Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Azyumardi Azra
Pengamat sosial keagamaan, kini Rektor IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta
PADA masa reformasi, tiba-tiba saya menemukan diri tidak lagi seperti di negeri yang baik dan diampuni Tuhan?baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sebaliknya, fasad (kerusakan) merajalela dalam skala yang tidak pernah terbayangkan.
Ambon, paling tidak sampai saat ini, adalah contoh paling jelas dari fasad dan angkara murka. Hati kita tersayat, bukan hanya karena banyaknya korban yang tewas, dahsyatnya keluluhlantakan bangunan, tetapi juga menyaksikan massa berebutan menaiki kapal, bergelantungan di tali jangkar dalam upaya menyelamatkan diri. Inilah eksodus besar-besaran, bahkan agaknya terbesar dalam sejarah negara dan bangsa ini. Boleh jadi ini jualah reminiscent dari apa yang terjadi di bekas wilayah Yugoslavia, persisnya Bosnia, yang kemudian berlanjut hingga kini di kawasan Kosovo dan Albania.
Tak ubahnya dengan yang terjadi di bekas wilayah Yugoslavia yang tercabik-cabik itu, Ambon kini menjadi saksi dari kebangkitan ethno-religious sentiment yang bernyala-nyala, yang siap melumat apa saja. Perpaduan antara ethno, atau bahkan tribal sentiment, dengan fanatisme atau tepatnya religious hatred, kebencian agama, tidak bisa lain menjadi kekuatan destruktif yang sangat sulit diatasi. Karena itulah, upaya perdamaian demi perdamaian yang diusahakan di Ambon sejauh ini amat sulit terwujud.
Kebangkitan ethno-religious sentiment di wilayah mana pun, termasuk di Ambon, tidaklah berdiri sendiri. Bangkitnya sentimen keagamaan dan etnis yang berujung dengan anarki dan destruksi agaknya sedikit sekali kaitannya dengan kemerosotan legitimasi pemerintah atau lunturnya wibawa ABRI. Bahkan, juga mungkin sedikit saja kaitannya dengan para provokator. Kaitan lebih kuat justru tampak berakar lebih dalam pada dislokasi, displacement, dan disorientasi dalam masyarakat Ambon secara keseluruhan akibat terjadinya perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik di kawasan ini, khususnya selama dua dasawarsa terakhir.
Pada satu sisi, Ambon mencerminkan perubahan dan transisi dominasi dan hegemoni politik. Secara lebih transparan, dalam dua dasawarsa terakhir ini kita menyaksikan mobilitas politik muslim sebagai hasil dari apa yang disebut Nurcholish Madjid sebagai "panen sarjana" kaum muslimin. Mobilitas yang berlangsung secara alamiah ini pada akhirnya menantang dan bahkan mengancam hegemoni dan dominasi politik yang sudah lama mapan di sana. Namun, di sisi lain, ia juga merefleksikan pergeseran-pergeseran ekonomi. Arus migrasi yang meningkat begitu cepat dalam dua dasawarsa belakangan ke Ambon mengakibatkan perebutan sumber-sumber ekonomi dan lapangan kerja. Kaum pendatang, yang?sepertinya sudah klasik?memiliki etos kerja yang lebih tinggi, pada akhirnya mendesak, dan bahkan mungkin memarjinalisasi penduduk asli.
Ambon dalam perubahan politik dan ekonomi, dengan demikian, menyimpan bara dalam dirinya. Bara ini tidak berkembang menjadi lidah api yang memusnahkan apa saja pada masa Orde baru, berkat security approach dan represi. Dalam situasi seperti itu, kedamaian kerukunan dan harmoni antarumat beragam hanyalah realitas yang semu. Bahkan, paradigma dan prinsip pela gandong yang diagung-agungkan itu hanyalah basa-basi dan lips service, yang telah lama kehilangan maknanya dan diperlakukan secara taken for granted.
Kita agaknya perlu belajar dari pengalaman Lebanon. Negara ini kini adalah negara yang damai, yang tengah bangkit setelah menempuh prahara konflik dan perang antarumat beragama pada dekade 1970 dan 1980. Cause celebre konflik di Lebanon agaknya persis sama dengan implikasi-implikasi pergeseran sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di Ambon dalam dua dekade terakhir. Bagaimana Lebanon menyelesaikan prahara mereka? Caranya adalah mengkaji kembali secara terbuka prinsip-prinsip keseimbangan baru di antara umat yang berbeda agama, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi.
Penerapan keseimbangan baru, yang pada akhirnya harus diterima pihak-pihak yang bertikai secara kesatria, akhirnya membawa kedamaian di Lebanon. Apakah pengalaman Lebanon bisa pula diambil hikmahnya di Ambon? Pertanyaan ini terpulang lebih banyak pada masyarakat Ambon sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo