Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana di pos perbatasan Motaain di pinggir Kota Belu, Nusa Tenggara Timur, yang berbatasan dengan Distrik Bobonaro, Timor Leste, itu bak sebuah reuni. Sejumlah pejabat dan aparat keamanan Kabupaten Belu, seperti Kepala Kepolisian Belu, Ajun Komisaris Besar Agus Nugroho, ramah bertegur sapa dengan beberapa pejabat Timor Leste, di antaranya Deputi Administrasi Maliana, Beatrix Xiemenes Martins. Senin pekan lalu itu, para pejabat Indonesia mendeportasi 26 warga Timor Leste yang menyeberang tanpa dokumen keimigrasian. Kepala Polisi Nasional Timor Leste, Paulo de Fatima Martins, yang juga bekas perwira kepolisian Indonesia, datang sendiri untuk menerima penyerahan itu.
Suasana berkebalikan terlihat pada wajah 26 orang itu. Mereka terlihat kuyu dan lelah setelah sempat ditahan Kepolisian Belu sekitar empat bulan. Beberapa di antara mereka menyesali keputusan pemerintah Indonesia men- deportasi mereka. "Kami tidak mau pulang. Biar tembak kasi mati kita saja di sini," kata Antonio, 40 tahun, salah satu dari mereka. Nicholay Aprilindo, Ketua Tim Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menjadi kuasa hukum mereka, mengatakan bahwa kliennya sebenarnya warga Indonesia. Hanya, mereka dipaksa Lembaga PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) ke Timor Leste ketika program repatriasi berlangsung beberapa waktu lalu. Di sana, kata Nicholay, kliennya, yang sebagian besar pro-integrasi, diteror dan di- hantui kekerasan.
Karena tidak tahan, mereka kembali ke Indonesia. Joao da Cruz, teman Antonio, mengungkapkan betapa tak mudah kembali ke Indonesia. "Kami harus berjalan sekitar 50 kilometer melalui jalan-jalan tikus dengan mengangkut seluruh harta benda, termasuk ternak peliharaan," katanya. Mereka berharap diterima menjadi warga Indonesia karena masih memegang kartu tanda penduduk (KTP) Indonesia. Namun harapan bisa menjalani kehidupan yang lebih baik ternyata kandas.
Sebelum deportasi berlangsung, Nicholay membawa persoalan ini ke mana-mana. Timnya sudah mengadukan masalah ini ke komisi politik-keamanan dan hukum DPR, Departemen Luar Negeri, dan Presiden Megawati. Tim Nicholay sampai tiga kali mengajukan nota protes ke Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Tapi, hingga dua pekan lalu, Departemen Luar Negeri masih belum menjawab protes tersebut. "Kami sedang merumuskannya," kata Direktur Perjanjian Bidang Politik dan Keamanan dan Teritorial, Departemen Luar Negeri Indonesia, Arif Havas Oegroseno. Tapi tiba-tiba saja ke-26 orang itu sudah dideportasi.
Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao, sebetulnya sudah turun tangan menyelesaikan persoalan ini. Oegroseno mengungkapkan bahwa Xanana sempat menemui mereka di tahanan. Presiden yang sempat mendekam di penjara Indonesia itu berharap mereka kembali ke negerinya. Xanana bahkan langsung menjamin keselamatan mereka di Timor Leste. Tapi para pelintas batas ini menampik. Mereka bertahan di Indonesia kendati dalam status tahanan. Nicholay tak yakin bahwa kliennya akan selamat sekembali mereka ke Timor Leste. "Bagaimana akan tahu apa yang terjadi pada mereka? Xanana jauh berada di Dili, empat jam perjalanan darat dari Bobonaro," katanya.
Keputusan mendeportasi itu sebenarnya sudah bisa diduga sebelumnya. Agus Nugroho pernah mengatakan UNHCR di Timor Leste tidak men- dapatkan bukti kuat bahwa 26 orang itu diteror dan diintimidasi. Dia yakin penyebab utama mereka yang tercatat sebagai pengungsi Timor Leste di Satuan Pelaksana PBB di Nusa Tenggara Timur itu kembali ke Indonesia semata-mata adalah urusan perut. "Hanya soal ekonomi," ujarnya. Kondisi perekonomian Timor Leste memang memprihatinkan. Sebagian besar penduduk Timor menganggur, sementara harga barang sangat mahal dan sulit dijangkau. Karena itulah UNHCR akhirnya mengembalikan keputusan ini kepada pemerintah Indonesia.
Keputusan ini, bagaimanapun, telah memupus harapan 26 orang itu. Nicholay mengaku akan memperkarakan pemerintah Indonesia. Dia menegaskan bahwa Indonesia tak bisa menggunakan dalih keimigrasian untuk mendeportasi warga Timor Leste itu. "Mereka masih tercatat sebagai warga Indonesia," katanya. Mereka yang pro-integrasi sebagian besar kembali ke sana karena terpaksa. Oegroseno menolak dalih Nicholay. "Kalau soal KTP, semua warga Timor Leste punya KTP Indonesia," katanya. Namun Indonesia tetap ber-pegang teguh pada kesepakatan soal repatriasi dulu. Itu sebabnya mereka yang masuk ke Indonesia mesti dikembalikan ke Timor Leste.
Endri Kurniawati, Ahmad Taufik, Jefrianto, Jems de Fortuna (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo