Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun ini Masih Juga Bernama Tahun Teror dan Korupsi
Sepasang sepupu itu, bernama Hukum dan Keadilan, kini mencoba bersapa. Di Indonesia, sejak Orde Baru hingga memasuki Orde Reformasi, Hukum dan Keadilan bak saudara sepupu yang masing-masing melangkah di atas rel kereta api. Saling tak bersapa, apalagi bersentuhan.
Namun pengadilan terhadap para terdakwa pelaku pengeboman Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, memperlihatkan sesuatu yang ”baru”, meski tak mengejutkan: Hukum dan Keadilan mulai berbincang. Apakah karena ”tekanan internasional” atau karena memang kita tak ingin terteror, pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron alias Muchlas atas peledakan bom yang menewaskan lebih dari 200 orang itu. Kecuali Ali Imron—yang dihukum penjara seumur hidup—tak seorang pun terdakwa menyesal dan meminta maaf atas peledakan itu. Teror kemudian menjadi warna baru dari kehidupan negara ini.
Selain teror, korupsi adalah kriminalitas yang sudah menjadi urat nadi bangsa ini. Para wali kota, bupati, gubernur, atau para pemimpin daerah terpilih harus menghadapi persidangan gara-gara korupsi. Bahkan, menurut perhitungan Kejaksaan Agung, tak kurang dari 180 anggota dewan perwakilan rakyat daerahmenghadapi kasus penyelewengan uang negara ini. Entah sudah berapa ratus miliar rupiah yang raib karena dipakai pejabat di daerah untuk memperkaya diri sendiri. Berbagai kasus ini seakan-akan mengukuhkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Karena itu, lengkaplah sudah. Dari urat nadi, sebentar lagi korupsi akan menjadi jantung hati bangsa ini.
Apakah persidangan-persidangan korupsi itu telah memberikan harapan bahwa kita adalah bangsa yang baik dan benar serta bermoral? Tampaknya belum. Problem utama, bangsa kita tak memiliki urat malu.
Dentaman yang Melegakan
DAHSYATNYA ledakan di Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, seolah ikut membakar suasana sidang, dan memanaskan palu hakim. Terbayanglah sebanyak 200 jiwa lebih tewas dan ratusan orang terluka dihajar amukan bom. Putusan tegas tak bisa ditawar. Beberapa bulan silam, tiga pelaku utama aksi teror tersebut—Imam Samudra, Amrozi, dan Ali Gufron—diganjar hukuman mati. Dua kawan mereka, Ali Imron dan Mubarok, dihukum penjara seumur hidup. Sisanya, belasan orang yang dianggap membantu mereka, sekecil apa pun, divonis paling sedikit tiga tahun penjara.
Dunia memujinya. Perdana Menteri Australia, John Howard, pun datang ke Bali pada peringatan setahun tragedi yang mengenaskan itu, Oktober lalu. Di antara korban yang tewas, paling banyak memang berasal dari Negeri Kanguru.
Para pelaku tak berkutik setelah pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 tentang Terorisme, yang kemudian disahkan menjadi undang-undang awal tahun ini. Bukan cuma berlaku surut untuk kasus bom Bali, undang-undang ini mempermudah polisi menjerat para pelaku tanpa pembuktian yang bertele-tele.
Harus diakui pula, polisi amat tekun dalam melacak, mengintai, dan akhirnya membekap para pelaku. Disokong dengan kerja keras kejaksaan dalam menyiapkan dakwaan, sidang bisa digelar dengan cepat. Rata-rata terdakwa utama hanya menjalankan sidang selama tiga bulan dan langsung dijatuhi hukuman. Dua puluh sembilan orang terdakwa kasus bom Bali telah divonis pada tahun 2003. Kini tinggal empat terdakwa yang disidangkan, dan dua tersangka lagi dalam tahap penyidikan.
Kendati tak bakal menyembuhkan duka keluarga korban, ayunan palu hakim yang berdentam keras terhadap para pelaku terorisme cukup melegakan.
Ujian bagi Kebebasan
SETELAH lima tahun layar reformasi dibentangkan, kebebasan pers justru diterpa ujian berat. Dituduh mencemarkan nama baik, sejumlah jurnalis terancam masuk bui. Media mereka pun bisa gulung tikar karena dihujani gugatan.
Tengoklah yang dilakoni Majalah TEMPO. Kini pemimpin redaksi majalah ini, Bambang Harymurti, serta dua awak redaksinya, Iskandar Ali dan Ahmad Taufik, sedang diadili dengan tuduhan pencemaran nama baik. Ini gara-gara tulisan Ada Tomy di Tenabang?, yang dimuat di Majalah TEMPO edisi 3-9 Maret 2003.
Kasus itu beranak-pinak. Bos Grup Artha Graha, Tomy Winata, juga melakukan gugatan perdata terhadap pimpinan TEMPO. Pendiri majalah ini, Goenawan Mohamad, pun digugat oleh Tomy karena pernyataannya, ”Negara jangan jatuh ke tangan preman dan Tomy Winata.” Bahkan rumah Goenawan sempat disita sebagai jaminan.
Yang sudah merasakan tumbukan palu hakim adalah dua orang wartawan Rakyat Merdeka, Karim Paputungan dan Supratman. Karim divonis lima bulan penjara karena dianggap bertanggung jawab atas karikatur telanjang Akbar Tandjung di koran ini. Supratman dihukum enam bulan penjara gara-gara tulisan berjudul Mulut Mega Bau Solar.
Ancaman sempat pula datang dari Marimutu Sinivasan, bos Grup Texmaco. Ia menggugat harian Kompas dan Majalah TEMPO karena tulisan-tulisannya yang dinilai mencemarkan nama baik. Ujungnya, kasus dengan Kompas berakhir damai karena Sinivasan mencabut gugatannya. Gugatan terhadap TEMPO pun ditolak oleh hakim lantaran kabur.
Masih ada nurani di pengadilan. Tapi, bagaimanapun, tahun ini merupakan ujian berat bagi pers.
Pejabat Bukan Raja
Pejabat di daerah kini bukan lagi raja yang tak tersentuh hukum. Sudah lebih dari 100 pejabat di daerah yang terjaring kasus korupsi, dari wali kota, bupati, gubernur, sampai anggota parlemen. Salah satu kasus korupsi yang paling fenomenal adalah yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Riau yang melibatkan Bupati Huzrin Hood. Sang Bupati divonis dua tahun penjara dan harus mengembalikan uang negara sebesar Rp 3,4 miliar. Huzrin juga dicopot dari jabatannya.
Tak terhitung lagi anggota dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) yang sedang menjalani pemeriksaan polisi atau menghadapi persidangan karena kasus penggelapan uang negara. Sebut saja kasus korupsi yang melibatkan Adjis Saip, yang dituduh menyalahgunakan dana operasional DPRD senilai Rp 7,5 miliar, atau kasus korupsi dana operasional senilaiRp 1,9 miliar yang melibatkan sejumlah anggota DPRD Ciamis. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Kemas Yahya, mengungkapkan bahwa sampai November 2003 ada 180 anggota DPRD yang terjerat kasus korupsi. Itu baru laporan dari 18 kejaksaan tinggi di Indonesia.
Di satu sisi, ini kabar buruk karena menunjukkan betapa korupsi makin menyebar ke daerah. Di sisi lain, kita boleh menaruh harapan bahwa giatnya pemberantasan korupsi di daerah bisa mengimbas ke Jakarta, kecuali jika Jakarta lebih senang Indonesia berada di posisi sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia.
Terbunuhnya Sang Mertua
INILAH kisah yang melibatkan cinta, dendam, perebutan harta, bahkan tentara. Drama yang berujung pada terbunuhnya Presiden Direktur Grup Asaba, Boedyharto Angsono, itu sungguh menegangkan mirip cerita dalam film-film Hong Kong. Pun kisah perburuan menantunya, Gunawan Santosa, yang dituduh sebagai dalang pembunuhan mertuanya.
Boedyharto ditembak di depan lapangan basket Gelanggang Olahraga Pluit, Jakarta Utara, 19 Juli 2003, saat keluar dari mobilnya. Pengawalnya, Sersan Dua TNI Edy Siyep (anggota Kopassus), lebih dulu jatuh tersungkur diterjang peluru orang tak dikenal yang mengendarai sepeda motor.
Polisi langsung memburu Gunawan, yang diduga terlibat. Ia juga dituduh sebagai otak pembunuhan seorang direktur keuangan perusahaan tersebut, dua bulan sebelumnya. Motifnya? Gunawan dendam karena ia dituduh membobol uang Asaba. Sebelumnya, Gunawan dan Boedyharto terlibat pula perang perkara, yang akhirnya menyebabkan sang menantu dipenjara.
Karena kelicinannya, Gunawan berhasil kabur dari penjara, Januari silam. Selama menjadi buron, ia melancarkan dendamnya kepada mertuanya, dibantu oknum marinir yang setia mengawalnya.
Setelah sejumlah marinir yang terlibat ditangkap sebulan setelah Boedyharto tewas, Gunawan pun beberapa pekan kemudian ditangkap. Polisi sempat terkecoh karena sang menantu sudah berganti wajah lewat operasi plastik. Perkara Gunawan kini sudah rampung ditangani polisi, tinggal menunggu saatnya kejaksaan membawa ke pengadilan. Petualangan Gunawan, yang dirancang dari penjara, agaknya akan berakhir di penjara pula.
Korban Baru Jatinangor
Wajah dunia pendidikan Indonesia tercoreng. Pada 2 September 2003 silam, Wahyu Hidayat, 20 tahun, mahasiswa tingkat II Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor, Sumedang, tewas setelah disiksa para seniornya. Setelah kasus ini terbongkar, Ketua STPDN, Sutrisno, dicopot dari jabatannya dan 10 mahasiswa senior dijadikan tersangka. Pada awal September lalu, para terdakwa mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Sumedang. Kematian Wahyu akhirnya menyingkap tabir tradisi kekerasan di sekolah ini. Dan kekerasan tak hanya terjadi pada saat penerimaan mahasiswa baru, tapi terus berlanjut sepanjang dua tahun dan baru berhenti setelah sang mahasiswa masuk ke tingkat III.
Sebelum Wahyu, paling tidak ada sembilan kasus kematian mahasiswa sejak STPDN didirikan di Jatinangor pada 1992. Pada 3 Maret 2000, mahasiswa tingkat pertama, Erie Rakhman, tewas setelah dianiaya seniornya. Setahun berikutnya, giliran mahasiswi Utari Mustika Tunjung Sari tewas setelah melakukan aborsi pada seorang bidan di Cimahi. Jauh sebelumnya pada 1993, Aliyan bin Jerani ditemukan tewas. Mahasiswa asal Sambas, Kalimantan Barat, itu dikubur begitu saja, tanpa ada pengusutan. Selain korban tewas, tak terhitung mahasiswa yang gagal meneruskan pendidikan karena cedera.
Kekerasan di sekolah tinggi ini, kata bekas Rektor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Ryaas Rasyid, disebabkan oleh sedikitnya kegiatan akademik. Kurikulum STPDN didominasi oleh pelatihan dan pengasuhan, yang porsinya mencapai 60 persen. Untuk memutus rantai kekerasan itu, Departemen Dalam Negeri akan melebur sekolah tinggi ini dengan IIP menjadi satu lembaga yang mengutamakan kegiatan akademik mulai tahun 2004. Apakah peleburan itu bisa mengikis tradisi kekerasan yang sudah turun-temurun itu?
Untung Ada Emas dari Vietnam
AMBRUK. Itulah prestasi bulu tangkis Indonesia sepanjang tahun 2003. Dulu di cabang ini Indonesia jaya, tapi kini gelar-gelar juara yang bisa kita raih makin sepi. Dari 13 turnamen grand prix sepanjang 2003, hanya empat biji gelar yang bisa dibawa pulang. Pasangan ganda Candra Wijaya/Sigit Budiarto merebutnya di All England, Februari silam. Taufik Hidayat menyumbangkan gelar kedua dalam Indonesia Terbuka di Batam, September. Sebulan kemudian, giliran pasangan ganda putra Flandy Limpele/Eng Hian merebut gelar ketiga dalam Denmark Terbuka. Kalau ada yang sedikit memberikan harapan: Simon Santoso dan Luluk Hadianto cs, pemain-pemain lapis kedua kita, merebut medali emas SEA Games di Vietnam.
Selebihnya: kalah, kalah, dan kalah. Taufik Hidayat cs pulang dengan tangan kosong dari Piala Sudirman 2003 di Belanda. Ketika bertandang ke kejuaraan dunia di Birmingham, Inggris, tim Indonesia juga tidak berhasil meraih satu gelar pun.
Jelaslah bahwa bulu tangkis kita lampu merah. Kita sudah agak jauh tertinggal dibandingkan dengan Cina dan Korea Selatan, yang panen gelar sepanjang tahun lalu. Cina menyabet 31 gelar, Korea Selatan 23 gelar, Indonesia cuma tiga gelar plus medali emas SEA Games tersebut.
Direktur Pemusatan Latihan Nasional PBSI, Christian Hadinata, mengakui Indonesia tertinggal jauh dari Cina. Penyebabnya, ada kesenjangan prestasi antara pemain muda dan tua. Selama ini PBSI lebih mengutamakan pemain-pemain terbaik untuk memenuhi target juara. Akibatnya, pemain-pemain muda belum siap bersaing di tingkat elite. Target mempertahankan tradisi emas di Olimpiade Athena 2004 pun terancam gagal karena prestasi para pemain andalan terus merosot. ”Ini peringatan buat kita,” tutur Christian.
Mulai November silam, PBSI sudah membuka keran lebih lebar untuk pemain-pemain muda dengan harapan dalam waktu satu atau dua tahun mendatang cabang tepok bulu Indonesia kembali berjaya. Dengan medali emas SEA Games, siapa tahu harapan kembali bersinar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo