Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saiful Mujani
Mahasiswa S-3 ilmu politik, Ohio-State University, AS
Sejak 1997, ketika Orde Baru mulai goyah, rezim Indonesia secara perlahan berubah, dari otoritarianisme menjadi semidemokrasi. Perubahan mencolok tentu saja terjadi di tahun terakhir milenium kedua ini. Tapi, kenapa hanya semidemokrasi, tidak demokrasi?
Freedom House, sebuah lembaga yang setiap tahun memonitor perkembangan kebebasan di seluruh negara di dunia, secara teratur mengeluarkan indeks kebebasan (demokrasi). Ada dua komponen kebebasan yang diukur Freedom House, yaitu hak-hak politik dan kebebasan sipil. Hak politik terutama berkaitan dengan kebebasan warga untuk membentuk partai politik dan kebebasan partai untuk bersaing dalam pemilu, sementara kebebasan sipil berkaitan dengan tingkat penghormatan dan perlindungan atau jaminan hukum bagi warga negara dalam hubungannya dengan kebebasan beragama, perbedaan etnis dan suku, jaminan bagi kebebasan pers dan berserikat, dan jaminan untuk dapat hidup tidak di bawah garis kemiskinan.
Freedom House dalam laporan 1999-2000 memberikan catatan khusus terhadap prestasi demokrasi Indonesia dan Nigeria, dua negara besar dengan jumlah penduduk mayoritas muslim. Penekanan Freedom House terhadap agama penduduk kedua negara ini punya arti tersendiri, mengingat langkanya demokrasi di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Catatan positif Freedom House terhadap perkembangan demokrasi Indonesia ini tentu masih menyisakan pekerjaan rumah yang amat berat. Bagaimanapun, hak politik dan kebebasan sipil baru sebagian kita jalani. Hak politik bahkan belum mampu kita wujudkan secara maksimal, terutama karena masih ada hambatan-hambatan institusional untuk mencapainya: ada utusan TNI di DPR dan utusan golongan di MPR yang tidak dipilih lewat pemilu, ada utusan daerah yang tidak dipilih langsung. Pada dasarnya, dalam politik kita masih ada semacam peruwetan sistematis terhadap prosedur demokrasi yang pada dasarnya sederhana itu.
Karena ini menyangkut institusi politik, tidak ada jalan lain untuk menanggulanginya kecuali dengan melakukan desain ulang terhadap institusi politik kita sehingga hambatan-hambatan institusional bagi tercapainya hak politik ini dapat kita hilangkan. Setidaknya, satu hambatan yang nyata ini harus bisa kita selesaikan. MPR, lewat tim amendemen UUD, sekarang sedang melakukan ini, dan masyarakat politik di Tanah Air, terutama para aktivis demokrasi, berkewajiban untuk terus memonitor tim ini.
Tarik menarik antarkepentingan anggota MPR pasti akan terjadi. Tapi yang jauh lebih berat adalah interaksi antara lembaga-lembaga politik dan kelompok-kelompok masyarakat, ketika kelompok-kelompok massa pendukung elite politik atau partai tidak sungkan-sungkan bergerak dan melakukan intimidasi terhadap kelompok massa lainnya. Massa yang menamakan diri pendukung Mega dan pendukung Habibie dalam Sidang Umum MPR yang lalu adalah contoh gejala ini. Masyarakat kita masih sangat rentan terhadap mobilisasi, sementara politisi, jangan ditanya lagi, tidak akan sungkan menggunakan segala cara untuk tujuan mereka. Tapi, kecenderungan politisi seperti ini tidak akan banyak dampaknya kalau massa kita tidak rentan terhadap mobilisasi. Massa seolah-olah tidak mampu membedakan kapan terlibat langsung dalam proses politik dan kapan berhenti dan menyerahkan proses politik kepada wakil-wakil yang telah mereka pilih.
Padahal, faktor masyarakat ini akan sangat menentukan kualitas kebebasan sipil. Kalau kita memperhatikan demokrasi dari sisi kebebasan sipil ini, kita mungkin menjadi tidak begitu optimistis dengan nasib demokrasi kita. Indeks kebebasan sipil kita dalam 30 tahun terakhir relatif lebih konstan dibandingkan dengan indeks hak politik, walaupun tahun ini kedua indeks tersebut sama. Tapi, kalau dilihat dari kurun waktu yang cukup panjang tersebut, kebebasan sipil tampaknya lebih sulit berubah ketimbang hak politik. Sebabnya, ya, itu tadi: pencapaian hak politik lebih bisa direkayasa, misalnya lewat reformasi institusi politik, sementara kebebasan sipil secara lebih langsung berkaitan dengan perilaku politik masyarakat secara luas. Perilaku seperti penghormatan dan rasa percaya pada institusi publik, kesetaraan derajat di muka hukum, toleransi, dan saling percaya baik dari segi agama, etnis, daerah, ataupun kelas sosial bukanlah masalah-masalah yang bisa diselesaikan lewat rekayasa sosial-politik dalam kurun waktu yang singkat. Kita tahu India adalah salah satu negara besar yang sudah cukup lama mengadopsi demokrasi, tapi indeks demokrasinya sampai sekarang belum menembus indeks kelompok demokrasi paling atas. Ini karena kekerasan sosial merupakan gejala yang sulit ditanggulangi di negeri tersebut.
Demokrasi pada dasarnya adalah politik dari masyarakat, dan karena itu karakteristik masyarakat akan menentukan kualitas demokrasi yang dibangunnya. Toleransi dan sikap saling percaya sesama warga dan sesama kelompok-kelompok sosial yang beragam itu menjadi prasarat sosial bagi demokrasi. Kita membutuhkan semacam keberadaban demokrasi (democratic civility) untuk mematangkan demokrasi kita. Inti keberadaban demokratis, ya, itu tadi: sikap toleran dan rasa saling percaya sesama warga. Ada saatnya kita harus bersikap kritis terhadap negara dan aparatnya sebagai sumber dari segala sumber kekacauan bangsa, tapi ada juga saatnya kita harus kritis terhadap diri sendiri sebagai unsur-unsur dalam masyarakat. Barangkali kita sebagai masyarakat belum cukup beradab untuk berdemokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |