Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merapi meledak. Awan panas mengepul, batu dan debu berhamburan, orang-orang lintang pukang. Di tengah hiruk-pikuk itu, Toni Malakian, 26 tahun, menyelinap mengarah ke gunung di batas Yogyakarta dan Jawa Tengah itu. Ilustrator freelance di Jakarta itu mencari tempat sampai titik dia bisa melihat Merapi dengan jelas. Dia membuat sketsa Merapi yang tengah bergejolak. ”Ingin mendokumentasikan Merapi meletus, korban-korban, dan bagaimana barak pengungsian,” katanya.
Toni memang hanya diberi kesempatan oleh Merapi untuk menggambar selama sekitar sejam, karena dia harus segera balik arah menghindari risiko celaka. Namun empat gambar sketsa gunung dengan asap yang membubung dia selesaikan. Karyanya itu kini dititipkan di sebuah pameran seni rupa di Semarang, dengan tujuan menggalang dana untuk korban. ”Yang memberikan donasi boleh memiliki gambar saya,” katanya. Toni, yang berdomisili di Jakarta, berencana kembali untuk membuat sketsa-sketsa kondisi terbaru dengan tujuan serupa.
Kepuasan menuangkan emosi dan menikmati proses kreatif membuat Toni ”gila” membuat sketsa, terutama setahun terakhir. Sebelumnya dia lebih sering menggambar ilustrasi atau karikatur—dia sempat bekerja sebagai ilustrator di sebuah media cetak di Jakarta. Kini, di mana saja, begitu ada obyek yang menarik, langsung tangannya bergerak. ”Bangunan klasik atau aktivitas orang yang menyentuh,” katanya. Peranti sketsa berupa buku sketsa (sketch book) dan pena selalu dibawa setiap jalan.
Sketsa adalah garis-garis belum sempurna seakan rancangan awal suatu gambar, yang merupakan seni dasar dari cabang seni rupa. Tapi, dalam perkembangannya, sketsa menjadi satu seni tersendiri. Belakangan, kegiatan membuat sketsa berkembang sebagai aktivitas mengekspresikan diri dengan merekam kegiatan sehari-hari, mulai yang sepele hingga monumental, seperti yang digambar Toni. Mereka—para sketser—mendokumentasikan realitas, dan sering kali untuk mengungkapkan ”perlawanan” terhadap alat perekam canggih, seperti kamera digital, camcorder.
Tidak mengherankan bila sketser menjadi gaya hidup urban. Komunitas sketser pun bermunculan, terutama di kota-kota besar. Indonesia’s Sketchers, salah satu wadah para sketser, misalnya, berbasis jejaring sosial dan blog. Berdiri Agustus tahun lalu, anggotanya tercatat 2.500 orang dari seluruh Indonesia. Selain di Jakarta, komunitas ini sudah memiliki cabang di kota-kota lain, seperti Makassar, Semarang, Bali, Surabaya, dan Malang. Sketser Indonesia pun sudah mendapat pengakuan dari komunitas internasional. Mereka menjadi anggota Urban Sketchers, komunitas sketser global yang dirintis sejak akhir 2007.
Kegiatan utama kumpulan sketser adalah membuat sketsa bersama, rutin sebulan sekali. Dengan motonya, we draw what we witness, mereka mencermati satu obyek bersama untuk digambar sesuai dengan langgam masing-masing. Di Jakarta, rata-rata 40-50 orang yang turut dalam setiap kegiatan itu. ”Orangnya berganti-ganti, kami kan cair dan terbuka,” kata Atit Dwi Indarty, 27 tahun, penggagas Indonesia’s Sketchers. Beberapa lokasi yang pernah ”diserang” seperti Kota Tua, Taman Suropati, juga Pasar Baru. Pernah juga digelar sketsa bersama patung Obama di Taman Menteng sebelum dibongkar. Biasanya kegiatan selanjutnya adalah pameran hasil sketsa.
Para sketser ini tidak selalu punya latar belakang profesi yang berkaitan dengan kegiatan gambar-menggambar. ”Ada orang kantoran, pelajar, dokter, juga ibu rumah tangga,” kata Dhar Cedhar, 38 tahun, Ketua Indonesia’s Sketchers. Umumnya mereka adalah orang-orang yang mengejar kepuasan batin dari membuat sketsa karena bisa menumpahkan emosi melalui sketsa. Bagi Dhar, proses mensket menjadi alternatif keluar dari rutinitas. Tak jauh beda, Atit mulai mengenal sketsa sejak sakit hati karena urusan pribadi. ”Lama-lama lupa dan sembuh sendiri,” katanya.
Dhar menjelaskan, kepuasan itu diperoleh karena prosesnya yang memungkinkan terjadinya keintiman dengan obyek. Berbeda dengan memotret, dalam membuat sketsa tidak ada perantara antara obyek dan orangnya. Dengan proses merekam yang relatif lebih lama—10-15 menit—dibanding menjepretkan kamera, detail dari obyek pun lebih tertangkap.
Demi mengejar itu semua, tak jarang para sketser melakukan aksi-aksi yang terkesan ”kurang kerjaan” atau bahkan menantang maut, seperti cerita Toni tadi. Dhar sendiri, misalnya, nyaris celaka saat membuat sketsa Stasiun Kampung Bandan di Kota Tua, Jakarta.
Ceritanya, demi mengejar sensasi pengalaman dan mendapat pemandangan yang simetris, dia mengambil posisi di antara dua rel. Meski sudah menghitung faktor keamanan, tetap saja nyaris tersambar kereta. ”Kalau ada kereta berpapasan, pasti sudah tergencet,” tuturnya. Sesampai di rumah langsung dia ceritakan pengalamannya itu, tapi bukan pujian yang diperoleh, melainkan omelan sang istri karena dianggap sembrono. Niat menggambar sketsa lebih ekstrem, yakni duduk di atap kereta yang berjalan, pun diurungkan.
Obyek sketsa tidak harus selalu diburu dengan sengaja. Sering obyek menarik diperoleh secara tak sengaja. Bagi Jatmika Jati, 40 tahun, seorang ilustrator di Jakarta, penumpang laki-laki yang tertidur di kereta dalam perjalanan Jakarta-Yogyakarta pun jadi menarik. Jadilah sketsanya, gambar laki-laki tertidur lunglai di kursi kereta, ditambah sketsa pedagang asongan.
Dhar punya koleksi beberapa sketsa yang menggambarkan kemacetan di Jakarta. ”Saya gambar sambil bonceng motor,” katanya. Atit sering mendapat ide saat menunggu. ”Obyek menarik bisa terlihat kalau kita fokus dan tidak banyak kerjaan,” katanya. ”Yang jelas tak ada lagi istilah bete kalau lagi menunggu.”
Ada lagi cerita dari Senoaji Wijanarko, seorang dokter yang bertugas di Rumah Sakit Nunukan, Kalimantan Timur. Dia tetap menyempatkan diri membuat sketsa di sela-sela aktivitasnya melakukan operasi bedah caesar. ”Sambil nunggu dokter lain yang sedang bekerja,” katanya. Menurut dia, kegiatan itu tidak mengganggu, justru meredakan ketegangan sembari menunggu giliran bekerja sesuai dengan perannya sebagai dokter umum yang akan menangani bayi setelah dikeluarkan.
Hasilnya bisa dilihat di blog pribadi Seno atau di blog Indonesia’s Sketchers, seperti sketsa dokter-dokter sedang melakukan operasi bedah caesar, pemandangan seputar rumah sakit, gambar bangunan, atau aktivitas di Nunukan. ”Memberikan gairah baru dalam bekerja, mengubah cara pandang tentang rumah sakit,” kata Senoaji, yang giat membuat sketsa sekitar dua tahun terakhir, melanjutkan hobi menggambar sejak kecil. Setiap hari dia bisa menghasilkan rata-rata empat sketsa. Begitu berjumpa dengan obyek menarik, langsung dikeluarkan ”senjata” sketsanya. ”Tidak harus mirip benar, justru tidak mirip bisa jadi indah,” katanya.
Proses mensket memang sekadar merekam obyek secara kasar. Masalah penyempurnaan bisa dilakukan belakangan bergantung pada kepuasan pribadinya. Saat Dhar mensket Tempo ketika berbincang di satu sudut Taman Menteng tiga pekan lalu, waktu yang dibutuhkan hanya enam menit.
Bagaimana bisa mirip? ”Pokoknya hajar saja,” katanya. Sebab, salah satu pedoman pokok mensket adalah larangan menghapus garis yang sudah digoreskan. Pada intinya, dia menandaskan, yang utama dari membuat sketsa adalah mempelajari kehidupan. ”Bagaimana melihat sekeliling dengan lebih peka, selanjutnya bagaimana memaknainya.”
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo