Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=brown><B>Sultan Hamengku Buwono X:</B></font><BR />Bisanya Hanya Menyingkir

22 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari pertama setelah letusan besar pada 26 Oktober itu, ia naik dan melihat Merapi seperti gunung yang belum dikenalnya. Bersama sopir dan ajudannya, ia menyaksikan: semua masih putih, jalan berdebu. ”Saya tak bertemu orang, tidak ada kehidupan, hancur semuanya,” katanya.

Letusan Gunung Merapi menyita hampir semua waktu dan perhatian Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X kini. Setiap hari ia berkeliling dari satu barak pengungsian ke barak yang lain. ”Saya tidak berani ke luar kota,” katanya.

Implikasi sosial-ekonomi letusan Merapi kali ini jauh lebih besar daripada 2006. Sebelumnya, amuk Merapi merusak mayoritas rumah, tapi infrastruktur sebagian besar utuh. Sekarang, dalam radius 20 kilometer dari puncak Merapi, hampir semuanya lumpuh secara ekonomi.

Kini bantuan ke Yogya mengalir dari segala penjuru. Pemerintah meminta pendataan lebih dulu. Tapi, menurut Sultan, pemberian bantuan dengan mendata nama dan alamat itu akan memakan waktu berbulan-bulan karena korban berada di pengungsian. Dan ia menyiasati kemungkinan lamanya penantian bantuan ini dengan fasilitas bantuan kredit tanpa agunan. Ia juga menekankan perlunya menghidupkan pasar tradisional.

Berkemeja batik motif parang barong dipadu celana panjang biru, Sultan Hamengku Buwono X menerima wartawan Tempo Heru C. Nugroho dan Philipus Parera serta fotografer Arif Wibowo di Gedhong Wilis, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Kamis pekan lalu. Selama lebih dari satu jam, Sultan bercerita mengenai kondisi mutakhir, termasuk keluhan karena banyak orang yang tak bertanggung jawab memacetkan jalur komunikasi, juga tentang hikayat Merapi.

Mengapa masyarakat seperti menganggap Merapi bukan ancaman, padahal letusan kali ini dahsyat sekali?

Ini karena banyak faktor. Saya melihat, biarpun membahayakan, Merapi memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kalau masyarakat mengatakan secara turun-temurun tinggal dan menempati tanah warisan nenek moyang, mau bilang apa? Bumi memberikan harapan manusia hidup, bukan dikuasai. Jadi, kalau status Merapi siaga, ya menghindar. Tak ada cara lain. Wong, masuk bunker juga kena, kok. Bisanya hanya menyingkir. Itu saja.

Akhirnya letusan merenggut hampir dua ratus jiwa, termasuk abdi dalem Mbah Maridjan....

Saya prihatin sekali. Mestinya bisa dihindari pada tahap awal. Ketika Merapi meletus, seharusnya menyingkir, bukan merasa paling tahu. ”Enggak akan kena saya, tak akan ke sini.” Itu kan kesombongan namanya, mau menguasai alam. Merapi secara periodik pasti meletus karena siklus alam.

Apakah akan ada larangan menghuni daerah bahaya Merapi?

Pemikiran itu ada, tapi belum final. Kita perlu berdialog dengan masyarakat, khususnya di kawasan rawan bahaya III dan II. Misalnya Desa Kinahrejo, saya bilang harus ada relokasi karena sangat bahaya. Warga tahu Kinahrejo daerah merah (zona bahaya, selalu terancam awan panas, dan tak boleh dihuni—Red.), tapi itu tanah waris kakek-nenek. Mereka hidup di situ, merasa nyaman, dan ada janji bahwa status siaga akan berakhir. Kalau begitu, saya mau ngomong apa. Harus lebih argumentatif bicara relokasi atau pemindahan penduduk.

Jadi nanti tetap tak akan ada aturan larangan hunian 10 kilometer dari puncak Merapi?

Itu sulit. Apa kita bisa konsisten. Pada 1984 ada keputusan pemerintah pusat bahwa korban Merapi di kawasan berbahaya melakukan transmigrasi ke Sitiung, Sumatera Barat. Bedol desa, Pak Lurah pun ikut. Lahan yang ditinggalkan lebih dari 600 hektare. Tapi pemerintah tak memberikan ganti rugi. Apa yang terjadi? Sebagian kembali karena merasa masih punya aset.

Apa pelajaran dari kasus ini?

Saya tak mau mengulang tahun 1984. Di semua wilayah berbahaya tak boleh ada permukiman. Mungkin dihutankan. Jangan hanya bicara tentang tata ruang dan tata wilayah. Wong, kita tak pernah konsisten. Sudah diatur pun, fungsi lahan berubah, kita tak bisa apa-apa. Yang jelas, tanah harus dibeli. Dananya memang harus ada. Kalau tidak, akan timbul masalah baru.

Bagaimana membebaskan lahan di kawasan rawan bahaya?

Menurut saya, jangan bicara radius. Kondisi timur (yang terkena langsung terjangan awan panas) berbeda dengan barat (hanya abu vulkanik). Lalu kawasan aliran sungai yang terancam bahaya lahar dingin. Kita memang harus membantu hunian sementara untuk permukiman yang hancur seperti Kinahrejo, Kepuharjo, Glagaharjo, dan kawasan di bantaran sungai. Ini perlu kita identifikasi lebih jauh. Sudah dihitung, totalnya ada 2.300-an rumah.

Kapan pembangunan hunian sementara itu dilakukan?

Kawasan rawan bahaya III dan II (berjarak hampir 15 kilometer dari kepundan—Red.) jelas memerlukan hunian seperti itu. Sekarang desain rumah dan lanskap tanahnya sudah selesai, tinggal saya paraf. Berarti pembangunannya bisa segera dimulai, meski belum dipasang. Modelnya yang gampang dibongkar-pasang. Jadi, begitu Merapi dinyatakan aman, tinggal dipasang. Kalau menunggu aman dan baru dibuat, terlambat. Berarti lebih lama lagi di barak. Padahal tiga minggu saja tinggal di barak sudah jenuh.

Jadi di mana saja akan dibangun tempat tinggal sementara?

Di Pelemsari atau Gedangsari, saya lupa. Shelter ini lebih besar dibanding di Bantul dulu. Dulu bahannya bambu, hanya 20 meter persegi. Kali ini saya minta 28 meter persegi dan ada pembatas ruangan orang tua dan anak. Ada fasilitas air. Yang jelas, kita sediakan lahan kosong agar kambing, ayam, sapi perah bisa di situ. Mereka mau menanam sayur, beternak lele juga silakan. Harapan saya, di hunian sementara, ekonomi mereka bisa berkembang. Jadi perlu tanah untuk shelter dan mereka bekerja.

Berapa anggaran pembangunan hunian sementara itu dan dari mana dananya?

Tak bisa hanya bergantung pada APBD dan APBN, karena akan terlambat. Kalau ada pengusaha mau, kita beri kesempatan. Nilai setiap shelter belum diputuskan. Ada yang sanggup Rp 1,7 juta per unit tapi bahan gedheg biasa. Kalau hanya bilik, saya khawatir tak bisa tahan setahun. Pengertian sederhana untuk hunian sementara bukannya rusak dalam dua atau tiga bulan. Kalau perlu, tahan setahun karena menunggu rumah selesai.

Sekarang, bagaimana tentang bantuan biaya hidup untuk korban Merapi?

Pemerintah kan maunya berdasarkan nama. Pengungsi ke rumah dulu, didata. Tapi sulit karena mereka masih di pengungsian. Padahal kebutuhan mereka untuk makan tak bisa menunggu pendataan selesai. Sumur penduduk tercemar abu vulkanik, berarti harus ditutup atau dikuras dulu. Jaringan listrik dan air minum PDAM juga hancur. Kalau bantuan harus berdasarkan nama, kapan bisa mulai? Lalu masyarakat mau makan apa?

Mengapa tak bisa jalan beriringan antara bantuan dan pendataan?

Bagaimana memberikan biaya, wong mendata saja tak bisa. Bagi saya, bantuan mengacu nama dan alamat bisa dilakukan tiga atau enam bulan lagi. Di sinilah saya ingin masuk. Sekarang pengungsi tak ada duit di kantongnya. Kami bantu dulu dengan modal badan usaha kredit pedesaan di Kecamatan Turi, Tempel, Pakem, dan Cangkringan. Kita keluarkan keputusan, silakan ambil kredit setahun enam persen tanpa agunan.

Apakah bantuan kredit dan lain-lain itu menggunakan dana pusat?

Kelihatannya APBN tidak bisa merespons. Ya sudah, dengan APBD. Kalau APBD tak bisa juga, saya akan mengumpulkan pengusaha. Yang penting bagaimana ekonomi rakyat kecil bisa berputar. Mereka kan butuh makan.

Bagaimana memulihkan perekonomian rakyat yang lumpuh, khususnya di Sleman, akibat letusan Merapi?

Menurut saya, perlu segera menghidupkan pasar tradisional. Kalau penjual tak punya modal, pemerintah wajib membantu. Bagi saya, menghidupkan pasar tradisional itu prinsip. Dulu, setelah gempa Bantul, pasar tradisional juga dihidupkan. Dari situ kita bisa identifikasi mobilitas, risiko, atau tingkat kemampuan masyarakat suatu wilayah. Kalau pasar kembali ramai, berarti mereka masih punya duit.

Bagaimana mengelola bantuan yang cukup melimpah untuk korban Merapi?

Bantuan tak menyelesaikan semua masalah. Mereka yang harus berjuang untuk hidup. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana ikut mendukung. Urusan saya menjamin mereka di pengungsian sampai mau kembali.

Bagaimana Anda melihat solidaritas warga Yogya menghadapi bencana?

Modal sosial masyarakat Yogya memang kebersamaan. Kita sudah membuktikan pada 2006. Masyarakat tiap pagi bikin dapur umum sendiri. Membuka pintu untuk yang mengungsi karena punya kamar kosong. Ini kekuatan masyarakat Yogya. Toleransi masyarakat tinggi sekali.

Bagaimana seharusnya pemerintah mengelola potensi itu?

Kebijakan pemerintah harusnya mengacu semangat gotong-royong. Jangan menumbuhkan sikap egoistis sekelompok orang. Sekarang sepertinya masyarakat dipecah. Untuk masyarakat miskin, pemerintah mau membantu. Tetapi yang menengah dan yang kaya bisa ngurusi sendiri. Padahal masyarakat berkecukupan dan miskin tetap bergandengan tangan.

Bagaimana antisipasi mengurangi risiko bencana, mengingat Yogya memiliki potensi bencana, seperti letusan Merapi, gempa, dan tsunami?

Masyarakat perlu dididik terus. Gempa dan tsunami berbeda dengan letusan gunung berapi. Gempa tak bisa diperkirakan. Orang tinggal di pantai harus diberi pemahaman tentang bahaya tsunami. Begitu gempa dan air laut surut, mereka harus segera lari ke bukit. Perlu sosialisasi terus. Generasi berikutnya tak tahu bahaya tsunami jika tak ada sosialisasi. Sedangkan Merapi, begitu pemerintah mengeluarkan pengumuman, masyarakat patuh dan turun, pasti tak akan jatuh korban.

Sebenarnya, apa sih pentingnya Merapi bagi Yogya dan keraton?

Masyarakat dulu, zaman Hindu maupun setelah Islam masuk, kan ada garis imajiner utara-selatan. Merapi di utara dan laut di selatan. Zaman Hamengku Buwono I ada Tugu dan Panggung Krapyak. Ketika Islam masuk, hal itu dipahami sebagai habluminallah dan habluminannass. Berarti, ke utara bicara keimanan dan ketakwaan. Lalu ke selatan itu yang dimaksud dengan pemahaman hamemayu hayuning bawono. Alam, bumi, dan dunia memberikan harapan manusia hidup. Bumi dan isinya bukan dikuasai manusia. Orang Jawa sering mengasumsikan Merapi meletus itu tanda-tanda zaman.

Kabarnya, keraton mulai meninggalkan ritual di gunung Merapi?

Saya tak tahu dulu bagaimana. Pengertian saya, dari Hamengku Buwono VII, VIII, IX, dan sampai hari ini, ritual hanya setahun sekali, saat ulang tahun penobatan atau jumenengan. Ketika masih Hindu, mungkin seperti di Bali. Kondisinya berubah setelah Islam masuk. Hamengku Buwono I hanya melakukan ritual setahun sekali. Beliau menciptakan Tugu dan Panggung Krapyak, bukan Merapi dan laut selatan.

Penempatan juru kunci Merapi itu bukankah bukti pentingnya Merapi bagi keraton?

Mbah Maridjan itu tugas utamanya kan melaksanakan ritual setahun sekali, bukan menjaga Merapi. Wong, Merapi ini ciptaan Tuhan, sudah dijaga oleh Allah sendiri. Bukan dijaga oleh Mbah Maridjan. Kita yang salah menafsirkan.

Bagaimana prosedur penggantian juru kunci Merapi?

Penggantian Mbah Maridjan itu seperti pergantian personel saja. Kan, Mbah Maridjan itu punya 26 orang pembantu. Ada pembantu senior. Yang segolongan dengan Mbah Maridjan sebagai abdi dalem ada enam orang. Siapa penggantinya, nanti Mas Joyo (GBPH Joyokusumo—Red.) akan mengajukan usul. Tidak harus turun-temurun. Ketika bapaknya jadi juru kunci, Maridjan sudah jadi abdi dalem. Saya tidak tahu apakah anak Maridjan sudah jadi abdi dalem.

Apakah perlu secepatnya ada pergantian juru kunci Merapi?

Tidak usah secepatnya. Nanti timbul pro dan kontra lagi. Acara labuhannya kan masih pertengahan tahun depan.

Apakah ada semacam firasat ketika Merapi akan meletus?

Susah mengatakannya. Tapi pendapat saya dari sisi akademis, Merapi tetap hidup, berarti suatu saat bisa meletus. Soal interpretasi, orang bisa menafsirkan macam-macam. Bukan masalah mistik atau tak mistik, tapi karena konteks Merapi vertikal, hubungan dengan iman ketakwaan. Apakah Merapi menagih karena manusia banyak yang tak menepati janji. Dari konteks garis imajiner sah saja. Apa buktinya kalau manusia tak menepati janji? Lha, buktinya Maridjan kena. Dilihat dari konteks penugasan keraton, itu melaksanakan tugas tradisi, tugas spiritual, tapi sekarang jadi selebritas. Berarti apa? Itu tak konsisten. Orang bisa bilang begitu.

Benarkah Anda naik ke lereng Merapi pada hari pertama meletus?

Saya memang naik ke Merapi, ditemani sopir dan ajudan. Saya tak bertemu orang. Semua masih putih, jalan berdebu. Tak ada kehidupan. Seperti kota hantu. Hancur semuanya. Saya memohon kepada Allah agar masyarakat ikhlas, dan penderitaannya cepat berlalu. Saya berharap, mulai Jumat Wage lalu kalau bisa berhenti. Sekarang Merapi memang sudah menurun. Tapi Jumat sore itu masih dikasih cobaan, meletus kecil. Lalu Sabtu sampai sekarang sudah turun. Semoga selesailah.

Sri Sultan Hamengku Buwono X

Nama asli: Bandoro Raden Mas Herjuno Darpito Lahir: Yogyakarta, 2 April 1946

Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982

Karier:

  • Anggota MPR 1992
  • Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, sejak 3 Oktober 1998
  • Sultan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta, 7 Maret 1989

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus