Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sherpa

Sherpa dan sherpani, nama suku di himalaya. yang dikenal sebagai penjual jasa dan penunjuk jalan bagi pemanjat tebing. upanya sekitar rp 6000/hari. pemerintah nepal menyediakan pendidikan dasar.

22 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA pertama sampai di pucuk Himalaya? Tentu semua bilang: Sir Edmund Hillary. "Nama ini masuk buku. Yang tak masuk buku, ya, sherpa. Ia anak kampung kami," kata seorang pemuda Nepal. Ia bergurau, memang. Sebab, sherpa adalah nama sebuah suku di Himalaya. Kemudian mereka dikenal sebagai penjual jasa: mengangkut barang, koki, dan penunjuk jalan. Terhadap yang pria sebutannya sherpa, dan sherpani untuk wanita. Khusus sherpa yang terkenal tangguh dan biasanya menjadi pembuka jalur, pemanjatan dijuluki "macan salju". Karena mereka yang meneruka jalan, makanya masuk akal kalau mereka lebih dulu sampai di puncak. Menaklukkan Himalaya merupakan obsesi pendaki gunung. Dari berbagai penjuru dunia orang menguji kemampuannya di sana. Tiap tahun jutaan dolar ditelan ekspedisi demi sekeping keunggulan teknologi, dan prestise bangsa. Sebenarnya sherpalah tokoh di balik layar sukses. "Mereka tulang punggung ekspedisi," ujar Erik Prasetya, 30 tahun. Menurut instruktur rock climbing Skygers di Bandung ini, hadirnya sherpa merupakan sumbangan psikologis untuk memantapkan hati pemanjat gunung. Cuma ironisnya, nama mereka luput diliput pers. Ini seperti nasib caddy di lapangan golf, begitu pula sherpa yang sering lebih piawai dari penyewanya. Meski terbilang "komoditi" khas di sektor pariwisata Nepal (hampir seluas Pulau Jawa) yang berpenduduk 18 juta jiwa, sherpa bersahaja saja. Juga peragatnya. Cuma berjaket anyaman karung atau bulu yak (sejenis sapi gondrong), ia siap menghadapi segala cuaca. Bila mati dalam ekspedisi, langsung ia dikubur di situ. Memang ada tertera asuransi dalam kontrak, namun sering terabaikan. Adalah Ang Dorje, 30 tahun, dari Kempalung. Ia beristri dua. Bapak tiga anak ini petani dan penggembala ternak. Pada musim panjat ia beralih menjadi sherpa. Warga di daerah miskin yang 250 km dari Kathmandu, ibu kota Nepal, ini didukung keluarganya dengan usaha warung. Mereka menjual kebutuhan sehari-hari, plus perabot untuk mendaki gunung. Upah mereka beragam. Dan itu tergantung, antara lain, kekuatan tulang, jabatan, pengalaman. Sherpa dewasa yang memanggul 80 kg untuk medan yang tak sulit lazim dibayar 200 rupee atau Rp 6.000 sehari. Ini minus makan. Tukang masak dibayar dua kali lebih tinggi. Harapan mereka adalah menjadi sherpa "kelas tinggi". Yaitu, bekerja pada ketinggian di atas 3.500 meter, mulai kemah induk sampai puncak. Pemerintah Nepal menyediakan pendidikan dasar di Manang, 300 km dari Kathmandu. Sebulan lebih mereka digembleng seluk-beluk mountaineering. Bila berpretasi, mereka akan naik ke peringkat lebih tinggi. Ikut ke pucuk dunia di Himalaya, selain mengejar hidup layak, mereka juga mengangankan ketiban bonus 100 dolar AS dan memburu penghormatan diterima Raja Birendra. Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus