UNTUK melawan penyakit, dunia kedokteran mengenal dua jenis obat, modern dan tradisional. Obat modern terbuat dari pelbagai bahan dan zat buatan yang sudah teruji, baik secara klinis maupun empiris. Sebaliknya, obat tradisional—juga sering disebut sebagai obat asli atau jamu—terbuat dari bahan-bahan alamiah yang belum semuanya teruji, baik secara klinis maupun empiris. Itu sebabnya selama ini ada kecenderungan di kalangan dokter untuk tidak meresepkan obat asli atau jamu dengan alasan belum terbukti efektivitasnya secara ilmiah.
Sejak tahun lalu, pemerintah telah mengimbau para dokter agar memanfaatkan jamu. Meski belum terlalu mendapat sambutan, kini makin besar peluang obat tradisional untuk meraih kepercayaan para dokter. Obat asli Indonesia telah resmi masuk sistem pelayanan kesehatan formal seiring dengan dibukanya Pusat Pelayanan Obat Generik dan Obat Asli Indonesia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, awal Desember 1999. Peresmian ini penting karena menandai diakuinya obat asli sebagai alternatif pengobatan di Indonesia. Dengan kata lain, obat tradisional sekarang secara resmi sudah boleh diresepkan dokter.
Apa makna "resmi dan sudah boleh diresepkan" bagi dokter? Bila suatu obat asli sudah diterima dan diresepkan, itu berarti dokter bisa meminta data ilmiahnya. Data ilmiah mengenai suatu obat asli bisa didapat lewat apa yang disebut monografi, yang berisi daftar nama obat asli lengkap dengan keterangan ilmiahnya, seperti indikasi, dosis, dan efek samping. Buku ini sedang disusun oleh dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Dr. Suwijiyo Pramono, Apt., bersama Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, dan ditargetkan bakal selesai dalam dua bulan ke depan.
Sebetulnya, sudah banyak daftar nama obat tradisional dari semua negara yang masuk dalam monografi dunia. Menurut Pramono, yang juga anggota penyusun Advisory Final of Traditional Medic Badan Kesehatan Dunia (WHO), sejauh ini baru ada 12 obat asli Indonesia yang masuk dalam daftar itu. Beberapa di antara 12 obat asli jamu itu adalah daun pegagan, yang berkhasiat untuk penyakit kulit, buah makassar untuk amuba, jahe untuk antimual, serta daun sambiloto sebagai antidiare. Khusus untuk tanaman obat yang sudah diuji secara klinis, tercatat ada 30 tanaman.
Menurut Prof. Sudarto Pringgoutomo, Ketua Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T), Jakarta, obat asli dan tradisional Indonesia punya beberapa kelebihan dibandingkan dengan obat modern. Obat asli gampang didapat dan harganya relatif lebih murah. Selain itu, efek sampingnya sangat kecil. "Karena obat asli tradisional sudah dikenal turun-temurun, sebenarnya orang jadi cepat percaya terhadap khasiat obat tradisional walau tidak melalui proses uji klinis," kata Sudarto.
Orang-orang tua zaman dulu sering menasihati agar memberikan daun pepaya kepada anak-anak yang sulit makan supaya nafsu makannya bangkit kembali. Nasihat ini, menurut Sudarto, masuk akal karena sesungguhnya getah daun pepaya memang mengandung zat yang merangsang nafsu makan. Ekstrak daun katuk juga bermanfaat bagi ibu hamil untuk melancarkan produksi air susu ibu (ASI). Obat tradisional ini belakangan bahkan telah dikemas dalam bentuk kapsul oleh sebuah perusahaan jamu.
Selain itu, menurut Pramono, ada jenis tanaman obat tertentu yang punya efek kombinasi. Daun tini, contohnya, di samping memiliki kandungan kimia untuk menekan batuk, juga bermanfaat sebagai antibiotik dan mengencerkan dahak. Sementara itu, seledri sudah terbukti secara klinis sebagai penyembuh hipertensi atau tekanan darah tinggi.
Obat tradisional juga lebih cocok untuk penyakit metabolis seperti diabetes serta penyakit degeneratif semacam ketuaan dan hipertensi. "Karena penyakit-penyakit itu biasanya memerlukan waktu perawatan lama, cocok dengan sifat obat-obatan tradisional," kata Pramono.
Tapi belum adanya standar yang sama menyangkut dosis dan aturan pakai menjadi salah satu kelemahan obat asli. Untuk mengobati diare, misalnya, tidak ada kejelasan seberapa banyak jambu biji yang harus dimakan penderita agar sembuh. Akibatnya, yang sering terjadi, penderita diare memakan jambu biji sebanyak-banyaknya sampai kemudian malah jadi sulit buang air besar.
Kelemahan lain, untuk menguji obat asli agar bisa diakui secara klinis, juga dibutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Sebagai gambaran, guru besar farmakologi Universitas Indonesia, Sardjono Oerip Santoso, pernah menguji suatu obat untuk melancarkan ASI. Dan anggarannya mencapai Rp 30 juta. Dana itu tak mustahil melambung seandainya obat yang diuji pun hendak dipakai untuk melawan penyakit yang tingkat kompleksitasnya tinggi seperti kanker.
Adapun proses pengujian obat asli sebelum masuk tahap uji klinis perlu waktu 8-9 tahun. Kemudian, uji klinisnya bisa memakan waktu 3-4 tahun. Jadi, total bisa sampai 11-13 tahun atau bahkan 15 tahun agar satu obat lolos. Untunglah, kata Pramono, penelitian obat asli Indonesia sudah cukup maju. Uji klinis obat asli kini bisa dipersingkat menjadi sekitar 2 tahun. Dengan catatan, obat asli tersebut sudah lolos uji toksisitas.
Wicaksono, Hani Pudjiarti, L.N. Idayanie (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini