Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rokok: perlu ada konsensus nasional

Menurut data-data kesehatan, merokok berbahaya bagi kesehatan. sebaliknya, banyak rakyat indonesia yang hidup dari industri rokok & pendapatan bagi negara pun cukup berarti. suatu dilema bagi indonesia.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUBUNGAN antara rokok dan periklanan, serta rokok dan ekonomi, bukan barang baru di Indonesia. Sudah ada sejak zaman Roro Mendut, yang dengan menggunakan dirinya, yang konon aduhai, berhasil memasarkan rokok produksinya dengan sukses. Sukses strategi marketing Roro Mendut tentunya juga ikut menghidupi para tetangganya yang menjual nasi gudeg, wedang ronde, dan sebagainya. Ekonomi di wilayah Tumenggung Wiroguno menjadi hidup. GDP rakyat tentu meningkat. Sampai sekarang rokok merupakan sumber kehidupan ekonomi bagi banyak orang di Indonesia. Ada sekitar 100.000 tenaga kerja terserap di industri rokok. Perusahaan rokok yang pada bersaing telah mengalirkan bermilyar rupiah untuk menghidupi biro iklan dan karyawannya, dan bermilyar rupiah pula masuk ke pajak negara. Belum lagi kehidupan penjaja rokok ketengan di pinggir jalan. Kegiatan olahraga pun banyak yang hidup karena ditopang oleh pengusaha rokok, meskipun kata dokter keduanya sebenarnya bisa bertentangan. Olahraga dapat menyehatkan, sementara rokok justru membuat orang gampang sakit dan membuat olahragawan tidak akan mampu berpanjang napas. Maka, dapat dimengerti jika kampanye antirokok tidak begitu serius ditanggapi pemerintah. Survei kesehatan rumah tangga tahun 1985 memang menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah) dan saluran pernapasan meningkat secara tajam dibanding dengan survei 5 tahun yang lalu. Penyakit jantung dan pembuluh darah sudah naik menjadi pembunuh rakyat peringkat kedua, dan penyakit saluran napas menduduki peringkat ketiga. Sementara itu, jumlah rokok yang dikonsumsi rakyat pun meningkat menjadi 104 trilyun batang di tahun 1987, dan terus meningkat di tahun 1988. Para dokter mungkin akan dengan mudah menduga bahwa data meningkatnya berbagai penyakit yang erat hubungannya dengan akibat rokok tadi sejalan dengan meningkatnya konsumsi rokok. Sebaliknya, pengusaha dan pedagang rokok mungkin masih akan meminta bukti yang konklusif bahwa keduanya kait-mengait sebagai sebab dan akibat. Para pakar ekonomi mungkin akan meminta bukti-bukti perhitungan bahwa biaya yang keluar berkaitan dengan akibat rokok (karena kebakaran atau karena untuk mengobati penyakit) memang lebih tinggi dibanding dengan revenue yang diperoleh dari adanya industri rokok. Kelemahan di pihak orang-orang kesehatan memang di sana. Mereka belum melakukan studi tentang perhitungan untung rugi dalam rupiah akibat merokok. Negara lain memang pernah melakukannya. Lembaga Studi Kependudukan John Hopkins pernah mengungkapkan perbandingan untung rugi merokok bagi masyarakat dalam hitungan dolar. Ternyata, kerugian akibat kebakaran hutan, rumah, dan biaya pengobatan untuk penyakit akibat rokok masih lebih besar dibanding dengan perolehan negara dan masyarakat dari berdagang rokok. Yaitu, pengeluaran (kerugian) sebesar 27.539 dolar, sedang pemasukannya 17.000 dollar. Dalam dunia yang makin kompetitif ini, masalah rokok kemudian dicemari oleh masalah politik. Lembaga Konsumen Filipina pernah mengungkapkan bahwa rokok Amerika yang dijual di Filipina mengandung nikotin dan terlebih tinggi dibanding dengan yang dijual di negerinya sendiri, dan bahkan lebih tinggi dari kadar yang dibolehkan FDA Amerika. Filipina menuduh bahwa Amerika akan menjadikan rakyat Filipma sebagai pembuangan prodik yang di negerinya tidak boleh dijual. Dr. Judith MacKay, salah seorang penasihat WHO dalam masalah rokok, tahun lalu mengungkapkan bahwa sementara di Amerika pemerintah membatasi secara ketat tata niaga rokok dan melancarkan kampanye antirokok, mereka justru meminta agar Jepang meningkatkan impor rokok dari Amerika dari 27% sampai 20%. Dalam menghadapi impor rokok, Amerika tidak segan menggunakan kalangan kedokteran untuk mengatakan bahwa rokok kretek lebih berbahaya bagi kesehatan dibanding dengan rokok putih biasa. Laporan yang dipublikasikan 23 Desember 1988 lalu itu dengan jelas mengatakan bahwa rokok kretek yang diimpor dari Indonesia mengandung cengkeh yang sarinya dapat mengganggu saluran napas. Untunglah, Persatuan Dokter Amerika meng-"embargo" laporan itu untuk pers. Kalau tidak, mungkin seperti halnya peristiwa minyak kelapa sawit, Indonesia akan melancarkan serangan balik. Kita pun kemudian mungkin akan menuduh bahwa rokok yang dicampuri mentol, yang diproduksi Amerika, berbahaya bagi kesehatan. Tetapi benarkah merokok membuat biaya pemeliharaan kesehatan seseorang menjadi lebih mahal? Cobalah baca laporan Robert E. Leu dan Thomas Schaub di majalah Social Science and Medicine tahun 1983. Dilaporkan di sana bahwa biaya pemeliharaan kesehatan bagi perokok lebih rendah dibanding dengan bukan perokok, jika itu dihitung untuk sepanjang umurnya. Orang bukan perokok ternyata jangka hidupnya lebih panjang, sehingga memerlukan lebih banyak biaya untuk merawat kesehatannya. Tentu saja kedua pakar itu tidak menghitung nilai produktivitas perokok dibanding dengan bukan perokok. Seandainya hal itu juga dihitung, kesimpulan mereka mungkin akan lain. Bagi Indonesia, masalahnya memang dilematis. Data-data kesehatan memang benar bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. Sebaliknya, banyak rakyat kita yang hidup dari industri rokok, dan pendapatan bagi negara pun cukup berarti. Tetapi mengapa keduanya harus bertengkar? Mengapa kita, yang biasa menyelesaikan masalah melalui konsensus, tidak menggunakan cara ini dalam hal rokok? Misalnya secara sukarela industri rokok ikut membantu membiayai riset kedokteran tentang masalah rokok, walaupun hasilnya, untuk jangka pendek, terasa merugikan industri rokok? Dengan melakukan berbagai riset, barangkali para dokter kita dapat menemukan petunjuk tentang bagaimana merokok secara aman, kalau toh tidak dapat menghindari rokok. Bagi industri rokok, citranya akan meningkat, dan toh konsumennya sulit untuk berkurang. Bagaimana jika pengusaha rokok Indonesia, yang dalam percaturan ini dalam posisi yang masih "dilindungi" sikap pemerintah, bersikap simpatik terhadap mereka yang antirokok. Misalnya dengan tulus tidak akan lagi mengimbau remaja agar merokok. Tidak pula menggunakan remaja untuk iklan rokok. Dan bersedia mensponsori pemisahan tempat umum bagi yang merokok dan yang tidak merokok. Orang Indonesia ini, kalau dihadapi dengan simpatik, akan mudah luluh, kok. Percayalah bahwa meski kampanye antirokok makin gencar, penyakit akibat rokok makin bertambah jumlahnya dan mereka yang gemar merokok akan tetap bertambah. Bahkan dokter pun masih banyak yang merokok di depan pasiennya, dan guru pun merokok di depan kelas, meskipun dari segi sopan santun saja itu tidak kena.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus