Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Menunggu Sembuh Tanpa Obat

Soenarto mengemukakan dalam disertasinya pengobatan penyakit telinga tengah (media acuta nonperforata) jangan terburu-buru dengan obat antibiotik, coba dulu dengan obat-obat simptomatis, untuk menghindari efek samping.(ksh)

3 Agustus 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYAKIT akibat infeksi saluran pernapasan termasuk penyakit yang punya jumlah penderita terbesar di Indonesia - di samping infeksi saluran pencernaan. Bila dirinci lebih jauh, infeksi telinga tengah atau Otitis Media tergolong besar pula penderitanya di antara infeksi saluran pernapasan (ruang-hidung-tenggorokan-telinga tengah) - meliputi 25%. Karena itu, bisa disimpulkan, Otitis Media adalah salah satu penyerap antibiotik, yang termasuk paling banyak digunakan untuk mengatasi infeksi. Dua pekan lalu Dr. Soenarto, seorang ahli THT (telinga-hidung-tenggorokan), mempertahankan disertasi di sekitar penyakit telinga tengah itu, Otitis Media Acuta nonperfarata (OMA), di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Khususnya penyembuhan OMA dengan antibiotik berikut akibatnya pada anak-anak. Ia lulus dengan predikat "memuaskan ". Yang penting dari disertasi itu adalah kesimpulan umumnya, yang menunjuk kan bahwa penggunaan antibiotik terlampau berlebihan, sementara kegunaan nya masih perlu diragukan. "Sekurang-kurangnya, terjadi pemborosan penggunaan antibiotik yang cukup mahal, yang mungkin sebenarnya tidak perlu," ujar Soenarto pada Yuyuk Sugarman dari TEMPO. Melalui penelitian penggunaan antibiotik pada penyembuhan penyakit OMA di kalangan anak-anak, Soenarto menemukan hubungan antara pemberian antibiotik dan daya tahan tubuh menghadapi penyakit. "Pemberian antibiotik berpengaruh pada laju perkembangan antibodi penderita," kata Soenarto tegas. Ahli THT itu meneliti mana lebih baik: langsung memberikan antibiotik atau menunggu setelah penyakit menyerang selama seminggu. Dalam hal ini Soenarto berpendapat, lebih baik menunggu. Alasannya, membiarkan produksi antibodi dalam tubuh sendiri berlangsung dengan normal - yang memang tak bisa "gerak cepat" seperti antibiotik. Penggunaan antibiotik secara cepat dibuktikan Soenarto justru menekan imunologi penderita. Ketika mempertahankan disertasinya, Soenarto mengemukakan data-data yang tak bisa disangkal, yaitu hasil pemeriksaan kadar antibodi dalam serum darah penderita. Jadi, menurut Soenarto, dalam penyembuhan OMA di kalangan anak pada awal ditemukannya gejala, lebih baik digunakan obat-obat simptomatis seperti antipanas dan sebagainya. "Dengan catatan, penderita harus diobservasi terus." katanya - semacam pengobatan jangka agak panjang, bukan model "cespleng". Jika pada jangka 3-30 hari panas menurun, antibiotik tak perlu digunakan. Dengan kata lain, fungsinya sudah digantikan antibodi. Prof. dr. Hoedijono, yang menJadi promotor Soenarto, membenarkan bahwa penggunaan antibiotik bisa berakibat buruk. "Kalau seorang anak setiap kali diberi antibiotik, tubuh anak itu tak akan mampu mengembangkan kekebalannya," ujar Hoediiono. "Itulah bahayanya anak itu jadi tak punya daya tahan. Hoedijono mengemukakan, antibiotik memang diperlukan karena ampuh dan bisa cepat menyembuhkan penyakit. Dalam penyakit THT, cepatnya penyembuhan diperlukan agar penyakit tidak merambat ke otak - saluran pernapasan memang terletak dekat otak. "Tapi, ya, penggunaannya jangan ngawur," ujar guru besar dalam bidang THT itu. "Pasien seharusnya diobservasi lebih dulu. Kalau memang perlu, baru diberi antibiotik." Sementara itu, Dr. Soewito, ahli THT FK UGM, menilai penemuan Soenarto tergolong masih teoretis. "Ini memang manajemen baru dalam pemberian antibiotik di kalangan THT," katanya. "Tapi implementasinya sulit. Masih harus dipikirkan realisasinya dengan cara sepraktis-praktisnya." Khususnya bagaimana memilah-milah mana bakteri yang ganas yang bisa langsung menyerang obat, mana yang tidak. "Kita tidak tahu persis. Sebab, gejalanya sama," ujar Soewito, "Kalau anak sendiri, mungkin bisa dikontrol. Kalau anak orang lain, tidak mudah." Dengan kata lain, catatan medis pasien - yang memuat keadaan fisiologis penderita dan sejarah pengobatannya - sangat jarang diperhatikan di Indonesia. Ini tentunya menyulitkan observasi itu. J.S.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus