Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mengintip Proses Pembuatan Mie Lethek Khas Lereng Perbukitan Menoreh

Produksi mie lethek diprakarsai Sofyan, salah satu penduduk Dusun Tuksanga, Kecamatan Borobudur, yang sudah merintisnya lebih dari 40 tahun.

20 Juni 2023 | 11.46 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Produksi mie lethek candi khas magelang di lereng bukit menoreh. TEMPO/Arimbi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Magelang - Lereng perbukitan Menoreh yang sejuk dan asri tak hanya menyajikan pemandangan indah berupa sawah dan sungai. Di antara pemandangan itu, ada yang menarik perhatian, yaitu satu rumah yang terlihat mengeluarkan kepulan asap dengan suara mesin penggiling menderu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sana ternyata merupakan tempat produksi mie lethek khas lereng Menoreh. Mie lethek adalah mie khas dari Bantul yang terbuat dari tepung aren sehingga berwarna kusam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Produksi mie lethek di sana diprakarsai Sofyan, salah satu penduduk Dusun Tuksanga, Kecamatan Borobudur, yang sudah merintisnya lebih dari 40 tahun. "Usaha ini sebenarnya adalah warisan dari orang tua, tahun berdirinya sejak saya belum lahir, mungkin sudah lebih dari 60 tahun, kami memberinya nama Mie Lethek Candi," kata dia saat ditemui Tempo di rumah produksinya, Senin, 19 Juni 2023.

Sedari kecil, Sofyan sering membantu orangtuanya untuk membuat mie lethek sepulang sekolah hingga sekarang bisa meneruskan usaha tersebut.

Berbeda dari mie pada umumnya yang berwarna putih, mie produksi Sofyan warnanya cenderung gelap kecoklatan. "Sebenarnya kami memproduksi mie jenis soun, tapi karena warnanya tidak putih, masyarakat menyebutnya mie lethek," kata dia.

Sebagai informasi, lethek dalam bahasa Jawa pada konteks makanan memiliki arti warna yang gelap dan tidak cerah. Jadi, bukan proses pembuatannya yang kurang bersih, melainkan memang bahan dasarnya yang menggunakan tepung tapioka dan tanpa pewarna buatan sehingga hasilnya tidak cerah.

Sofyan mengatakan, dalam sehari, ia mampu mengolah minimal 1 kwintal tepung aren untuk dijadikan mie lethek. "Bahan dasar mie lethek tepung aren, satu pohon dengan yang digunakan untuk membuat kolang-kaling, kami biasanya kulakan dari Purworejo dan sekitarnya," kata dia.

Uniknya, proses pembuatan mie lethek ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang dari berbagai daerah. Biasanya, pengunjung yang datang singgah setelah berwisata ke Candi Borobudur, sebab letaknya tak begitu jauh dari daerah tersebut.

Bahkan, wisatawan asing banyak yang singgah untuk melihat proses pembuatan mie tersebut dari awal hingga pengemasan. "Sekali produksi biasanya mulai jam 08.00 hingga 12.00, bisa lebih jika memang sedang ada kunjungan atau permintaan khusus," kata Sofyan.

Meski begitu, Sofyan tidak menarik biaya khusus untuk wisatawan yang ingin melihat proses pembuatan mie lethek. "Biasanya memberi seiklasnya, seperti tips, tidak mematok harga, yang penting kami tetap produksi dan cuaca cerah," kata dia.

Sebab, mie lethek bakal terkendala proses produksinya jika memasuki musim hujan atau cuaca tidak mendukung. "Untuk pengeringan kami 100 persen mengandalkan sinar matahari, jadi bergantung pada alam, kalau tidak ada panas, sementara berhenti" kata Sofyan.

Bagi pengunjung yang tertarik, diperkdnankan membeli produk Mie Lethek Candi yang dibanderol mulai Rp 5.000. "Kalau yang dipasarkan biasanya per bal, saya tidak pernah menghitung omzet bersihnya, yang penting bisa produksi setiap hari, konsumen tetap ada, pekerja juga tetap dapat upah," kata Sofyan.

Wisatawan asal Belgia George dan Louwis saat melihat produksi mie lethek khas Magelang. Tempo/Arimbihp

Sementara itu, pengunjung asal Belgia, George mengaku kagum dengan mie lethek. Sebab, yang ia tahu, bahan dasar mie hanya gandum. "Di negara kami tidak ada aren, jadi hanya tahu kalau mie itu dari gandum, ternyata teksturnya lebih kering dan kenyal," kata dia.

George yang juga membeli beberapa bungkus mie lethek juga mengatakan,l makanan tersebut akan ia jadikan buah tangan. "Soalnya unik, akan saya jadikan stok juga dirumah untuk diicip, semoga tidak gagal, karena baru pertama kali mengolah yang seperti ini," ujarnya.

George yang datang bersama istrinya itu mengatakan pengalamannya berkunjung ke Indonesia sangat berkesan, karena di daerah Borobudur saja, ia sudah bisa melihat berbagai keunikan. "Saya tidak cuma lihat candi, ada produksi mi, petani vanili dan berbagai keunikan yang tidak bisa saya temui di Belgia, semoga suatu saat bisa ke sini lagi" kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus