Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Melindungi Perempuan di Online Game

Perempuan kerap mendapat pelecehan di online game dan e-sports. Perlu pelindungan dari pengembang lewat sistem multiplayer.

25 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi perempuan bermain video game. UNSPLASH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin jarang mendengar orang berteriak kepada kita, “Sana balik ke dapur dan masak aja!” Tapi, jika kamu adalah seorang perempuan yang bermain online game, ungkapan semacam ini—atau bahkan yang lebih parah—sangat sering muncul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apalagi saat pandemi Covid-19 yang mendorong gencarnya kehidupan daring dan memicu pertumbuhan online gaming, pelecehan di ruang tersebut maupun di sudut Internet lainnya semakin meningkat. Pada 2020, sebanyak 41 persen pemain video game di Amerika Serikat (AS), negara saya mengajar, adalah perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski terjadi di ruang digital, pelecehan online bisa punya dampak di dunia nyata bagi para korban, termasuk tekanan dan stres emosional maupun fisik. Ini membuat perusahaan video game maupun para pemainnya berupaya mendorong teknik-teknik manajemen komunitas yang lebih baik untuk mencegah pelecehan seksual.

Sebagai seorang peneliti yang mempelajari gaming, saya menemukan bahwa norma budaya yang tepat bisa menghasilkan komunitas daring yang lebih sehat, bahkan dalam dunia yang sangat kompetitif seperti e-sports (olahraga daring kompetitif, termasuk online game).

Taruhannya cukup besar. Dunia e-sports kini menuai pendapatan tahunan lebih dari US$ 1 miliar (lebih dari Rp 15 triliun). Liga-liga profesional, serta liga tingkat perguruan tinggi maupun SMA, kini semakin berkembang, terutama pada saat pandemi, ketika perkembangan olahraga tradisional melambat.

Sejarah Pelecehan

Dalam beberapa tahun ke belakang, beragam reportase dari The New York Times, Wired, hingga Insider dan media lainnya melaporkan soal kentalnya seksisme, rasisme, homofobia, dan bentuk-bentuk diskriminasi lain di ruang daring.

Namun, isu-isu ini bukanlah hal baru. Masalah serupa sempat mencuat pada 2014 saat skandal Gamergate, gerakan berbasis Twitter yang melecehkan pemain, perancang, dan jurnalis video game perempuan.

Seksisme pun sudah menjadi hal umum, bahkan sebelum Gamergate. Misalnya pemain game profesional Miranda Pakozdi mengundurkan diri dari timnya menyusul pelecehan seksual dari pelatihnya pada 2012. Sang pelatih, Aris Bakhtanians, menyatakan bahwa “pelecehan seksual merupakan bagian dari budaya (game perkelahian)” dan sangat susah dihilangkan.

Beberapa pihak lain mengatakan bahwa anonimitas dalam ruang-ruang online gaming, ditambah dengan sifat kompetitif para pemain, meningkatkan kemungkinan perilaku toksik. Data survei dari Liga Defamasi Amerika (ADL) menemukan setidaknya 37 persen pemain perempuan pernah menghadapi pelecehan berbasis gender.

Meski demikian, ada juga komunitas online yang positif. Studi dari pengacara dan mantan perancang pengalaman pengguna (UX) di Microsoft, Rebecca Chui, menemukan bahwa komunitas online yang anonim pada dasarnya tidak toksik. Lebih tepatnya, budaya pelecehan bisa muncul jika norma komunitas mengizinkannya terjadi. Ini berarti perilaku buruk di ruang daring bisa diatasi secara efektif.

Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?

Ilustrasi perempuan bermain video game. PEXELS

Strategi Koping Para Pemain

Dalam riset berbasis wawancara yang saya lakukan kepada pemain perempuan, saya menemukan bahwa para pemain punya banyak strategi untuk mengindari atau merespons pelecehan online.

Misalnya beberapa hanya bermain dengan teman dekat atau menghindari menggunakan chat suara demi menyembunyikan gender mereka. Pemain lain memilih mengasah permainan hingga jago dalam game favorit mereka demi menutup ruang pelecehan. Penelitian dari ilmuwan media lain, seperti Kishonna Gray dan Stephanie Ortiz, menemukan pola serupa lintas ras dan seksualitas.

Strategi-strategi ini sayangnya punya beberapa keterbatasan. Misalnya sekadar mengabaikan atau tak mengacuhkan perilaku toksik berarti membiarkannya terus terjadi. Di sisi lain, melawan balik para pelaku pelecehan sering menimbulkan pelecehan yang lebih parah lagi.

Strategi semacam ini juga bisa menempatkan beban untuk mengatasi pelecehan di pundak korban ketimbang pada pelaku atau komunitas. Ini bisa mendorong para korban semakin keluar dari ruang daring.

Seiring dengan para responden saya meraih tanggung jawab lebih dalam pekerjaan atau keluarga mereka, misalnya, mereka tak lagi punya tenaga untuk menghadapi pelecehan dan memutuskan untuk berhenti bermain. Studi saya menemukan bahwa perusahaan game perlu mengintervensi komunitas mereka supaya para pemain yang menjadi korban tak memikul beban itu sendirian.

Bagaimana Perusahaan-perusahaan Bisa Bertindak

Perusahaan game kini semakin meningkatkan kepedulian pada strategi manajemen komunitas. Salah satu penerbit besar, Electronic Arts (EA), mengadakan konferensi manajemen komunitas pada 2019, dan perusahaan seperti Microsoft serta Intel mengembangkan alat-alat untuk mengelola ruang daring. Sekelompok perusahaan pengembang game juga membentuk Fair Play Alliance, suatu koalisi yang bekerja untuk mengatasi pelecehan dan diskriminasi dalam dunia gaming.

Namun intervensi-intervensi ini wajib mengakar pada pengalaman para pemain. Banyak perusahaan menerapkan intervensi melalui praktik seperti pelarangan (banning) atau pemblokiran terhadap pelaku pelecehan. Misalnya platform siaran langsung Twitch pernah menerapkan ban terhadap beberapa kreator, menyusul dugaan pelecehan seksual.

Langkah seperti ini bisa menjadi langkah awal, tapi para peleceh yang dikenai pemblokiran atau ban sering membuat akun baru dan semudah itu kembali pada perilaku mereka. Pemblokiran juga berarti mengelola pelecehan setelah terjadi ketimbang menghentikan perilaku itu di sumbernya, sehingga ini perlu dikombinasikan dengan beberapa pendekatan potensial lain.

Pertama, perusahaan perlu mengembangkan alat yang mereka sediakan bagi pemain untuk mengelola identitas online mereka.

Banyak partisipan menghindari chat suara untuk membatasi pelecehan berbasis gender. Tapi ini sering kali mempersulit mereka dalam berkompetisi. Beberapa game, seperti Fortnite, League of Legends, dan Apex Legends, menerapkan sistem “ping” yang mengizinkan pemain mengkomunikasikan informasi permainan secara cepat, tanpa memerlukan suara. Alat serupa bisa dibangun ke dalam sistem permainan online game lainnya.

Opsi lain yang disarankan para responden saya adalah mempermudah pemain untuk berkelompok dengan teman-teman dekat mereka, sehingga mereka selalu punya seseorang yang bisa membantu melindungi mereka dari pelecehan. Mekanisme pengelompokan terutama bisa efektif saat disesuaikan dengan setiap game secara spesifik.

Misalnya dalam game seperti Overwatch dan League of Legends, pemain perlu memainkan peran-peran yang berbeda supaya tim mereka berimbang. Pelecehan bisa terjadi jika para anggota tim yang dipasangkan secara acak kemudian ingin memainkan karakter yang sama.

Overwatch memperkenalkan sistem pengelompokan yang mengizinkan pemain untuk memilih karakter mereka, kemudian dipasangkan dengan pemain yang telah memilih peran lain. Ini tampaknya bisa mengurangi chat yang bersifat melecehkan.

Terakhir, perusahaan juga perlu mengubah norma-norma kultural yang mendasar. Misalnya penerbit League of Legends, yakni Riot Games, pernah menerapkan suatu sistem “tribunal” yang mengizinkan pemain melihat laporan insiden dan menggunakan hak suara untuk menentukan apakah perilaku tersebut bisa diterima dalam komunitas.

Meski Riot Games sayangnya menutup sistem tersebut, melibatkan anggota komunitas dalam solusi apa pun merupakan ide bagus. Perusahaan juga perlu mengembangkan panduan komunitas yang jelas, mendorong perilaku positif melalui hal-hal seperti penghargaan (in-game achievements), serta merespons isu yang tengah berkembang secara cepat dan tegas.

Jika e-sports terus berkembang tanpa perusahaan-perusahaan mengatasi lingkungan toksik dalam game mereka, perilaku melecehkan dan diskriminatif ada kemungkinan akan terus tertanam. Untuk menghindari ini, para pemain, pelatih, tim, liga, perusahaan, hingga platform siaran langsung harus berinvestasi pada upaya-upaya manajemen komunitas yang lebih baik.

---

Artikel ini ditulis oleh Amanda Cote, lektor studi game di University of Oregon, AS dan terbit pertama kali di The Conversation.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus