Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan penyakit Andini Muksin Rustandi hampir sepanjang sejarah hidupnya sendiri. Lelaki kelahiran Bandung itu kini berusia 67 tahun. Sejak usia sekolah dasar, Rustandi sudah didiagnosis menderita pembengkakan otot jantung karena klep organ pemompa darah itu bocor.
Ketika sakitnya mulai serius, dokter penyakit dalam memberinya obat. Selama dua puluh tahun, Rustandi mengkonsumsi produk farmasi. Komplikasi pun terjadi. Ginjalnya rusak. Cuci darah pun harus dilakoni. Diabetes ikut bersarang di tubuhnya. ”Akibatnya, saya sering pingsan,” kata Rustandi.
Pada Juni 2007, Rustandi mengeluh sesak berat. Dia dirawat di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Hasil evaluasi dokter ahli jantung Achmad Fauzi Yahya menyebutkan Rustandi menderita dilated cardiomyopathy, sejenis payah jantung dengan penyebab yang belum jelas. Bekas pengusaha perkebunan teh itu disarankan Fauzi ke rumah sakit pusat jantung di Bangkok, Thailand, untuk mendapat terapi sel induk (stem cell). Jenis pengobatan ini memang terbukti mampu mereparasi otot jantung yang sudah rusak. ”Pilihannya waktu itu cuma dua, stem cell atau cangkok jantung. Kalau cangkok, wah, berat buat saya. Saya pilih terapi sel induk,” ujarnya.
Tatkala diperiksa secara teliti sebelum mendapat terapi sel induk, dokter paru di rumah sakit Bangkok samar-samar mendeteksi ada yang aneh di paru Rustandi. Ahli payah jantung di Thailand menenangkan Rustandi agar tak khawatir, dan menyatakan tidak ada masalah dengan parunya. Namun hasil rekam alat pemindai (CT scan) menunjukkan ada tumor segede bola pingpong bersembunyi di bagian belakang paru kanannya. Menurut ahli paru Rumah Sakit Pusat Bangkok, Sermkit Watanawaroon, gumpalan itu dipastikan 95 persen tumor ganas.
Rencana terapi sel induk terpaksa ditunda, hingga kanker diangkat. Rustandi pun minta waktu konsultasi dengan dokter dan keluarganya di Tanah Air. Dokter di rumah sakit Bangkok memberinya waktu dua minggu. Jika lebih dari itu, mereka khawatir kankernya menjalar ke mana-mana.
Ternyata Fauzi, dokter ahli jantung yang biasa menanganinya, melarang Rustandi dioperasi. Alasannya, jantung ayah delapan anak itu lemah. Pendapat sama juga dikatakan dokter langganannya di Jakarta, Yan Djukardi, dari Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Barat. ”Enggak mungkin kamu dioperasi. Operasi paru itu besar, jantungmu sudah tak begitu kuat,” Rustandi menirukan pendapat Yan.
Perbedaan pendapat antara dokter rumah sakit di Bangkok dan di Indonesia membuat Rustandi bingung. Dalam kegalauan, warga Ciumbeuleuit, Bandung, itu kembali ke Jakarta. ”Saya berkonsultasi kembali ke dokter Yan. Dia menyarankan, saya mencari jalan yang tidak konvensional,” kata Rustandi. Yan pun memperkenalkan Rustandi dengan Yanto Lunardi Iskandar, profesor dari Universitas Sorbonne, Paris, yang sedang berkunjung ke Indonesia.
Pertemuan Rustandi dengan Lunardi pada Juli 2007 hanya singkat. Profesor asal Indonesia yang kini punya kewarganegaraan Prancis dan Amerika Serikat ini segera kembali ke negara Barack Obama. Rustandi diperiksa, darahnya diambil. ”Sampel darah saya dibawa ke Amerika untuk diteliti,” katanya.
Dua pekan setelah membawa darah Rustandi, Lunardi memberikan obat. ”Tapi obat ini masih dalam percobaan klinis, belum resmi, dan belum diluncurkan. Mau tidak?” Lunardi menawarkan. Artinya, Rustandi menjadi pasien (baca: manusia) pertama yang ”diuji coba” dengan obat temuan Lunardi. Rustandi mengiyakan saja. Toh, dokter sudah memvonis, hidupnya tinggal empat bulan lagi. ”Lantaran dijamin dokter Yan, saya percaya saja,” katanya.
Lunardi memang dikenal sebagai peneliti kanker darah (hematolog) dan ahli kanker (onkolog) top di Amerika dan Prancis yang menjadi peneliti di Universitas Maryland. ”Kalau bukan dia, siapa lagi yang bisa menolong saya. Saya serahkan saja nasib saya ke dia,” katanya.
Lunardi memberikan 100 butir kapsul kepada Rustandi. Istimewanya, kapsul itu tidak ditenggak, melainkan harus disusupkan melalui liang dubur, dua kali sehari. Cara pengobatan seperti ini biasanya diterapkan pada bayi, yang memang belum bisa menelan obat. ”Saya merasa sehat kembali. Padahal waktu itu saya sudah batuk-batuk sampai keluar darah,” katanya.
Merasa tak ada keluhan, satu setengah bulan kemudian Lunardi kembali memberi Rustandi 1.000 butir kapsul yang dia gunakan hingga sekarang. Sepuluh bulan sudah Rustandi menggunakan obat pemberian Lunardi. Vonis hidup empat bulan terlewati sudah. Dia tak perlu lagi cuci darah. Pasalnya, menurut Lunardi, obat tersebut bisa meregenerasi sel, termasuk sel darah.
Apa sih isi kapsul ajaib itu? Namanya peptide matermin. Ini nama paten zat yang terdiri dari bahan alami dengan kandungan asam amino di bawah 50 kilodalton—di atas 50 kilodalton menjadi polypeptide atau protein. Lunardi sudah berhasil membuat sintetiknya.
Secara alamiah, peptide matermin terdapat pada air kencing perempuan dalam tiga bulan pertama kehamilan. Sebab di dalamnya terkandung human chorionic gonadotropin (hCG), jenis hormon peptide yang diproduksi embrio yang baru, hasil pembuahan dan bagian tertentu dari plasenta. Hormon tersebut sangat berguna bagi tubuh, karena dapat membantu perkembangan sel yang masih muda supaya tumbuh dengan baik. ”Jadi, zat yang mengandung unsur tersebut bisa membunuh sel kanker dan juga memperbaiki sel yang rusak, seperti jantung Rustandi,” tutur Yanto.
Obat tersebut, menurut Lunardi, sudah disetujui Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika dan dewan kesehatan di sana (NHI). Artinya, ramuannya sudah diakui layak digunakan untuk manusia. ”Brand-nya dimiliki Universitas Maryland dan segera diluncurkan untuk masyarakat. Sekarang masih negosiasi harga. Saya sih ingin murah, biar bisa dipakai banyak orang,” katanya.
Memang tak lazim obat kanker dimasukkan lewat dubur. Biasanya obat dimasukkan lewat mulut atau disuntikkan melalui pembuluh darah, yang biasanya disebut kemoterapi. ”Kemo itu seperti racun. Kalau kita menggunakannya dengan dosis besar, paling masuknya ke target hanya satu persen. Sisanya lebih banyak singgah di mana-mana. Residunya itu bahaya sekali. Bisa membunuh jaringan jantung, paru-paru, otak, hati, dan ginjal,” katanya.
Kemoterapi juga mengakibatkan rasa sakit tak terperi. Diakui onkolog dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Aru Wisaksono Sudoyo, kadang kala rasa panas atau terbakar menyergap tubuh pasien setelah pemberian obat melalui pembuluh darah. ”Rasa sakit yang hebat dapat terjadi bila obat bocor keluar dari pembuluh darah,” kata Aru. Hal lain yang tak menyenangkan pada sesi kemoterapi, jarum harus terpasang selama proses infus berlangsung, biasanya beberapa jam sampai setengah hari.
Nah, tujuan cara pengobatan dengan memasukkan kapsul melalui dubur, menurut Lunardi, agar isinya langsung masuk ke pembuluh darah. Sebab, kalau melalui lambung, akan terganggu enzim, sehingga kandungannya tak murni lagi. ”Lambung itu seperti tempat sampah, selain juga fungsinya banyak, kadang-kadang terganggu oleh obat-obatan lain yang sangat beracun,” ujarnya.
Rustandi mengakui, sejak menggunakan peptide pemberian Lunardi, dia merasa sehat. Bahkan Rustandi tetap berolahraga, jalan di treadmill. Lalu bagaimana kanker pada parunya? Memang belum dicek, karena Rustandi belum boleh terkena radiasi, apabila harus dilihat dengan pemindai. ”Tapi, saya merasa fit,” ujarnya.
Ahmad Taufik
Cara Kerja Kapsul Peptide
Kapsul mengandung peptide matermin, yang mempunyai kemampuan seperti sel induk yang mampu mereparasi sel rusak dan menghancurkan yang jahat
- Kapsul yang mengandung peptide matermin, dimasukkan ke dalam tubuh melalui anus.
- Di dalam usus besar, hormon peptide yang terdapat di dalam kapsul diserap oleh dinding usus.
- Setelah masuk ke pembuluh darah, hormon peptide akan mengalir ke seluruh tubuh.
- Pada organ yang terkena kanker, peptide matermin mampu membuat sel kanker melakukan bunuh diri massal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo