Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Nyeri Misteri yang Tak Terperi

Banyak orang terserang nyeri di sekujur tubuh yang penyebabnya masih misterius. Penderita wanita lebih banyak dibandingkan dengan pria.

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter Rudy Hidayat punya pasien yang terserang nyeri tak terperi. Leher belakang dan bahunya didera nyeri selama berbulan-bulan. Ia sudah bolak-balik ke dokter, tapi hanya diberi obat pereda nyeri. Tentu, karena sumber kenyerian tidak disembuhkan, kesakitan itu datang terus. Sempat hilang sebentar, nyeri yang membuatnya tak nyaman bekerja itu kembali datang dan menetap.

"Setelah lebih dari enam bulan dan gonta-ganti dokter, baru ketahuan pasien ini mengalami fibromialgia," kata Rudy, yang bekerja di Divisi Reumatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, kepada Tempo pekan lalu.

Fibromialgia adalah nyeri yang berlangsung terus-menerus (kronis) selama tiga bulan atau lebih. Menurut Rudy, gangguan ini belum banyak dipahami dokter dan pasien di Indonesia sehingga diagnosis yang disampaikan kepada pasien sering salah. Tak aneh jika pasien sudah pindah-pindah dokter, tapi nyerinya tak kunjung tertangani.

Padahal penyakit ini diderita banyak orang. Menurut para ahli rematik dunia, angka kejadian atau prevalensi gangguan nyeri jenis ini terbilang besar, yakni dua-lima persen dari populasi orang dewasa. Mayoritas usia penderita adalah 35-60 tahun. Kaum perempuan lebih banyak tersambar penyakit ini dibandingkan dengan laki-laki, yakni 9 : 1.

Agar diagnosis fibromialgia bisa diberikan secara dini, para dokter ahli rematik di Jakarta mengadakan Temu Ilmiah Reumatologi 2013 di Hotel Borobudur, tiga pekan lalu. Pesertanya ratusan, tak hanya dari kalangan spesialis rematik, tapi juga dokter umum. "Kalau bergantung pada reumatolog, wah, kita bisa bekerja dari pagi ketemu pagi lagi menangani pasien fibromialgia," ujar Yoga I. Kasjmir, reumatolog FKUI-RSCM, setelah membahas topik fibromialgia dalam temu ilmiah itu. Maklum, saat ini jumlah ahli rematik di Indonesia hanya sekitar 50 orang.

Ketidaktahuan dokter akan penyakit ini memang gawat. Itu terlihat dari penelitian yang dilakukan dalam pertemuan South East Asia Fibromyalgia Awareness Concern and Trends Survey di Thailand pada 2009. Survei melibatkan 941 dokter dan 506 pasien dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Data dikumpulkan pada Juni-Agustus tahun yang sama. Hasilnya, pasien butuh waktu 3-15 bulan untuk bisa mendapatkan diagnosis yang tepat. Rata-rata mereka sudah bertemu dengan dua dokter sebelum diagnosis fibromialgia didapat. Gawat, karena diagnosis yang salah juga bisa membuat pasien salah mendapat obat.

Selain itu, penanganan tak tepat yang berlarut-larut membuat pasien semakin lama menanggung derita. Sebanyak 70 persen responden dari Indonesia dan Thailand menyatakan penyakit ini memperburuk kualitas kerja. Dari semua pasien, satu dari lima responden mengaku bolos kerja dua-lima hari dalam setahun. Lima persen responden tidak bisa bekerja selama dua pekan atau lebih. Gangguan ini memang tidak mematikan. Namun, menurut Profesor Ramani Vijayan, Ketua Malaysian Association for the Study of Pain, dalam pertemuan itu, "Fibromialgia jelas menurunkan kualitas hidup seseorang."

Ada empat gejala utama yang bisa dijadikan pegangan untuk menegakkan diagnosis fibromialgia. Keempatnya adalah nyeri menyeluruh tubuh, tender point (titik tekan), muncul gangguan tidur, serta terjadi kelelahan dan kekakuan, terutama pada pagi hari. Gejala lain yang juga kerap muncul adalah migrain, gangguan memori kognitif dan perilaku, serta gangguan pencernaan.

Nyeri pada fibromialgia hebat bisa terjadi pada 18 titik tubuh, bisa di leher, pundak, pinggang, dan lain-lain (lihat infografis). Lantaran begitu banyak yang nyut-nyutan, wajar jika pasien mengeluh kenyerian itu terjadi di seluruh tubuh. Menurut American College of Rheumatology, diagnosis fibromialgia harus terjadi pada 11 dari 18 titik nyeri. Namun, merujuk pada sebagian besar kasus yang ditangani Yoga, pasien yang ditangani rata-rata mengalami nyeri pada 9-10 titik. Meski begitu, ada juga pasien yang sampai merasakan nyeri pada 16-18 titik. "Patokan diagnosis harus ditemukan 11 dari 18 titik perlu direvisi," kata Yoga.

Untuk membedakan nyeri pada fibromialgia dan nyeri karena penyakit lain, dokter bisa memberikan tekanan pada titik nyeri tersebut. Pada fibromialgia, saat titik nyeri ditekan, nyerinya hanya terasa sakit di lokasi tersebut (tender point). Jika saat ditekan, titik tersebut menyebabkan rasa nyeri kemudian menjalar ke tempat lain (trigger point alias titik cetus), maka bukan fibromialgia, melainkan bisa merupakan gejala penyakit lain.

Pengecekan yang lazim dilakukan adalah melakukan tekanan ringan dengan jempol, yang setara dengan tekanan empat kilogram. Tekanan ini cukup membuat kuku jempol pucat. Pada pasien fibromialgia, tekanan ringan bisa membuat mereka menjerit.

Hingga saat ini, penyebab pasti fibromialgia masih belum diketahui. Namun para ahli mencurigai sejumlah hal, antara lain stres, infeksi hepatitis C, trauma atau cedera, dan HIV/AIDS. Kelainan zat kimia di otak juga diduga berperan dalam kemunculan penyakit ini. Misalnya kadar serotonin dan hormon pertumbuhan yang rendah. Serotonin adalah zat kimia yang berperan dalam pengaturan tidur, nyeri, dan perubahan mood. Ada juga yang menyebut fibromialgia terjadi lantaran ada mutasi gen tertentu.

Soal stres, termasuk beban kerja, sebagai pemicu fibromialgia, Rudy mengiyakan. Dalam bahasa Rudy, fibromialgia adalah masalah fisik (somatisasi) yang bersumber dari kondisi psikis. Ada banyak masalah fisik yang ditimbulkan oleh stres selain fibromialgia, seperti kejang usus besar atau dermatitis (kulit meradang dan gatal).

Penanganan fibromialgia bisa dilakukan dengan obat atau non-obat. Obat lazim diberikan untuk mengatasi nyeri, gangguan tidur, depresi, atau kecemasan. Sedangkan non-obat bisa berupa olahraga, yoga, hipnoterapi, pemijatan/urut, konsultasi psikiatrik, dan modifikasi perilaku. Olahraga yang dianjurkan adalah aerobik, jalan kaki, berenang, dan bersepeda statis. Secara gradual, olahraga dilakukan 30-60 menit selama dua-tiga kali sepekan.

Menurut Yoga, olahraga diberikan setelah beberapa bulan pasien mendapatkan terapi obat sehingga tubuhnya sudah merasa enak. Sejumlah penelitian, ujar Profesor Angela B.M. Tulaar, ahli rehabilitasi medik dari FKUI/RSCM, membuktikan bahwa olahraga cukup signifikan memperbaiki kondisi pasien fibromialgia. Salah satunya, terapi ini bisa mendongkrak hormon pertumbuhan. Terapi urut dan penggunaan air dengan suhu panas juga bisa dipilih. "Terapi ini membuat rileks otot-otot yang mengalami kekakuan," ucapnya.

Dwi Wiyana


18 Titik Nyeri Fibromialgia
  • Dua titik di leher depan bagian bawah
  • Dua titik di atas payudara
  • Dua titik di bawah siku
  • Dua titik di atas lutut bagian dalam
    (satu-empat, titik pada profil perempuan menghadap ke depan)
  • Dua titik di bagian belakang tengkorak
  • Dua titik di antara leher dan bahu
  • Dua titik di bahu atas
  • Dua titik di pantat bagian atas
  • Dua titik di panggul
    (lima-sembilan, titik-titik pada profil perempuan menghadap ke belakang)
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus