CHRISTINA de Cavalho mungkin akan mengoreksi julukannya terhadap Xanana Gusmao. Siswi kelas 3 SDN Dili ini semula mengira tokoh Fretilin itu pahlawan. ''Setelah dia tertangkap, saya baru tahu dia pengkhianat,'' ujarnya pada TEMPO. Keyakinan Christina seperti ini akan menguat jika nanti dia membaca tiga draf buku Sejarah Perjuangan Timor Timur masing-masing untuk SD, SLTP, dan SLTA yang pekan-pekan ini diuji coba di provinsi bungsu itu. Sejumlah guru, murid, dan pemuka masyarakat diminta membaca buku itu. Nama Xanana memang tak tercantum dalam di sana. Tapi di buku yang masing-masing baru dicetak 500 eksemplar, digambarkan betapa sikap keras Fretilin yang menolak berintegrasi dengan Indonesia. Dalam buku SD, misalnya, ditulis ''Fretilin bertujuan mendirikan negara Timor Timur merdeka berdasarkan ajaran komunis''. Bila kelak buku ini dijadikan buku ajar di sekolah-sekolah di Timor Timur, berarti inilah satu-satunya buku pelajaran sejarah lokal yang pernah diterbitkan di Indonesia. Tapi buku ini masih akan diseminarkan lagi sehingga belum tahu pasti kapan diedarkan ke sekolah-sekolah di Timor Timur. Untuk apa buku ini? ''Selama ini kalau ada pertanyaan seputar integrasi sulit saya jawab karena tak ada referensinya,'' kata seorang guru SMA di Dili. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen P dan K Z.A. Achmady memperjelas tujuan penulisan buku ini. ''Agar anak didik di Timor Timur tahu integrasi itu jalan terbaik,'' katanya. Tapi draf itu segera memancing reaksi. Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares melihat buku itu belum memuat lengkap peristiwa yang terjadi di sana. Hal itu, menurut Abilio, akan memberikan wawasan setengah- setengah kepada siswa. Maka, kata Abilio, ''Saya anjurkan agar buku itu ditulis ulang.'' Konon, ide penulisan buku ini berasal dari tetua setempat. Yang jelas, pada tahun 1990, Gubernur (saat itu) Carrascalao mengungkapkan perlunya disusun buku sejarah integrasi, sebagai pegangan untuk mendidik generasi muda Timor Timur. Menurut Carrascalao, mereka perlu memahami makna integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Usul Carrascalao ini tentu klop dengan tujuan Pemerintah untuk menumbuhkan wawasan kebangsaan, dan membuat anak sekolah di sana merasa sebagai bagian dari Indonesia. Gayung pun bersambut. Para pejabat Departemen P dan K di Jakarta menyambut usul Carrascalao. Karena alasan sulitnya dana, rencana itu terkendala. Maka, ketika meletus peristiwa Dili, 12 November 1991, Gubernur Carrascalao kembali meneriakkan usulnya tentang buku sejarah integrasi itu. Seperti diketahui, pada 12 November itu terjadi demonstrasi besar menentang integrasi. Demonstrasi ini berakhir dengan tumpahnya darah: sejumlah demonstran tewas. Sebagian besar demonstran itu terdiri dari siswa SMP, STM, SMA. Nah, menurut Carrascalao, generasi muda Timor Timur terlibat dalam aksi itu karena tak paham arti integrasi, atau sejarah Timor Timur. Mereka tak tahu siapa pahlawannya. Maka, Oktober tahun lalu, berlangsung seminar penulisan sejarah Timor Timur di Dili, yang dihadiri sejumlah ahli sejarah, politisi, dan tokoh masyarakat setempat. Rupanya, saat itu sudah tersedia dana Rp 70 juta. Setelah seminar itu, Dirjen Achmady membentuk tim penyusunan ketiga buku itu, yang beranggotakan 19 orang. Mereka terdiri dari aparat P & K, Pusat Sejarah ABRI, dan dosen-dosen sejarah di Fakultas Sastra UI. Tim ini bertugas menyempurnakan, menguji coba, melakukan studi lapangan, studi pustaka, dan tentunya mewawancarai sumber- sumber yang relevan. Hanya saja dalam tim keroyokan itu, tak ada seorang pun ''putra daerah'' Timor Timur. Yang jelas, menurut seorang anggota tim, tentu saja ada kepentingan politis dalam penyusunan buku itu, sehingga mereka tak bisa transparan mengungkap fakta. Memang inilah soal yang pokok: tak bisa transparan. ''Sejarah kontemporer memang politis, sehingga sulit ditulis,'' kata Yusmar Basri, seorang penyusun buku itu dari Pusat Sejarah ABRI. Dengan kata lain, buku ini sulit untuk dibilang betul-betul objektif. Tapi Dirjen Achmady tak terlalu mempersoalkan objektivitas itu. ''Ini kan hanya buku ajar. Jangan dibandingkan dengan buku teks sejarah yang menyeluruh,'' katanya. Buku ini, menurut Achmady, sifatnya hanya sebagai penunjang, untuk melengkapi buku Sejarah Nasional Indonesia, yang telah diajarkan sebelumnya di sana. Karena sifatnya sebagai buku ajar itulah, teknik penulisannya disesuaikan dengan tingkat pendidikan siswa. Misalnya saja untuk SD, aspek politik tak begitu detail diungkapkan. Kadar pembahasan masalah terus meningkat pada buku untuk SLTP dan SLTA. Untuk buku SLTA, diungkapkan peran misi Ali Moertopo (1975) dalam perundingan dengan pemerintah Portugal di London. Referensinya juga beragam. Mulai tulisan standar A.B. Lapian dan J.R. Chaniago Timor Timur dalam Gerak Pembangunan, dokumen CSIS, sampai dokumen dari Pusat Sejarah ABRI. Gaya penulisan dipilih secara kronologis. Diawali soal-soal umum tentang lingkungan alam dan masyarakat Timor Timur, masa prasejarah dan kerajaan tradisional, penjajahan Portugal, hingga proses integrasi. Lalu, buku itu ditutup dengan happy ending: derap pembangunan di Timor Timur setelah integrasi. Wahyu Muryadi (Jakarta) dan Ruba'i Kadir (Dili)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini