Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Meneropong Si Monyet Kayu

Pergantian tahun adalah saat panen bagi para peramal. Orang ingin tahu ke mana angin peruntungan bertiup pada tahun mendatang.

28 Desember 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Boleh percaya, tidak pun silakan. Laurentia Pasaribu, 72 tahun, beberapa pekan lalu merasa mendapat penglihatan dalam sebuah meditasi. Seorang lelaki Arab bercambang lebat sedang duduk di lubang gelap. Tangan si pria menengadah ke atas, pertanda takluk. "Saya tidak yakin, tapi sepertinya dia Saddam Hussein," kata Lauren, yang bergegas menelepon seorang kawannya, wartawan, begitu penglihatan ini muncul.

Eh, tak lama kemudian, tersiar kabar bahwa Saddam Hussein tertangkap tentara Amerika Serikat. Mantan pemimpin Irak ini ditangkap tanpa perlawanan ketika sedang bersembunyi di lubang gelap. Sontak wartawan tadi menelepon Lauren. "Dia bilang," kata Lauren me- nirukan, "ternyata ramalan Mama benar juga."

Mama Lauren, begitu dia akrab disapa, memang bukan sosok semba-rangan. Tiap pengujung tahun, ramal-annya muncul dikutip media cetak ataupun elektronik secara luas. Kepada TEMPO, di rumahnya di Cipinang Indah, Jakarta Timur, pekan lalu, Mama Lauren juga menyampaikan warna-warni tahun 2004.

Tahun 2004 ber-shio Monyet Kayu. "Karakternya licik, tidak jujur, dan senang berkelompok," kata Lauren. Sebagai kawanan, monyet memang rukun. Tapi, bila terusik, mereka tidak segan merusak lingkungan dengan beringas. Walhasil, Lauren memperkirakan bencana banjir besar dan gempa bumi banyak muncul pada tahun mendatang. "Ada juga letusan gunung di Indonesia bagian timur," katanya sambil mengisap rokok putih.

Tertarik ingin tahu lebih jauh? Silakan langsung menemui Mama Lauren. Tapi jangan lupa bikin janji agar Anda tidak disambut antrean panjang. "Klien saya meningkat 100 persen menjelang akhir tahun," kata Lauren. Biasanya tiap hari ada 10-15 klien yang datang. Tapi hari-hari ini tamunya bisa mencapai 30 orang per hari. Tidak jarang ada tamu yang datang lewat tengah malam. Klien spesial seperti ini biasanya orang penting atau pejabat yang tak mau kedatangannya diketahui masyarakat.

Begitulah, di jagat yang modern dan mengagungkan rasionalitas, peramal masih punya tempat penting di tengah masyarakat. Dan pergantian tahun adalah momen tepat untuk berkunjung menemui peramal. "Orang ingin tahu progres hidup tahun depan, ingin tahu siklus hidupnya mengarah ke mana," kata Hajah Leoni Fatimah Putri Wongkamfu, 50 tahun, yang tak lain adalah penerus peramal kenamaan Empeh (Kakek) Wongkamfu.

Putri membenarkan, permintaan meramal mengalir deras di akhir tahun. Ada 200-an klien yang hari-hari ini masuk daftar tunggunya. Berbeda dengan Lauren, Putri tidak punya tempat khusus untuk buka praktek. Dia berkeliling ke berbagai kota untuk bertemu dengan klien. Bisa di Malang, Surabaya, Samarinda, Jakarta, atau di Singapura dan Kuala Lumpur. "Saya yang menentukan tempat dan waktu pertemuan," katanya dalam percakapan selama dua jam dengan TEMPO di kota sejuk Batu, Jawa Timur.

Soal tarif, Putri tak punya patokan kaku. "Kalau ada klien yang enggak mampu, saya gratisin," katanya. Sebaliknya, layaknya selebriti, Putri tak segan menetapkan tarif mahal untuk klien yang potensial. Misalnya, untuk wawancara dengan televisi, Putri menetapkan tarif Rp 10 juta, dan untuk talk show Rp 15 juta.

Sebagian besar klien yang datang, Putri melanjutkan, adalah pebisnis yang ingin melihat ke mana angin keberuntungan bakal bertiup. Nasihat praktis dari Putri, tentang langkah-langkah yang bisa menyelaraskan irama bisnis dengan karakter Tahun Monyet Kayu, akan sangat ditunggu-tunggu.

Selain pebisnis, tidak sedikit politikus yang menyambangi Putri. Se- bulan yang lalu, misalnya, seorang pemimpin partai besar yang berjaya di zaman Orde Baru—Putri tak mau menyebutkan namanya—datang bertamu. Sang politikus penasaran ingin tahu peluangnya menuju Pemilu 2004. "Saya bilang kepadanya," kata Putri, "Bapak sebaiknya bersabar dan mengalah dahulu." Ah, bisa patah hati si politikus mendengar nasihat Putri ini.

Lonjakan klien di akhir tahun juga dialami Ani Sekarningsih, 60 tahun. Pembaca kartu tarot yang berpraktek di paviliun rumahnya, Padepokan Tarot Indonesia, di Lebak Bulus, Jakarta, ini menyebutkan kliennya meningkat 75 persen menjelang akhir tahun. Belakangan ini, Ani menerima lima tamu tiap hari, meningkat dari biasanya—tiga orang sehari. Ani, yang belajar tarot sejak berumur 13 tahun, memang membatasi jumlah klien. Katanya, "Biar leluasa curhat." Antrean pasien pun diharamkan demi mencapai suasana yang ideal.

Bagi Ani, suasana yang nyaman adalah kunci menggali peta jiwa. Kenyamanan akan membuat klien membuka diri, terbuka, dan berbincang santai sepuasnya. Lalu, berbekal gambar-gambar kartu tarot, Ani membaca permasalahan dan mera-malkan apa yang akan dihadapi sang klien. Layaknya ibu dengan anak, Ani akan mendiskusikan semua problem tamunya dengan nada hangat. Sampai akhirnya, "Klien akan melangkah keluar dari ruangan kita dengan hati yang besar, punya harapan, dan happy," kata penulis novel berjudul Namaku Teweraut ini.

Pendekatan yang bersifat pribadi juga diterapkan Kenny Tiyara Mitarua, 24 tahun. Gadis pembaca kartu tarot yang satu ini tampil funky dan trendi lazimnya anak muda zaman sekarang. Tubuh rampingnya di- balut baju ketat, kakinya dibungkus celana jins, sementara rambutnya yang lurus hitam digerai lepas. Tempat prakteknya pun di sebuah kafe yang nyaman dengan arsitektur gaya Prancis, yakni TC Squares, di Kemang, Jakarta Selatan.

Kenny, yang sejak kecil merasa dikaruniai kepekaan indra keenam, mulai serius belajar membaca kartu tarot lima tahun lalu. Kliennya bermula dari teman, kerabat dekat, dan terus meluas dari mulut ke mulut. Sampai akhirnya, Januari 2003, Kenny ditawari buka praktek di TC Squares setiap Senin pukul 12 siang-9 malam.

Kenny menegaskan dirinya bukanlah peramal masa depan (fortune teller). Dia memilih berkonsentrasi pada masalah yang sedang dihadapi klien. Kenny merasa khawatir mendahului kehendak Tuhan bila meramal terlalu jauh ke depan. "Takut kena karma," kata mahasiswi S-2 jurusan hubungan internasional di sebuah perguruan tinggi di Jakarta ini.

Klien yang datang, menurut Kenny, 95 persen adalah perempuan. Mungkin, katanya, cewek cenderung lebih percaya pada dunia ramal-meramal ketimbang laki-laki. Mereka datang dengan beragam problem, dari percintaan, jodoh, studi, pekerjaan, sampai ketegangan dengan orang tua. Tidak jarang pula ada penyanyi dan selebriti yang datang. "Umumnya nanyain show akan datang, bakal sukses atau enggak," kata Kenny tanpa mau menyebutkan jati diri selebriti itu.

Hanya, Kenny mengingatkan, hasil ramalan hendaknya jangan ditelan seratus persen. Apa yang terbaca dari kartu tarot—setiap paket terdiri atas 78 kartu bergambar—tidak bisa diartikan hitam-putih. Ada puluhan tafsir yang berlaku untuk sebuah gambar. Selain kepekaan si pembaca tarot, ikhtiar individu yang bersangkutan turut menentukan apa yang nantinya bakal terjadi.

Pendapat serupa muncul dari Ani Sekarningsih. "Kebenaran ramalan hanyalah 60 persen," kata Ani, "Yang 100 persen itu kepunyaan Tuhan"—meskipun, Ani melanjutkan, sampai sejauh ini, ramalannya tak ada yang meleset.

Putri Wongkamfu sepakat dengan Kenny dan Ani. Menurut dia, ramalan hanya bersifat perkiraan garis besar, atau ancer-ancer kata orang Jawa. Detail perwujudannya bergantung pada manusianya sendiri. Lagi pula janji Tuhan sudah jelas. "Dia tidak akan mengubah nasib sebuah kaum kecuali kaum itu sendiri berusaha," kata Putri.

Indonesia, misalnya, menghadapi saat strategis sekaligus kritis pada tahun 2004. "Umpama bunga, dia sedang mekar-mekarnya. Umpama pohon, dia sedang berbuah lebat. Umpama orang ngantre karcis, dia sudah ada di depan loket," katanya bersyair.

Nah, pada masa seperti ini, para pemimpin dituntut bersikap ekstra-hati-hati dan bijaksana. Jika langkahnya tepat, perjalanan bangsa akan menuju arah yang lebih baik dan cerah. Sebaliknya, jika tetap sembrono, nekat melakukan korupsi, bukan mustahil akan tercipta krisis yang jauh lebih dahsyat.

Mardiyah Chamim, Nurhayati, Yura Syahrul (TNR, Jakarta), Abdi Purmono (Batu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus