak dulu dianggap tidak ada obatnya. Hanya sala, mereka kebanyakan orang-orang Jepang saja. Tokoh yang berjasa dalam usaha penyembuhan ini adalah Dr. Taketoshi Yamada, 59 tahun, yang awal Mei berkunjung ke Jakarta. Sukses besar itu memungkinkan Yamada memperluas kliniknya - Mejiro Medical Clinic (MMC) - ke Osaka dan Kyushu. Pada mulanya, ia buka praktek hanya di Tokyo. Di tempat inilah, penyandang buta warna antre menunggu giliran pengobatan. Dalam tempo sepuluh tahun, Yamada bcrhasil menyembuhkan tidak kurang dari 73.000 pasien. Kebolehannya itu tepercik juga ke Jakarta. Dalam acara unjuk keahlian di Hotel Borobudur, Jakarta, Yamada berhasil menyembuhkan Soenaryohadi, seoran wartawan Pikiran Rakyar. Ketika dites, ternyata, Soenaryohadi hanya mampu melihat lima dari sebelas warna. Tapi, setelah "dirawat" 30 menit dengan alat yang mengandung arus listrik, ia secara menakjubkan bisa melihat sepuluh warna, tinggal satu warna lagi. Lain lagi Victor, yang tak bisa membedakan warna ketika dites. "Karena dia parah, tak bisa pakai alat yang kecil ini," tutur Yamada, di Hotel Mandarin - tempat menginapnya - kepada Totok A.S. dari TEMPO. Untuk Victor diperlukan alat dengan "daya" lebih kuat, yang tidak dibawanya dari Tokyo. Lawatan Yamada ke Jakarta diprakarsai oleh Sunarto Prawirosujanto, eks Dirjen POM yang kini aktif di Kadin. Dan kehadirannya di Ibu Kota cukup menarik minat dan perhatian. Harus diakui, cara Yamada memulihkan penglihatan buta warna masih terselubung teka-teki. Ia hanya membawa peranti mirip walk-man, tersimpan pada sebuah kotak kecil yang dilapisi kulit. Dari kotak itu tersalur dua kabel, yang berujung seakan alat pendengar walk-man (elektroda). Penyandang buta warna yang tak berat, setelah diperiksa, lalu dicari beberapa titik di sekitar mata dan dahi, termasuk menentukan titik-titik pasangannya. Lalu, dua titik yang berpasangan itu dialiri arus listrik selama lebih kurang 30 menit. Perawatan begini bisa berlangsung sampai 50 kali - baru sembuh. Titik-titik sentuh di sekitar mata dan dahi, yang disebut titik tsubo, rupanya dipandang penting. Itu juga merupakan titik efektif untuk akupungtur. Diameter tsubo diperkirakan 0,25 mm, yang, menurut Yamada, bisa dimanfaatkan sebagai saluran untuk arus listrik, yang diharapkan melewati saraf penerima warna tak aktif. Cara pengobatan itu lantas disebutnya JP JC Glust Point, Just Channel). Dengan. demikian, saraf akan bangkit secara normal, dikejutkan oleh rangsang arus listrik tadi. Perawatan listrik dengan metode akupungtur ini bertolak dari teori Yamada yang berpendapat bahwa penyebab buta warna adalah saraf. Jadi, bukan karena ada kelainan di retina seperti yang selama ini diyakini banyak ahli Barat. Kendati menyimpang dari teori yang umum diterima, Yamada jalan terus. Dan terbukti berhasil. Semakin parah buta warna seseorang, maka semakin lama pula pemulihannya. Buta warna yang tergolong berat adalah monochromat, yang hanya bisa membedakan warna hitam dan putih. Lain dengan dichromat, yang bisa membedakan dua warna dasar. Penderitaan dichromat ini biasanya dibawa sejak lahir, menurun. Dan, kebanyakan penderitanya adalah lelaki mencapai antara 6% dan 8%. Sedangkan wanita hanya sekitar 1%. Tarif yang dipungut Yamada masih tinggi, memang. Bagi anak setingkat SMP ke bawah, dikenakan 100.000 yen (lebih dari Rp 1 juta), anak usia SMA dan universitas ditarik 120.000 yen, sedangkan pengusaha dikorek 140.000 yen. Masih ada lagi tarif spesial sebesar 600.000 yen, untuk rombongan 60 orang. Ada tarif lebih ringan alias gratis, asalkan penderita mengiklankan kesembuhannya. Pengobatan gaya Yamada tampaknya tidak terlalu rumit. Sebelum elektroda ditempelkan pada titik tsubo, pentolan elektroda itu diolesi dulu dengan cairan berwarna hijau supaya tidak melecetkan kulit. Setelah ditempelkan, misalnya di kening kiri dan kanan, barulah terasa seperti kena setrum. Terasa seakan muncul kilatan cahaya dari belakang mata. Sakit rasanya. Tapi, lama kelamaan terbiasa. Tiap pasien bisa memasang elektroda itu sendiri, sampai terasa adanya rangsang terkuat - sebagai tanda tepat di titik tsubo. Tetapi, jangan coba-coba ingin mengetahui seluk-beluk cara penyembuhan itu. Kepada TEMPO, Yamada menjelaskan arus elektroda tersebut berkekuatan antara 50 dan 59 mA (miliampere). Dosis ini dikontrol oleh komputer. Tak jelas bagaimana mekanisme sebenarnya. "Itu hak paten saya," ujar Yamada. Maklum, penyembuhan khas JP JC belum ada duanya. Sampai kini, belum ada ahli mata yang sanggup menyembuhkan buta warna. Karena itulah, tidak sedikit yang menyangsikan hasil penemuan anak pembuat sake dan kecap dari Jepang itu. Soalnya, ahli-ahli di Barat yakin, penyebab buta warna karena gangguan pada retina mata. Sel batang dan sel kerucut pada bagian mata itu, yang merupakan sel penerima cahaya, tidak berfungsi seperti orang normal. Ini boleh jadi karena faktor keturunan atau efek samping pemakaian obat-obatan seperti obat TBC dan pil kina. Yamada - bukan tidak mau menyebarluaskan upaya pengobatannya. Hal itu baru dilakukannya bila jelas benar iklim investasi di suatu negara, tak terkecuali di Indonesia. "Enam tahun lagi baru saya mendirikan klinik-klinik di seluruh dunia," ujarnya. Karier Yamada yang melejit itu justru setelah, pada 1976, ia sakit "Behcet's", komplikasi radang di depan lensa matanya. Berkat bantuan istrinya, Nariko Yamada, ia menemukan obatnya. Lalu ia pun mengetahui, "Behcet's" berkepanjangan mengakibatkan kebutaan. Dan, terobosannya terakhir dalam penyembuhan buta warna yang apa boleh buat, belum bisa diterima para ahli mata. Suhardjo Hs., Laporan Biro Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus