ERIKA, bocah yang lincah, lucu, dan juga sering ''berkicau'' itu, ternyata menyandang cacat pendengaran. Keabnormalan ini baru diketahui ketika usia Erika 20 bulan. Selama ini, ketidakpeduliannya terhadap suara radio ataupun dering telepon luput dari pengamatan kedua orangtuanya, yang sepanjang hari memang sangat sibuk. Ibu Erika, Mariam Rudyanto, baru menaruk syak ketika si buah hati tidak bereaksi terhadap suara klakson yang dibunyikannya. Erika tenang-tenang saja di gendongan pengasuhnya. ''Saat itu barulah saya curiga bahwa anak saya tuli,'' kata bekas dosen Psikologi Pendidikan Universitas Indonesia ini kepada TEMPO. Mariam lalu berkisah, bagaimana dokter sempat ''marah-marah'' karena anaknya terlambat diperiksakan ke dokter. Padahal, kalau lebih cepat diketahui, barangkali nasib Erika tidak seburuk sekarang. Kini sehari-hari Erika belajar di sekolah luar biasa dengan menggunakan alat bantu dengar. Menurut dokter, saraf pendengarannya rusak. Di Indonesia belum diketahui berapa jumlah anak-anak yang senasib dengan Erika. Belum ada datanya. Sedangkan di Australia, diperkirakan, satu dari seribu bayi terlahir tuli. Untuk itu, penemuan alat pendeteksi pendengaran secara dini oleh tim yang dipimpin ahli bedah THT, Profesor Graeme Clark, menjadi penting. Alat pendeteksi itu merupakan hasil penelitian selama 15 tahun yang dilakukan oleh tim pusat penelitian komunikasi manusia di Universitas Melbourne, Australia. Nama alat tersebut Automatic Brainwave Audiometer. Alat ini bisa menentukan apakah bayi yang baru lahir tuli atau normal. Prinsip kerja alat ini adalah dengan mendeteksi secara langsung kemampuan reaksi dari saraf pendengaran. Caranya dengan memberikan respons lewat tiga elektrode yang ditempelkan di batok kepala anak yang akan diteliti. Masing-masing pada dahi, ubun-ubun, dan belakang telinga. Kabel-kabel itu kemudian dihubungkan ke layar monitor komputer. Ketika rangsangan dialirkan berupa kedutan bunyi dengan kekuatan tertentu saraf pendengaran pada bayi normal akan langsung memberikan reaksi. Grafik-grafik akan terekam langsung di layar monitor. Pada bayi yang pendengarannya cacat, saraf pendengarannya tidak akan bereaksi, hingga goresan grafik pun tidak muncul di kaca monitor. Demi tingkat akurasi yang tinggi, Profesor Clark bersama anggota timnya sampai melibatkan 56 orang sukarelawan. Cara ini tampaknya lebih objektif. Sebabnya, tidak memerlukan reaksi (gerak) dari objek yang diteliti, seperti biasa dilakukan selama ini. Dalam mengetes pendengaran, lazim dibunyikan bel atau klintingan. Cara ini mau tidak mau sangat bergantung pada reaksi bayi yang akan diteliti. Misalnya, kalau bel dibunyikan di sisi kanan bayi, diharapkan bayi akan menoleh ke kanan. Masalahnya, apakah bayi menengok ke kanan karena tertarik bunyi bel. Inilah yang membuat pengetesan sederhana dipandang kurang akurat. Apalagi tes semacam itu sulit diterapkan pada bayi yang baru lahir. Dengan alat Automatic Brainwave Audiometer, cacat pendengaran pada bayi bisa dideteksi. Jelas, ini akan memudahkan bagi yang pendengarannya cacat. Jika gejala ketulian ini terdeteksi sebelum usia enam bulan, menurut Clark, kesanggupan berbicara anak akan terbantu. Apalagi alat ini juga mampu menentukan letak kerusakan saraf secara lebih akurat. Akurasi deteksi juga dapat menentukan apakah bayi layak diberi implantasi telinga bionik atau tidak. Telinga bionik paling efektif pada seseorang yang cacat pendengarannya melebihi 90 persen. Tanpa deteksi yang akurat, implantasi telinga bionik mungkin saja tidak perlu. Yang sudah dideteksi secara dini antara lain Nicholas Armstrong. Anak berusia dua tahun itu kini dapat berkomunikasi secara normal. Sementara Hannah Bown, 19 bulan, membuat rekor sebagai bayi termuda yang menerima telinga bionik. Nah, tanpa alat pendeteksi dini yang akurat, kerusakan pendengaran yang rendah tidak terlacak. Dan ini biasanya terlambat diketahui, yakni setelah anak berusia dua tahun. Gejala tuli baru bisa diketahui, misalnya, dari kemampuan bicara si anak yang pasti tidak lancar. Kim Jelbart, Direktur Utama Evoked Response Audiometer System yang menanganai pemasarannya, menjelaskan, alat berupa kotak kecil plus layar monitor itu dipasarkan akhir tahun ini. Harganya per buah sekitar 7.500 dolar Australia (sekitar Rp 10,1 juta). Bagaimana di Indonesia? Ternyata alat serupa, sejak delapan bulan lalu, telah hadir di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Alat itu disebut BERA (Brain Evoked Response Audiometer). Hanya bedanya, menurut Dokter M. Hardjono Abdoerrachman, alat buatan Jepang tersebut bentuknya agak lebih besar, hingga tidak bisa dijinjing seperi alat buatan Australia. Namun, cara kerjanya mirip. ''Alat tersebut juga mampu mendeteksi pendengaran bayi secara dini,'' kata dokter spesialis THT anak ini. Sekali periksa perlu ongkos Rp 20.000 hingga Rp 40.000. Biaya ini bagi sebagian orang tentu terasa mahal. Apalagi pemeriksaan biasanya dilakukan paling sedikit dua kali. Terutama pada bayi-bayi yang lahir dengan kondisi sakit kuning (kadar bilirubin di atas normal), ketika lahir tidak menangis, terjadi infeksi selaput otak, dan lahir prematur. Gatot Triyanto dan Dewi Anggraini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini