INILAH perjalanan hidup Darji, lelaki miskin yang sakit di tengah masa sulit ini. Sudah sebulan lebih pria separuh baya itu menderita. Ketika pertama kali mengerang kesakitan, seorang tetangga, yang kebetulan seorang dokter, sempat mengulurkan tangan. Berbekal surat keterangan sang dokter, ia sempat dibawa ke sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta Selatan. Atas kebaikan hati dokter itu pula Darji tak perlu membayar obat-obatan dan pemeriksaan laboratorium. Tapi, setelah itu ia pulang ke tempat tinggalnya, menjaga rumah kosong di kawasan selatan Jakarta.
Entah penyakit apa yang dideritanya, Darji tak tahu. Namun, ia tak berani ke rumah sakit lagi karena ketiadaan biaya. Setiap kali rasa sakit yang hebat di perutnya kumat, istrinya hanya memberi obat antimabuk perjalanan, sekadar agar ia bisa tertidur dan melupakan rasa sakitnya. Tentu saja itu bukan obat yang tepat. Awal Maret lalu majikannya pun memberinya ongkos untuk pulang ke kampung halamannya, di Sumatra Barat. Bersama anak istrinya ia pulang dengan bus umum. Tapi ia tak sempat melihat kampung halamannya. Di tengah perjalanan, maut akhirnya menyudahi penderitaannya.
Semenjak krisis ekonomi ini, memang banyak pasien yang tak mampu berobat. Yang sempat dirawat di rumah sakit pun banyak yang dipulangkan "secara paksa" dan akhirnya meninggal di rumahnya masing-masing. Di Rumah Sakit (RS) Hasan Sadikin, Bandung, misalnya. Menurut salah seorang dokter yang bertugas di situ, setiap bulan sekitar 17 pasien terpaksa dipulangkan dan beberapa di antaranya meninggal di rumahnya.
Terpaksa pulang sebelum sembuh adalah nasib yang harus dialami Nunu Rahman. Selama dua tahun terakhir, penjual besi tua yang menderita penyakit paru-paru itu sudah empat kali dirawat di RS Hasan Sadikin. Yang terakhir, ia menerima pembebasan biaya berobat karena berbekal surat keterangan tidak mampu dari RT dan RW Kampung Ciseureuh, Bandung. Tapi kondisinya tetap tak membaik meski ia sudah mondok dua bulan di rumah sakit. Penyakitnya malah makin parah karena ia diketahui juga mengidap penyakit diabetes melitus. Nunu Rahman, 59 tahun, akhirnya diminta pulang, bukannya karena sembuh tetapi penyakitnya kian banyak.
Buat rumah sakit, merawat penderita penyakit kronis pada zaman sulit seperti sekarang ini memang tak mudah. "Setiap bulan kami menampung pasien tergolong tidak mampu rata-rata 275 orang atau membantu sekitar Rp 50-75 juta rupiah untuk kelompok ini," kata Direktur RS Hasan Sadikin, Empu Driyanto.
Sementara itu seluruh biaya operasional rumah sakit membengkak sampai 400 persen karena hampir 90 persen komponen obat maupun peralatan medis harus dibeli dalam dolar. Jadi, tak perlu heran bila biaya berobat pada zaman susah sekarang ini sangat mahal. Untuk sakit yang tergolong sepele seperti flu saja orang harus merogoh kocek sekitar Rp 40 ribu. "Ke puskesmas saja harus siap sedia Rp 20 ribuan. Itu gede buat saya yang sudah di-PHK," ujar Ika, bekas buruh pabrik, yang ditemui Darmawan Sepriyossa dari TEMPO ketika berobat jalan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Mahalnya pengobatan tak urung membuat warga mencoba mengobati sendiri, yang sering berakibat fatal. Junaidi, warga Banjar Timur, Banjarmasin, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang las, terpaksa kehilangan putranya karena terlambat membawanya berobat. Ketika anak lelakinya, Efendi, mengeluh sakit perut, ia hanya memberinya pil yang dibeli dari warung terdekat. Selama tiga hari remaja berusia 14 tahun itu hanya menelan pil untuk mengatasi rasa sakitnya itu. Hingga akhirnya ketika Efendi tak mampu lagi bangun dari tempat tidur, ia dibawa ke RSU Ulin atas biaya bantuan sanak famili. Tapi terlambat sudah. Nyawa anak lelaki Junaidi satu-satunya itu tak bisa tertolong, direnggut keganasan tifus. "Kami benar-benar tak ada uang. Untuk makan sehari-hari saja upah saya nyaris tak cukup," ujar bapak empat anak itu.
Mungkin Junaidi tak tahu bahwa sebagai warga tak mampu ia berhak mendapat pengobatan gratis. Pemerintah telah menyalurkan bantuan lewat program Jaring Pengaman Sosial (JPK) dalam bidang kesehatan bagi masyarakat tak mampu agar bisa berobat secara cuma-cuma. Dananya sekitar Rp 1,4 triliun, untuk membiayai program hingga Juni 1999. Targetnya, sekitar 80 juta rakyat miskin di seluruh Indonesia. Dana itu akan disebarkan ke berbagai puskesmas dan rumah sakit di 27 provinsi. Menurut Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat, Azrul Azwar, dari dana JPS itu sekitar Rp 737 miliar dipergunakan untuk perencanaan, pelatihan, dan dana kesehatan. Sedangkan sisanya dipergunakan untuk subsidi obat?yang kini tengah diproses. Kini sudah 61 persen atau sekitar Rp 422 miliar yang sudah dicairkan dan disalurkan ke pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat.
Karena sudah disalurkan, mestinya sudah tak ada persoalan bagi warga tak berpunya. "Datang saja ke puskesmas. Asal membawa surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, kami akan melayani. Bahkan selama berobat pemerintah menyediakan uang transportasi kepada pasien tidak mampu itu. Kalau puskesmas tidak mampu mengobati, petugas puskesmas akan mengantarkan pasien ke rumah sakit," kata Azwar.
Kenyataan di lapangan ternyata tak semulus itu. Tengok saja pengalaman Sudirman ketika berusaha mengobatkan ujung kakinya yang "meleleh" bak mau putus. Warga Kampungnias, Padang, ini sudah memegang kartu sehat?dari program JPS?yang mestinya bisa dipergunakannya untuk berobat secara cuma-cuma. Ternyata, ketika dipakai untuk berobat di RS M. Djamil, Padang, ia masih harus mengeluarkan uang untuk membeli cairan infus. "Awak kira semua gratis, rupanya tidak juga. Buktinya, sudah ratusan ribu duit kami untuk berobat," ujar salah seorang famili Sudirman.
Memang, tak semua obat bisa "ditebus" dengan kartu sehat. Hanya obat generik yang bisa. Program JPS ini, meskipun banyak ragamnya, dana yang dijatahkan untuk setiap kepala memang tidak terlalu besar. Misalnya, program pemberian makanan tambahan kepada ibu-ibu hamil, yang diberikan dua bulan sebelum melahirkan dan enam bulan setelah melahirkan, yang hanya Rp 750 per hari, dan untuk ibu menyusui hanya Rp 10 per hari.
Jadi, bagaimana bisa menangani penyakit yang serius? Lihat saja derita Ernawati. Ibu muda ini mengidap tumor dalam payudaranya yang harus diangkat, dan untuk itu perlu biaya Rp 6 juta. Kartu sehat yang disodorkan ke pihak RS M. Djamil, pertengahan Februari lalu, ternyata tidak bisa dipakai untuk menjamin pasien yang membutuhkan biaya besar. "Saya hanya bisa pasrah. Ke mana uang sebanyak itu harus saya cari. Jangankan untuk operasi, untuk makan saja susah. Kalau sakit ini yang membawa mati, biarlah," ujar Ernawati, yang ketika pekan lalu ditemui TEMPO masih juga belum dioperasi.
Menurut Direktur RS M. Djamil, Alan G. Saus, untuk mempersiapkan operasi memang tidak gampang. Sebuah tim perlu dipersiapkan lebih dulu. Meski begitu, ia mengaku belum mendapat laporan tentang kasus Ernawati. "Saya akan secepatnya menginstruksikan kepada para dokter agar melakukan operasi terhadap Ernawati. Kami pasti akan melayani sesegera mungkin," kata Alan kepada Dapinto Janir dari TEMPO.
Ironisnya, ketika banyak rakyat kecil mempertaruhkan nyawa karena tak mampu berobat, kartu sehat yang mereka butuhkan ada yang justru jatuh ke tangan yang tak berhak. Alan menuturkan, dari sekitar 1.000 orang yang setiap bulan berobat ke RS M. Djamil dengan kartu sehat, tak semuanya layak dibantu. Terkadang, di tangan pasien yang memegang kartu sehat melingkar gelang emas, dan kupingnya pun bergiwang intan. "Saya rasa, mungkin, dia sanak atau keluarga camat, kepala desa, atau pejabat lainnya. Tampaknya ada nepotisme dalam pemberian kartu sehat," ujar Alan mengeluh.
Gabriel Sugrahetty, Wenseslaus Manggut (Jakarta), Almin Hatta (Banjarmasin), Upik Supriyatun (Bandung), Supriyanto Khafid (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini