Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mencemaskan perilaku seksual

Konperensi internasional AIDS ke-5 di montreal. penderita AIDS diperkirakan setengah juta di 149 negara. tidak kurang 6.000 makalah dibahas dan dihadiri 10.000 peserta serta 1.000 wartawan.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG presiden memerlukan datang dari Afrika ke Kanada, khusus untuk bicara soal AIDS. "Bila kita gagal mencegah perambatannya, maka AIDS akan menjadi epidemi terbesar dan menghancurkan kehidupan manusia, tak ubahnya bom atom," demikian Presiden Zambia, Kenneth Kaunda, menandaskan. Suaranya getir dan melantunkan kecemasan yang dalam. Kenneth Kaunda bicara pada pembukaan Konperensi AIDS Sedunia di Montreal, Kanada, Ahad pekan lalu. Ia mendapat kesempatan membuka konperensi, karena Kaunda-lah satu-satunya presiden yang memimpin sendiri delegasi negaranya. Perhatiannya pada masalah AIDS tidak berlebihan. Selain dugaan bahwa AIDS telah menyebar di Zambia, putranya, Mazuo Gwebe Kaunda, Desember 1986 meninggal karena AIDS. Konperensi AIDS internasional kelima ini mendapat perhatian luar biasa besar. Tidak kurang dari 6.000 makalah dibahas dalam pertemuan yang dihadiri 10.000 peserta dari seantero dunia. Sekitar 1.000 wartawan meliput konperensi ini. Indonesia diwakili dr. Kartono Mohamad dari jurnal kedokteran Medika, bersama Direktur Jenderal Pemberatasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, dr. Gandung Hartono. Toeti Kakiailatu dari TEMPO, yang mengikuti konperensi itu, melaporkan bahwa acara pembukaan terlambat dua jam karena demonstrasi penderita AIDS. Para demonstran yang mendesak masuk telah menyerobot kursi-kursi VIP di deretan depan. Namun, aksi protes itu tidak sampai menimbulkan keributan, malah sebaliknya mengundang simpati yang mendalam. Kesulitan para penderita, kecenderungan mendiskriminasikan mereka di banyak negara. Jonathan Mann, Direktur Masalah AIDS dari WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) mengungkapkan bahwa kini resmi tercatat 157.191 penderita AIDS di 149 negara. "Tapi angka resmi ini tidak menunjukkan angka sebenarnya. Kami memperkirakan jumlah sebenarnya tiga kali lipat," katanya. Mann juga melaporkan, terhitung sejak evaluasi di tahun 1981, jumlah penderita meningkat lebih dari 200% per tahun. Mann memastikan, dalam sejarah ilmu kesehatan belum ada penyakit yang menyebar secepat AIDS. "Karena itu, kita tidak bisa mengabaikan bahaya penyakit ini," katanya. Dalam dua setengah tahun mendatang, jumlah penderitanya, kata pejabat WHO itu, akan melonjak tiga kali lipat. Tak disangsikan lagi, AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang merontokkan daya tahan tubuh itu, epidemi yang mengancam dunia. Awal tahun ini, WHO mengumumkan program global untuk mengatasi AIDS. Sedangkan dalam konperensi di Montreal itu, strategi global itu dibahas kembali. Ada pembicaraan yang khusus memasalahkan pencegahan di negara berkembang. Kendati penderita AIDS di negara-negara ini relatif masih rendah, ada kekhawatiran, bila epidemi terjadi, maka ledakan tak kan bisa dikendalikan. Mengapa? Karena pemeliharan kesehatan di negara berkembang umumnya kurang diperhatikan. WHO cemas, banyak negara berkembang mengabaikan ancaman AIDS, karena tidak menyadari bahayanya. Kartono Mohamad dalam makalahnya mencoba mengetengahkan jalan keluar. Dikatakannya, sementara ini negara berkembang masih menghadapi berbagai penyakit infeksi yang memang harus diprioritaskan. Namun, ia sependapat dengan para pembicara lain, tentang ancaman AIDS yang tak bisa diabaikan. Dalam upaya pencegahan, ia menyarankan agar, "Beban sebaiknya didelegasikan pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan juga pers, bukan pemerintah, yang masih harus mengutamakan penyakit infeksi." Lalu, apa yang harus dilakukan oleh negara berkembang? Para peserta dari kelompok ini sepakat, tes darah tidak efektif karena sulit dilaksanakan dan terlampau mahal. Yang kini diperlukan adalah penyebaran informasi yang benar. Kartono mengemukakan, di Indonesia pers berperan besar dalam menyebarkan informasi ini. Ia mengemukakan hasil survei majalah TEMPO Maret lalu, yang menunjukkan 80% dari 1.000 responden tahu bahwa AIDS penyakit yang berbahaya dari media massa. WHO membenarkan pendapat para ahli negara berkembang. "AIDS dalam persepsi WHO bukan cuma masalah medis," kata Jonathan Mann, "tapi juga masalah sosial." Dalam program globalnya WHO menekankan, AIDS berjangkit melalui hubungan seks. Karena itu, pencegahan yang efektif harus dimulai dengan membahas perilaku seksual. Namun, di kebanyakan negara Dunia Ketiga, seks masih tabu untuk dibicarakan. Tidak ada survei seks yang bisa dijadikan dasar untuk membahas perilaku seksual. Di Montreal, perilaku masyarakat muncul sebagai salah satu topik yang hangat dibicarakan. Untuk pertama kalinya, pertemuan ilmiah ini menyertakan ahli-ahli dari bidang ilmu sosial. Beberapa antropolog, misalnya, mengetengahkan hasil pengamatan etnoepidemiologi. Survei dengan metode gabungan antropologi dan ilmu kesehatan ini mengamati bagaimana AIDS menyebar pada kelompok-kelompok etnis tertentu. Di Amerika, misalnya, longgarnya ikatan keluarga pada kelompok etnis tertentu menyebabkan tingginya perilaku gonta-ganti partner seks. Dan gejala ini terbukti sejalan dengan tingginya penyebaran AIDS. Bagaimana dengan perilaku seksual kita? Isu yang menyebar melalui berbagai media menyebutkan, seks bebas sudah menggejala di tanah air. Kebiasaan melakukan hubungan seks dengan siapa saja, katanya, sudah umum. Namun, hasil survei TEMPO bersama Departemen Kesehatan RI, Maret lalu, menunjukkan bahwa isu itu patut diragukan. Sangat mungkin perilaku ini cuma hinggap pada sekelompok kecil masyarakat karena sebab yang spesifik. Beberapa kesimpulan dari survei atas 1.000 responden yang tersebar di 15 kota itu menunjukkan bahwa pergeseran persepsi seks tidak mengarah pada seks bebas. Tapi condong pada kehidupan seks dalam keluarga yang lebih sehat.Jim Supangkat (Jakarta), Toeti Kakiailatu (Vancouver)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum