Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Mewaspadai Sinar Biru

Selain sinar ultraviolet, ada jenis sinar lain yang juga membahayakan kesehatan mata. Paparannya bisa lebih sering terjadi.

17 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mewaspadai Sinar Biru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rasa lelah dan perih pada mata kerap dirasakan Adam, 33 tahun, selama setahun terakhir. Sensasi tidak nyaman itu biasanya diikuti oleh timbulnya sakit kepala. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga administrasi sebuah perusahaan perkebunan nasional itu sempat menyangka performa matanya mulai menurun akibat setiap hari duduk di depan layar komputer. “Sempat menyangka mata saya mulai minus, tapi setelah diperiksa di optik masih normal dan belum memerlukan kacamata minus,” kata Adam kepada Tempo pekan lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Petugas pemeriksa di optik yang didatangi menduga masalah pada mata Adam adalah gejala computer vision syndrome (CVS). Ini merupakan suatu gangguan pada mata yang terjadi sementara akibat penggunaan komputer dalam waktu lama. Gejalanya mata lelah, penglihatan buram, mata merah dan kering, bahkan dalam beberapa kasus diikuti rasa sakit pada kepala dan leher, serta vertigo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waktu itu, Adam disarankan menggunakan kacamata berlensa khusus yang berfungsi untuk memblokir radiasi sinar biru yang bersumber dari layar komputer. Sinar biru adalah bagian dari spektrum cahaya yang terdapat dari sumber cahaya natural seperti matahari. Tapi sinar biru juga bisa terpancar dari layar peralatan digital yang kita gunakan setiap hari, mulai dari televisi LED, layar ponsel, layar komputer, hingga pencahayaan ruangan.

Masalah mata akibat radiasi sinar biru ini menjadi perhatian serius sejak beberapa tahun lalu. Pada 2015, Dewan Penglihatan Nasional Amerika Serikat melaporkan 65 persen orang dewasa di negara tersebut mengalami masalah seperti CVS dan digital eye strain, atau mata lelah akibat penggunaan gawai digital.

Sebuah studi terbaru yang dirilis Universitas Toledo, Spanyol, pada Agustus lalu bahkan menyatakan paparan berlebih sinar biru terhadap mata bisa menyebabkan kebutaan. Para peneliti menemukan, radiasi sinar biru bisa menyebabkan molekul retinal pada mata memproduksi molekul beracun pada sel photoreceptor yang membantu mata bisa melihat. Reaksi kimia beracun itu akan merusak sel photoreceptor.

Kerusakan sel photoreceptor, menurut peneliti Universitas Toledo, Ajith Karunarathne, mempercepat degenerasi makula atau alias kebutaan karena kerusakan makula, atau bagian tengah retina. “Mata kita selalu terpapar sinar biru secara terus-menerus, dan kornea serta lensa mata tidak bisa memblokir masuknya sinar tersebut,” kata Ajith seperti dikutip dari Safety+Health.

Ia berharap, dengan penelitian ini, perusahaan obat mata bisa memproduksi obat tetes mata yang bisa mengatasi masalah itu. “Atau adanya metode terapi untuk pengobatan penyakit ini.”

Dokter spesialis mata dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Astrianda Suryono, menjelaskan degenerasi makula sebetulnya pasti dialami setiap orang, seiring dengan pertambahan usia. “Namun paparan sinar biru atau ultraviolet bisa mempercepat kerusakan itu.” Menurut dia, dampak lain paparan berlebih sejumlah komponen cahaya itu juga berupa percepatan penuaan kulit di sekitar mata. “Kulit menjadi lebih cepat keriput,” ujar dia.

Astrianda mengatakan kasus gangguan mata lelah akibat paparan layar elektronik terlalu lama semakin banyak ditemui belakangan. Gejala paling sering dirasakan, kata dia, misalnya mata kering dan merah. “Ini sebetulnya tanda-tanda mata meminta istirahat sejenak, sehingga jangan dipaksa.”

Untuk lebih menjaga kesehatan mata, Tria-sapaan akrab Astrianda-menyarankan penggunaan kacamata khusus yang memiliki filter blue light. Saat ini produsen ponsel juga sudah banyak yang menyertakan aplikasi blue light filter untuk mengurangi pancaran sinar tersebut saat digunakan. Jika mata sudah terasa lelah, kata dia, cara untuk mengistirahatkan mata adalah dengan memejamkannya selama beberapa saat dan melihat obyek yang jauh. Dengan demikian, otot mata menjadi lebih rileks.

Namun penggunaan kacamata berlensa khusus kerap menjadi opsi terakhir bagi sebagian orang karena dianggap tidak nyaman. Padahal, menurut Commercial Head Zeiss Indonesia, Tedd Ho, pemakaian kacamata berlensa khusus menjadi cara paling mudah sebagai tindakan preventif. “Orang mungkin berpikir kacamata hanya untuk mereka yang bermata minus atau silindris,” kata Tedd.

Padahal, menurut Tedd, kini banyak produsen lensa yang menyediakan lensa dengan filter digital untuk mata normal. “Konsumen bisa memesan lensa kacamata berfitur khusus tanpa resep dokter.” PRAGA UTAMA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus