Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Suara Kritis Ilmuwan Tua

Meninggalkan birokrasi, Bianpoen memilih hidup asketis. Tetap kritis menilai penanganan banjir dan kemacetan di Ibu Kota.

22 November 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata tua Lim Bianpoen me­nerawang mengingat kejadian 24 tahun silam. Ada sedikit kekecewaan tersisa di sana. Ketika itu bekas Kepala Pusat Penelitian dan Pengembang­an Masalah Perkotaan dan Lingkungan (P4L) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu baru menyelesaikan disertasi. Dia merasa karya ilmiah itu menjawab permasalahan utama Kota Jakarta.

Sayangnya, Gubernur DKI R. Soeprapto sama sekali tidak melirik karya ilmiah anak buahnya. ”Padahal disertasi itu sudah saya taruh di meja dia,” ujar Bianpoen di rumahnya yang sederhana, beberapa pekan lalu. Reaksi sang Gubernur bahkan mengagetkannya. ”Saat itu beliau hanya mengatakan untuk apa penelitian?” Bianpoen menambahkan.

Tanpa berpanjang kata, Bianpoen ­keluar dari ruangan R. Soeprapto. Ke­esokan harinya, mantan Staf Ahli Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin itu langsung mengajukan surat pengundur­an diri. Tak lupa dia ­mengambil kembali disertasi tentang urban mana­gement yang ditaruh di meja R. ­Soeprapto.

”Saya tidak ada masalah dengan beliau. Dengan teman-teman di DKI juga masih akrab. Waktu itu Pak Prapto kan baru jadi gubernur, makanya waktu saya pergi mengambil gelar doktor, dia tidak tahu,” ujar Bianpoen dengan na­da rendah.

Disertasi Bianpoen di University of Technology Hannover, Jerman, 1986, itu mengenai pengelolaan tata kota dan lingkungan di Jakarta beserta permasalahannya. Karya ilmiah itu memetakan berbagai masalah yang dihadapi Jakarta, seperti kemacetan, banjir, polusi, dan penggusuran. Dalam disertasi ini Bianpoen juga memaparkan solusi apa yang harus dilakukan Jakarta untuk menyelesaikan masalahnya.

Ketika itu, sebagai Kepala P4L, dia sudah melihat adanya kesalahan dalam menangani soal banjir dan kemacetan di Jakarta—masalah yang masih relevan hingga sekarang. ”Permasalahannya bukan berada di dalam Jakarta, tapi di luar Jakarta,” ujarnya.

Akar masalah banjir di Jakarta, menurut dia, adalah banyaknya permukiman yang dibangun di daerah Puncak melebihi kapasitas. Hutan dijadikan real estate dan bungalo. Pohon diganti dengan bangunan. Bianpoen berpendapat pepohonan di daerah Puncak mampu menyerap 90 persen air hujan yang akan mengalir ke Jakarta. ”Sepuluh persen lainnya masuk ke sungai,” ujarnya. Bila hutan diganti bungalo, 100 persen air hujan masuk ke sungai. ”Tidak ada cara untuk mencegah gelombang air hujan itu,” dia menambahkan.

Sejak awal dosen Pascasarjana Universitas Indonesia ini menganggap ­pembangunan kanal tidak bisa menyelesaikan permasalahan banjir Jakarta. Sebab, menurut Bianpoen, topografi Kota Bogor yang lebih tinggi sudah pasti mengalirkan airnya ke Jakarta melalui 13 sungai langsung ke laut. ”Bikin se­­ribu kanal juga tetap akan banjir,” ujar Bianpoen.

l l l

Berkemeja putih tipis lengan pendek, perawakan Bianpoen terlihat kurus. Namun kakek 80 tahun ini masih cekatan mengambil buku dan data dari perpustakaan yang ada di ruang atas rumahnya. Dia bolak-balik naik tangga yang cukup curam untuk menunjukkan perhitungan untung-rugi penggunaan busway.

Bianpoen adalah salah satu ahli tata kota yang tergabung dalam Ikatan Arsitektur Indonesia yang menolak pembangunan busway. Sama halnya dengan kanal yang tidak menyelesaikan masalah banjir, busway, menurut dia, juga tidak bisa menyelesaikan kemacetan di Jakarta. ”Malah menambah masalah. Memang busway lancar, tapi dia meram­pas ruang untuk mobil dan pengguna jalan lainnya,” kata Bianpoen.

Sambil membolak-balik kliping koran, Bianpoen mengatakan pembangunan busway yang mencontoh Kota Bogota tidak cocok bila diterapkan di Jakarta. ”Di sana jalannya besar-besar, ada jalur khusus untuk sepeda dan pejalan kaki, berbeda dengan Jakarta,” ujarnya. Dia kemudian menunjuk data jumlah perjalanan di Jakarta. Dari luar kota datang sekian mobil. Dari sekian banyak perjalanan, peran busway cuma nol koma sekian persen. ”Ini bahan kuliah saya, kesimpulannya: busway harus dihapuskan,” dia menambahkan.

Setiap pagi, Bianpoen masih meng­ajar di Salemba, Jakarta Pusat, dan ikut menjadi korban pembangunan busway. Dulu waktu tempuh dari rumahnya di kawasan Pejompongan ke Salemba hanya 15 menit. Kini, setelah ada busway, menjadi empat kali lebih lama.

Penumpukan kendaraan di sejumlah titik membuat pencemaran udara meningkat tajam. ”Dulu Jakarta adalah kota ketiga setelah Bangkok yang pencemaran udaranya paling tinggi, mungkin sekarang nomor satu,” katanya.

Sebelum pemerintah ramai membicarakan konsep transportasi publik yang dapat mengangkut ribuan orang sekaligus, Bianpoen sudah membahas konsep Mass Rapid Transit (MRT) dalam disertasinya. ”Ketimbang membangun jalan tol yang menghabiskan Rp 23-40 triliun, lebih baik jumlah segitu untuk membangun MRT,” ujarnya.

Dalam perhitungan Bianpoen, sekali jalan MRT mampu mengangkut sekitar 80 ribu orang, sedangkan busway hanya mengangkut 8.000 orang. Memang, MRT menghabiskan biaya lebih besar ketimbang membangun busway. Namun luas lahan yang terpakai untuk alat transportasi ini tidak banyak. ”MRT di bawah tanah, jadi sama sekali tidak mengganggu yang di atas,” dia menegaskan. Pembangunan MRT di Jakarta, menurut dia, tidak bermasalah, baik dari segi topografi maupun kontur tanah. ”Di bawah laut saja ada kok teknologinya,” katanya.

Ayah dua anak ini terkenal sangat galak dalam soal pemanfaatan lahan dan konservasi lingkungan. Bagi Bianpoen, pembangunan harus dijalankan tanpa boleh merusak lingkungan. Dia dapat menghitung kerusakan lingkungan dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks.

”Konsistensinya bisa menjadi pa­nutan untuk kita yang punya komitmen,” ahli planologi dari Universitas Tri­sakti, Yayat Supriatna, menilai Bianpoen. Menurut Yayat, ilmuwan senior itu memiliki ide orisinal yang kadang tidak terpikir oleh orang lain. Karakter Bianpoen yang keras, dia menambahkan, justru membedakannya dengan orang kebanyakan.

l l l

Lahir di Mojokerto dan menghabiskan masa kecil serta remaja­nya di Surabaya, Jawa Timur, Bianpoen ber­asal dari keluarga keturunan etnis Cina. Kendati begitu, dia tidak pernah merasa dibedakan dengan warga pribumi. Ia mengaku menjalani masa remaja yang indah saat menjadi siswa HBS di Ketapang, Surabaya.

Setamat HBS, dia langsung mengambil kuliah arsitektur di Belanda. Saat itu, Bianpoen mendapat beasiswa dari Menteri Pendidikan. ”Saya mengambil jurusan arsitektur, karena saat itu belum ada di Indonesia,” ujarnya. Semasa kuliah, dia aktif dalam perkumpulan mahasiswa Indonesia di Universitas Delft, Belanda. ”Organisasi itu tidak menyentuh dunia politik sama sekali. Cuma ada kegiatan budaya dan olahraga untuk semua mahasiswa Indonesia yang ada di Belanda,” katanya.

Sayangnya, di pertengahan masa kuliah, hubungan politik Indonesia dan Belanda memburuk. Akibatnya, semua mahasiswa yang ada di Belanda di­minta keluar dari Negeri Kincir Angin. ”Saya memilih pindah ke Jerman, karena yang terdekat kebetulan negara itu,” ujar Bianpoen sambil terkekeh.

Perpindahan studi dari Universitas Delft, Belanda, ke University of Technology Hannover, Jerman, bukan perkara mudah. Semua nilai mata kuliah yang pernah diambil, pekerjaan, dan gambar-gambarnya diperiksa ulang oleh pihak universitas. ”Bisa saja, di Belanda semester tiga, di Jerman harus balik lagi ke semester satu. Untungnya waktu itu saya lulus semua,” katanya.

Setamat kuliah di Jerman, Bianpoen menjadi salah satu arsitek angkatan awal di Indonesia bersama Sujudi, Soewondo, dan Han Awal. Berbekal gelar Dipl.Ing., bersama arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung, mereka telah membuka jalan baru dunia arsitektur di Indonesia melalui karya-karya yang membanggakan.

Cheta Nilawaty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus