Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Kei - Masyarakat Desa Ohoi Evu, Pulau Kei Kecil, Maluku Tenggara, menggunakan keramba sebagai perangkap kepiting bakau. Di perairan payau tepi dermaga, mereka menilik keramba saban sore. Bila ada kepiting yang terperangkap,warga langsung mengangkatnya dari laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lain hari, pagi berikutnya, dermaga Desa Ohoi Evu lebih ramai. Wisatawan, dan penduduk, berkerumun ingin membeli kepiting hasil tangkapan nelayan sore sebelumnya. Para pengunjung mengaku mendapatkan kepiting langsung dari penangkapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang-orang ini, menurut penduduk sekitar, datang dari berbagai kabupaten, desa, kota maupun provinsi lain. Siprianus Elmas, nelayan asli Ohoi Evu, saat ditemui pada Kamis, 15 Maret 2018, di Pulau Kei Kecil, mengatakan desanya yang berjarak 19 kilometer dari pusat Kota Langgur tersebut memang dikenal sebagai pusat budidaya kepiting bakau.
Mata pencaharian Warga Ohoi Evu mayoritas penangkap kepiting. Mereka mengetahui cara membudidayakan kepiting dengan baik. Kualitas kepiting desa ini tak diragukan. Pamor Kepiting bakau khas Desa Ohoi Evu telah diakui hingga luar pulau.
Kepiting bakau berukuran besar. Rasanya khas. Dadanya tebal. Dagingnya cukup mengenyangkan, bahkan dimakan tanpa nasi.
Kepiting bakau Desa Ohoi Evu memiliki berat lebih dari 2 kilogram. Ukurannya sekira dua genggaman tangan manusia. Harganya mulai Rp 35 ribu sampai Rp 150 ribu.
Para penggemar seafood rela memburu kepiting sampai Desa Ohoi Evu. Mereka memesan untuk dikirim ke tempat jauh. “Kepiting bakau di sini sering dikirim ke Surabaya dan Bali,” kata Elmas.
Kepiting bakau bisa dijadikan alternatif oleh-oleh bagi wisatawan. Warga di Ohoi Evu akan mengepak kepiting dengan kemasan khusus supaya aman saat dibawa sampai rumah.
FRANSISCA CRISTY ROSANA