INILAH promosi yang dinanti-nantikan banyak orang. Di mimbar yang bersejarah itu, berdiri Dokter Raden Mas Padmosantjojo, yang Sabtu baru lalu resmi dikukuhkan sebagai guru besar ilmu bedah saraf FK UI. Dengan demikian, ia menjadi profesor ilmu bedah saraf Indonesia kelima. Empat yang lain adalah Prof. Dr. S.K. Handojo Prof. dr. Soewadji Prawirohardjo Prof. Dr. Basuki (ketianya dari FK UI), dan Prof. Dr. Med. R. Iskarno dari FK Unpad, Bandung. Padmo pernah mengakui bahwa ahli bedah saraf tergolong "gila". Mengapa? Pertama, cuma mereka yang mampu dan terbiasa berdiri di samping meja operasi sampai sehari semalam. "Yang bukan ahli bedah saraf tidak ada yang gila begitu," katanya pada TEMPO suatu ketika. Ahli bedah saraf juga menguasai dua kemampuan yang bertolak belakang sekaligus. Ia mampu berlaku keras, cepat, dan kasar, misalnya ketika mengebor atau menggergaji tulang tengkorak. Tapi ia bisa bertindak sabar dan teliti, misalnya ketika mengiris bagian otak. Tantangan lain yang kini dihadapi 26 ahli bedah saraf Indonesia, menurut Padmo, adalah mengembangkan bedah saraf anak. Operasi bedah saraf pada anak memang lebih sulit daripada operasi bedah saraf pada orang dewasa. Pasalnya, antara lain, karena susunan saraf anak belum berkembang sempurna, sehingga rentan terhadap perubahan yang terjadi. Anak juga butuh pembiusan khusus, sementara kapasitas jantungnya terbatas. Selain itu, kata Padmo, dalam operasi cacat bawaan pada anak, misalnya, ahli bedah saraf mesti bekerja sama dengan ahli lain. Soalnya, banyak kelainan saraf bawaan tidak berdiri sendiri, melainkan disertai cacat di organ tubuh yang lain. Cacat bawaan di daerah sumsum tulang belakang jenis Spinabifida, misalnya, sering diikuti dengan kelainan tungkai, saluran kemih, ataupun saluran cerna. Sedang pada kembar siam, cacat lain yang sering terbawa adalah kelainan jantung. "Itu sebabnya ahli bedah saraf saja tak cukup. Sering diperlukan koordinasi dengan ahli lain," kata Padmo, 51 tahun. Kerja sama itulah yang diimpikan Padmo. Di Rijks Universiteit Groningen, Belanda -- tempat dr. Padmo mendapat brevet ahli bedah saraf 1969 -- ada tim Spina bifida. Pemimpinnya seorang dokter umum yang sekaligus jadi koordinator pengobatan setiap pasien, hingga mereka mendapatkan pelayanan terbaik dan terhemat. "Kita bisa bekerja sama dengan baik, kalau pedoman akhir adalah kepentingan pasien," ujarnya. Pendapat ini didukung Kepala Bagian Bedah Saraf FK Unpad, Prof. Dr. Med. R. Iskarno. "Berhasil tidaknya sebuah operasi sangat ditentukan oleh dukungan ahli lain, misalnya ahli anestesi, ahli anak, atau ahli penyakit dalam," ujar Iskarno, yang paling banyak mendidik calon ahli bedah saraf di negeri ini. Di Indonesia, kerja sama yang baik ini terbukti, misalnya, ketika 40-an dokter dari berbagai disiplin membentuk sebuah tim yang kompak pada operasi kembar siam Yuliana-Yuliani, tahun 1987 lalu. Operasi pemisahan dempet kepala craniophagus itu, yang keberhasilannya ada di tangan Prof. Padmo, terbukti sukses. Kini Yuliana-Yuliani, yang memanggil Padmo dengan sebutan Pakde, memasuki usia dua tahun. Sesudah operasi craniophagus yang gemilang itu, rasanya kebahagiaan Padmo menjadi lengkap dengan pengukuhannya sebagai guru besar. Kendati begitu, ahli yang baru saja mengantar Jenderal Sarwo Edhi ke Amerika ini tidak berubah. Ia selalu mudah dihubungi, dimintai pendapat dan bantuan. Tidak pernah membuka "warung" sore sejak lulus dokter, 1963, Profesor bedah saraf termuda ini adalah orang yang tak suka basa-basi. Dan ia juga satu dari sedikit dokter yang tidak membiarkan jasanya diidentikkan dengan uang.Syafiq Basri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini