Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=1 color=#FF0000><B>KETUA KOMITE EKONOMI NASIONAL DAN PENGUSAHA, CHAIRUL TANJUNG: </B></font><br /><font face=arial size=3><B>Uang Saya Bukan Titipan Konglomerat</B></font>

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada usia 51 tahun, Chairul Tanjung agaknya telah mencapai sebagian besar pencariannya sejak tahun-tahun masa muda: memastikan apa yang hendak diraih, memberi target pada dirinya sendiri, dan memenangi persaingan. Lima belas tahun lalu, namanya jauh dari klasemen pengusaha besar, apalagi menyentuh zona konglomerasi. CT—begitu dia disapa—ternyata tak perlu waktu lama. Majalah Forbes edisi Maret 2013 mencatatkan namanya dalam daftar 1.000 hartawan yang mengontrol perekonomian dunia. Nilai kekayaannya menurut majalah itu US$ 3,4 miliar atau kurang-lebih Rp 32,3 triliun—terkaya nomor lima di Indonesia.

Ahli-ahli manajemen barangkali menyebut CT mahir melakukan lompatan jumbo, quantum leap. Kata Chairul, rahasianya tidak jumbo-jumbo amat: "I buy future at present values," ujarnya kepada Tempo. "Itu sebabnya Anda tak akan pernah melihat saya menyentuh industri-industri sunset (yang telah redup)."

Pengusaha ini menerjemahkan rumus di atas ke dalam jaringan bisnis yang jembar: bank, media, pusat belanja, pasar swalayan, tas-tas bermerek, kuliner, dirgantara, media digital dan televisi, serta es krim—antara lain. Ekspansi usahanya dia geber lewat CT Corpora, induk bisnis yang dulu bernama Para Group.

Nama Chairul selalu muncul bila ada informasi akuisisi, walau belum tentu dia membeli. "Saya tahu susahnya menjadi orang miskin, karena pernah mengalaminya. Tapi saya tahu apa yang hendak saya raih, dan saya bekerja keras, sangat keras, untuk mencapainya," katanya. Menyebut dirinya “anak singkong", CT memang pernah hidup amat susah di masa lalu.

Lompatan bisnisnya menerbitkan sejumlah wasangka. Pria kelahiran Jakarta ini disebut-sebut tidak bertangan "midas", tapi sekadar menjadi fronting keluarga konglomerat lama, sejak krisis ekonomi 1998. "Tak satu rupiah pun uang saya datang dari titipan konglomerat," Chairul menyahuti konfirmasi Tempo sembari terbahak. Salah satu kunci terobosannya, kata CT, dia amat berfokus dalam berbisnis. "Bidang usaha saya cuma satu, yaitu konsumen," ujarnya.

Tiga tahun terakhir, Chairul masuk jajaran "penasihat ekonomi" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Komite Ekonomi Nasional. Dia memimpin lembaga bentukan Presiden ini dan mengaku menghabiskan hampir separuh waktunya untuk mengurusi Komite. "Kami memberi rekomendasi, tapi implementasi tentu bukan wilayah kami. Untuk penerapan program, silakan Anda tanya kepada menteri-menteri," katanya.

Kamis dua pekan lalu, CT menerima wartawan Tempo Hermien Y. Kleden, Agoeng Wijaya, dan Adek Media Roza serta fotografer Aditya Noviansyah untuk sebuah wawancara khusus. Perbincangan berlangsung di kantornya, lantai 25 Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, selama dua jam lebih.

Menjawab semua pertanyaan dengan rileks, Chairul hanya meneguk sebotol air mineral sepanjang pertemuan. Dia tampak masih segar saat menemui Duta Besar Inggris Mark Canning—yang telah menantikannya—seusai wawancara.

Apa rekomendasi Komite Ekonomi Nasional (KEN) kepada Presiden tentang subsidi bahan bakar minyak?

Sikap KEN jelas: subsidi harus diberikan kepada orang yang tidak mampu. Undang-undang bilang begitu. Agama juga bilang begitu: berikan sedekah kepada orang yang tidak mampu, jangan kepada yang kaya. Karena kendaraan pribadi itu yang punya orang mampu, tidak layak dia menikmati subsidi bahan bakar minyak.

Bisakah Komite mendorong pemerintah tidak tarik-ulur terus, agar ada kepastian keputusan soal bahan bakar minyak?

Tugas saya sebagai Ketua KEN memberikan pandangan, rekomendasi, kepada Presiden. Semua sudah jelas dan sudah diberikan. Tapi saya bukan menteri. Jadi, dalam hal itu, saya tidak punya otoritas apa-apa. Tentu saja pemerintah punya pertimbangan-pertimbangan lain. Kami serahkan keputusannya kepada Presiden.

Indonesia punya sekitar 30 juta orang miskin. Ini angka sebelum harga bahan bakar minyak dinaikkan. Komentar Anda?

Kita punya sekitar 30 juta orang miskin dengan kategori konsumsi Rp 275 ribu per orang setiap bulan. Kita punya 70 juta orang hampir miskin yang konsumsinya tak lebih dari Rp 375 ribu per orang per bulan. Antara miskin dan hampir miskin itu beti, beda-beda tipis. Lalu kita punya lagi 100 juta orang yang tidak miskin dan tidak kaya, in between. Yang relatif kaya, atau dalam istilah McKinsey itu consuming class, ada sekitar 50 juta orang.

Apa rekomendasi Komite untuk mengurai akar kemiskinan?

Bagi kami, membicarakan orang miskin sebaiknya tidak hanya yang 30 juta, tapi juga yang 70 juta orang. Mereka ini tidak akan pernah bisa keluar dari kelompok miskin dan hampir miskin, kecuali dibantu negara. Kenapa? Pertama, dia miskin. Kedua, dia tidak punya akses terhadap segala hal.

Pertolongan negara macam apa yang harus diprioritaskan?

Akses pendidikan! Negara harus bertanggung jawab mengurus pendidikan anak-anak dari keluarga miskin dan hampir miskin. Kalau tidak pintar, dia menjadi miskin kembali. Seterusnya mereka akan berputar dalam lingkaran itu. Sebaliknya, kalau berpendidikan, dia akan pintar; tahu cara mendapatkan akses pekerjaan, pendapatan, informasi, dunia usaha, dan lainnya.

Apakah mungkin negara menanggung mereka?

Mungkin sekali, dan cukup. Sebanyak 100 juta orang miskin dan hampir miskin itu kurang-lebih mencakup 25 juta kepala keluarga. Jika asumsinya ada dua anak dalam setiap keluarga, ada 50 juta anak yang harus ditanggung. Seandainya dianggarkan untuk mereka Rp 500 ribu sebulan buat pendidikan, termasuk seragam dan transpor ke sekolah, tinggal dihitung.

Kita punya anggaran pendidikan Rp 300 triliun sekarang. Tingkat kecukupannya bagaimana menurut Anda?

Sebenarnya cukup. Hanya, struktur anggarannya tidak tepat. Kenapa? Kalau saya tidak salah, lebih dari Rp 200 triliun itu untuk ditransfer ke daerah buat gaji guru, sekolah, segala macam. KEN merekomendasikan agar anggaran pendidikan difokuskan untuk penanganan orang miskin.

Oke. Lalu apa rekomendasi terhadap isu ketahanan pangan?

Pertama-tama, kami melihat persoalan ini dari sisi produsen, yaitu petani. Luas lahan kini relatif kecil dibanding banyaknya orang yang harus diberi makan, dan terus dikonversi menjadi pabrik, rumah, dan segala macam. Ada persoalan teknologi, dari pembibitan, penanaman, panen, sampai pascapanen, yang relatif tradisional.

Apa usul Anda untuk mengatasi dua soal ini dari hulu?

Nilai tukar petani harus diperbaiki. Mereka tidak bodoh. Petani tak akan mau menanam kalau tak mendapat untung. Selama ini, para mediatorlah yang lebih mendapat untung besar dari produk pertanian.

Tolong gambarkan potensi petani yang hilang?

Saya baru saja kembali dari Jawa Timur. Harga kubis dari petani di Batu Rp 300 per kilogram. Harga di supermarket dan pasar tradisional Surabaya Rp 1.500-2.000 per kilogram. Jaraknya kurang dari 100 kilometer. Andai petani punya akses langsung, dia bisa menjual Rp 1.500 per kilogram ke supermarket, dan dia pasti menanam. Yang harus dilakukan adalah membikin pertanian lebih punya daya tarik ketimbang perkotaan.

n n n

Forbes mencatatkan Anda sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia, bahkan di dunia. Seperti apa rasanya?

Jujur, saya tak pernah merasa menjadi kaya. Kartu kredit hanya dari Bank Mega. Sepatu saya juga cuma satu, merek Hugo Boss. Saya tidak konsumtif. Bagi saya, uang itu hanya nominal, sekadar digit.

Boleh tahu jumlah uang kontan yang biasa ada di dompet Anda?

Biasanya tidak lebih dari satu juta rupiah.

Ke mana-mana Anda menggunakan ­private jet?

Iya betul, karena itu kan alat transportasi.

Bagaimana Anda melakukan "lompatan" dalam bisnis?

Saya tidak pernah menghitung. Saya hanya berupaya setiap perusahaan di bawah CT Corp tumbuh cepat dan baik. Biasanya kami menargetkan growth 30-40 persen setiap tahun. Uang itu selalu diinvestasikan kembali sehingga cepat besarnya. Di bisnis media kami, setahun dividennya mencapai triliunan rupiah.

Padahal 15 tahun lalu nama Anda belum terdengar di antara deretan konglomerat.

Rumus sukses saya sederhana: bisa memprediksi waktu dan menang dalam persaingan. Bagi saya, pengetahuan tentang masa depan amatlah penting. I buy future at present values.

Tepatnya seperti apa?

Misalnya, sekarang kita tahu bahwa consuming class di Indonesia terdiri atas 50 juta jiwa. Ke depan, jumlahnya akan bertambah menjadi 90 juta jiwa. Pendapatan per kapita mereka naik dan gaya hidupnya berubah. Nah, apa yang akan mereka butuhkan? Ini yang saya maksudkan dengan membaca masa depan. Begitu pula sebaliknya. Saya tidak akan masuk ke suatu industri yang sunset.

Kenapa memilih bergelut di banyak bidang bisnis, dan tidak berfokus saja?

Saya berfokus. Bisnis saya cuma satu: konsumen. Dari apa yang orang makan sampai yang orang pakai, semua itu menjadi bisnis saya. Cukup itu saja.

Bisnis Anda tampaknya melesat sejak pascakrisis 1998.

Ketika krisis 1998, banyak orang melihat masa depan Indonesia gelap, bahkan meramalkan balkanisasi. Saya termasuk yang berbeda. Ketika orang lain berpikir susah, meninggalkan Indonesia pergi ke Singapura, saya justru berinvestasi dan tetap di sini. Sebab, memang negara saya cuma Indonesia.

Dari mana uang untuk investasi?

Saat itu saya sudah punya Bank Mega, yang relatif masih kecil. Pada 1998, ketika orang krisis, saya mendapat gain luar biasa. Saat rush, semua orang menarik uangnya dari bank, hampir semua pemilik bank ketakutan dan meninggalkan Indonesia. Saya tetap ada di Indonesia dan Bank Mega menangguk uang. Dengan uang itu, kami bisa memberi pinjaman kepada bank lain. Pada saat itulah terjadi keuntungan luar biasa, Rp 240 miliar. Uang sebesar itu bisa untuk membeli saham mayoritas Astra, yang ketika itu cuma Rp 175 per lembar.

Kabar beredar bahwa dana Anda merupakan titipan uang taipan yang kabur ke luar negeri ketika krisis 1998.

Tidak satu rupiah pun saya menerima titipan uang dari siapa pun. Demi Allah, yang namanya saham CT Corp itu tak ada satu pun orang yang punya kecuali saya dan keluarga saya.

Ini info yang kami dapat: Anda kaya karena menjadi fronting keluarga Liem Sioe Liong alias Sudono Salim. Uang keluarga Salim itulah yang Anda investasikan….

You tanya dong sama Salim. Saya rasa semua itu karena ada orang-orang Indonesia yang amat tidak bisa melihat orang berhasil. Budaya ini tidak baik. Kalau saya, bila ada pengusaha, apalagi pribumi, akan saya kasih apresiasi dan salut.

Seberapa jauh kedekatan Anda dengan Anthoni Salim, CEO Grup Salim?

Pada waktu krisis, Bank Mega membantu BCA, yang ketika itu masih milik keluarga Salim, besar sekali. Kami pernah memberi pinjaman dana Rp 1,3 triliun. Luar biasa besar uang ini untuk ukuran waktu itu. Orang lain menganggap berisiko karena BCA ketika itu "bermasalah". Tapi kami mau karena percaya tak mungkin bank sebesar itu ditutup. Ini membuat pegawai kami bangga sekali. Sampai-sampai surat utangnya dilaminating, dipigura. Mungkin karena itu hubungan kami menjadi dekat.

n n n

Ada yang bilang keputusan Anda tidak terjun ke dunia politik itu karena ada perjanjian dengan keluarga Salim ini.

Ha-ha-ha… these people might want me to be in power. Mungkin orang-orang ini termasuk yang senang kalau saya masuk ke pusaran kekuasaan. Tapi saya punya alasan personal untuk tidak ke politik.

Apa alasan personal itu?

Anak-anak saya masih kecil. Ada yang baru sepuluh tahun.

Partai mana saja yang sudah menghubungi Anda?

Jujurnya, beberapa partai sudah meminta, dan banyak yang telah menghubungi saya. Namun saya masih bisa menjawab bahwa saya akan melakukan apa pun untuk membuat negara ini maju. Tapi, soal menjadi pemimpin, mari kita cari bersama satu orang yang lebih baik. Masak, tidak ada di antara 250 juta penduduk Indonesia.

Apakah Anda tidak masuk daftar pemimpin terbaik itu?

Saya berharap bukan saya. Paling tidak untuk sepuluh tahun ke depan.

Apa karena sepuluh tahun ke depan ini kekuasaan politik tidak pantas "dibeli", mengingat Anda selalu "membeli masa depan"?

Bukan begitu. Anak-anak saya masih kecil. Bayangkan kalau saya menjadi pemimpin. Bapaknya nanti dihujat, padahal mereka belum mengerti apa-apa, dan itu mempengaruhi mental mereka. Sekarang anak-anak saya bersekolah di Singapura. Mengapa? Di sana, mereka akan menjadi anak biasa. Kalau di sini, dia akan mendapat privilese di mana-mana.

Kami dengar Anda sudah "merapat" ke Partai Keadilan Sejahtera?

Sebagai seorang pengusaha, saya harus dekat dengan siapa pun. Sebagai orang yang ingin republik ini menjadi baik, saya harus berpengaruh baik pula kepada semua pihak. Saya tidak membedakan partai apa pun. Tak satu pun partai yang tak berhubungan baik dengan saya. Semua yang datang ke saya minta sharing pemikiran, ceramah….

Pendanaan juga, tentunya.

Untuk pendanaan, saya lihat case by case. Kalau ada kegiatan yang bagus, saya bantu.

Termasuk pembangunan gedung Partai Keadilan Sejahtera di pinggir jalan tol Simatupang, Jakarta Selatan?

Begini, filosofinya adalah siapa pun partai yang meminta bantuan, dan masuk akal bagi saya, akan saya bantu.

Chairul Tanjung
Tempat dan tanggal lahir: Jakarta, 16 Juni 1962 Pendidikan: S-2 Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (selesai 1992) l Jurusan Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (selesai 1987) Karier: Chairman CT Corp l Pendiri PT Pariarti Shindutama l Pemilik Bandung Supermal l Pemilik Trans Corp l Komisaris Utama PT Carrefour Indonesia Organisasi: Ketua Komite Ekonomi Nasional l Anggota Dewan Komite Indonesia untuk Program Kemanusiaan l Pengurus Yayasan Kesenian Jakarta l Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga l Ketua Yayasan Ginjal Nasional l Ketua Yayasan Indonesia Forum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus