Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka yang tertera di timbangan berat badan bak vonis menyedihkan bagi Puput Setia Palupi, 28 tahun. Sebab, bobot tubuh pegawai negeri sipil di Jakarta ini kini sukar turun dari angka 70 kilogram. Dengan tinggi badan "hanya" 160 sentimeter, Puput merasa tubuhnya bulat. Gaun yang dulu muat saat bobotnya 49 kilogram pun kini "pensiun" karena tak lagi bisa dikenakan.
Puput bukannya tak pernah berupaya menurunkan berat badan. Dalam enam tahun terakhir, beragam program diet dan olahraga pernah dia cicipi. Ia pernah melakoni diet tanpa nasi, yang menurunkan berat badannya dari 60 kilogram menjadi 55 kilogram. Bosan diet tanpa nasi, ia berolahraga aerobik dua hari sekali. Namun Puput kembali bosan. Ia lalu menjajal diet rendah kalori secara ketat-hanya makan sekali sehari-ditopang obat dari dokter. Metode ini sukses menyisir lemak Puput dan membuat berat badannya anjlok dari 63 kilogram menjadi 49 kilogram.
Namun, setahun berlalu, berat badan Puput melesat ke angka 62 kilogram. Musababnya, ia mulai jenuh tak makan ini-itu. Terakhir, tahun ini ia menjajal diet dengan obat herbal. Obat itu sempat membuat Puput bungah karena bobotnya turun menjadi 60 kilogram. Tapi, karena klinik yang menjual obat itu tutup mendadak, berat badan Puput kembali melejit jadi 70 kilogram. Ia mengaku frustrasi. "Tanpa obat itu, aku enggak tahu harus bagaimana. Untuk diet lagi juga udah capek dan bosan," katanya Senin petang lalu.
Diet yoyo seperti itu tidak hanya menggerogoti motivasi orang yang ingin berdiet, tapi ternyata juga membahayakan jantung. Hal itu terungkap dalam disertasi berjudul "Pengaruh Program Penurunan Berat Badan pada Penyandang Obesitas dengan Weightcycling terhadap Perubahan Komposisi Tubuh, Petanda Sindrom Metabolik, Petanda Inflamasi, dan Stres Oksidatif", yang diuji secara terbuka pada awal bulan ini di Universitas Indonesia.
Dokter spesialis gizi klinik Samuel Oetoro adalah orang yang membuat disertasi tersebut. Ia melakukan penelitian karena melihat semakin banyak pasiennya yang mengeluhkan berat badan fluktuatif seperti Puput. Mereka kebanyakan kesulitan kembali ke berat tubuh semula kendati sudah mencoba diet dan olahraga. Samuel pun meneliti 73 pegawai Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Dari penelitiannya, Samuel mendapati bahwa orang yang bobotnya naik-turun (weightcycling), atau dikenal dengan istilah diet yoyo, lebih berisiko terkena penyakit kardiovaskular, seperti jantung koroner, stroke, trombosis, dan gangguan pembuluh darah perifer (PAD). "Ternyata risiko diet yoyo lebih berbahaya dibanding yang berat badannya baru sekali gemuk," ujarnya saat ditemui di Salemba, Jakarta Pusat, seusai sidang disertasinya. Kategori diet yoyo dalam penelitian Samuel adalah lebih dari empat kali naik-turun berat badan sebanyak 4,5 kilogram dalam kurun tiga tahun.
Risiko penyakit kardiovaskular muncul karena, ketika seseorang gemuk, sel lemaknya membesar. Saat proses pembesaran itulah sel lemak memproduksi zat berbahaya yang sedikit demi sedikit mengikis pembuluh darah, atau disebut petanda inflamasi. Jika pembuluh darah sudah terluka, kolesterol pun mudah lewat dan menempel. Walhasil, pembuluh darah pun mengalami penebalan, yang menjadi tahap awal penyakit kardiovaskular.
Zat berbahaya tersebut ternyata diproduksi lebih banyak oleh mereka yang berdiet yoyo dibanding oleh orang berbadan besar. Pasalnya, setiap berat badan naik, penebalan pembuluh darah kembali terjadi. "Orang yang berat badannya naik-turun, produksi zat berbahayanya tinggi. Memang produksi zat tersebut bisa diturunkan, tapi penurunannya tidak sebaik mereka yang baru sekali mengalami kenaikan berat badan. Jadi yang paling aman sebenarnya jangan sampai seseorang turun-naik berat badan lebih dari sekali," kata Samuel.
Penebalan pembuluh darah bukannya tak bisa dicegah. Menurut Samuel, petanda inflamasi bisa dihindari dengan membenahi komposisi lemak dan otot dalam tubuh. Caranya dengan mengubah pola makan dan pola hidup. Untuk pola makan, Samuel menegaskan, idealnya bobot tubuh seseorang berkurang dua-lima kilogram saja dalam bulan dengan diet rendah kalori. Lebih dari itu tidak dianjurkan karena tak ubahnya "menjebak" pasien dalam diet yoyo.
Diet rendah kalori tersebut mesti disokong olahraga. Dengan olahraga, bukan hanya lemak yang terpangkas, massa otot pun akan semakin besar. Massa otot diibaratkan Samuel seperti kompor yang berfungsi membakar timbunan lemak. Jika jumlah kompornya banyak, proses pembakaran bisa berlangsung cepat. "Nah, cara menyalakan api kompornya adalah dengan latihan fisik," ujarnya.
Dokter spesialis kedokteran olahraga Michael Triangto menyebutkan dua jenis olahraga yang mesti dikombinasikan mereka yang bobot tubuhnya jungkat-jungkit adalah aerobik dan latihan beban. "Kombinasi itu mesti ditopang pola pikir yang benar, yakni bahwa kita tak bisa berdiet ketat karena olahraga membutuhkan energi untuk dibakar," kata Michael, Senin petang pekan lalu.
Ciri olahraga aerobik adalah latihan yang memiliki gerakan berulang, dilakukan dalam waktu lama, dan intensitasnya ringan sehingga tidak membakar terlalu banyak kalori. Misalnya bersepeda, bersepeda statis, berenang, dan berjalan cepat. Pembakaran kalori yang berlebihan tak disarankan Michael karena malah membuat seseorang lapar dan akhirnya terdorong makan dalam porsi besar.
Samuel sepakat dengan itu. Ia menilai aerobik pas buat orang gemuk yang bobotnya naik-turun karena menggerakkan otot besar untuk bekerja. "Orang gemuk, gerak saja susah. Karena itu, perlu latihan yang tidak memberi tambahan beban pada lututnya. Jika latihannya terlalu berat, selain bisa bosan, seseorang bisa terkena osteoartritis atau nyeri sendi," ujarnya.
Sedangkan olahraga non-aerobik atau latihan beban disarankan Michael untuk dimodifikasi. Latihan push-up, misalnya, tidak perlu dipaksakan untuk dilakukan di lantai. Sebagai gantinya, push-up bisa dilakukan di tembok, sehingga memperingan gerak. Atau latihan pull-up, yang bisa memanfaatkan lemari baju alih-alih tiang.
Dengan olahraga teratur dan berkesinambungan, paling tidak sepekan dua kali masing-masing minimal 30 menit, risiko terkena penyakit kardiovaskular bisa dijauhi. Sebab, olahraga dapat menurunkan kadar LDL, kolesterol jahat yang bisa menyumbat pembuluh darah. Sementara itu, kadar kolesterol baik atau HDL, yang memproteksi jantung, bakal meningkat.
"Aerobik memaksa jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi otot-otot yang bekerja. Pembuluh darah kolateral yang sebelumnya tidak ada pun menjadi ada dengan latihan fisik, seperti aerobik, sehingga memperingan kerja jantung," ujar Michael.
Namun tidak semua orang setuju dengan pendapat Samuel. Dokter spesialis jantung Daniel Tobing menyebutkan obesitas memang jadi faktor risiko penyakit jantung, selain kurangnya olahraga, stres, dan merokok. Namun penelitian Samuel sendiri dinilai Daniel masih perlu disempurnakan. Soalnya, dari lima penelitian tentang kaitan diet yoyo dengan penyakit kardiovaskular yang dilakukan pada 1992-2009, hanya satu yang selaras dengan Samuel. "Data penelitian dokter Samuel masih kurang signifikan, meski memang orang yang diet yoyo metabolismenya terganggu, sehingga bisa memantik hipertensi."
Isma Savitri
Penyakit Kardiovaskular
Orang yang bobotnya naik-turun (weightcycling), atau dikenal dengan istilah diet yoyo, lebih berisiko terkena penyakit kardiovaskular, seperti jantung koroner, stroke, trombosis, dan gangguan pembuluh darah perifer (PAD).
1. Saat proses pembesaran, sel lemak memproduksi zat berbahaya yang sedikit demi sedikit mengikis pembuluh darah.
2. Jika pembuluh darah sudah terluka, kolesterol pun mudah lewat dan menempel.
3. Pembuluh darah pun mengalami penebalan, yang menjadi tahap awal penyakit kardiovaskular.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo