Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Pak Tarmiji Menemui Menteri

Tarmiji, warga samarinda terancam kena gusur, tidak pengantar dari idham cholid, ketua dpr/mpr, ia menemui mendagri, kapolri, jaksa agung, menkeh, ketua ma & mensekneg. akhirnya kena gusur tanpa ganti rugi. (sd)

18 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERNAMA Tarmiji. Tidak sempat makan sekolahan - dan barangkali itu sebabnya ia jadi lugu dan nekad. Dengan pertolongan seorang kawan, ditulislah sebuah surat ke pusat pemerintahan Republik Indonesia: Jakarta. Dialamatkan kepada Laksamana Sudomo. Isinya: pengaduan nasib seorang rakyat kecil yang kena gusur di sudut Kota Samaria. Tarmiji dalam keadaan sangat sedih. Ia telah membuat serangan perdata menggugat kebijaksanaan Walikota Samarinda. Tetapi barangkali terlalu banyak loket, terlalu banyak meja, kursi dan tumpukan kertas, yang telah mengganjal gugatannya sehingga tak pernah menggigit. 3 tahun ia menunggu dengan was-was. Sedang rumahnya telah lama diratakan dengan tanah oleh petugas Balaikota atas nama Repelita 1975. Idham Cholid. Sesungguhnya orang tua berdarah Kalumantan ini hanya minta porsi perhatian yang lebih baik untuk ganti kerugian. Jadi bukan emoh digusur. "Baik tanah maupun rumah kami, ada surat-menyuratnya," ujar bapak dari lima orang anak itu. Memang. Sudah beberapa kali ia dipanggil oleh tim pembebasan tanah. Tapi sayangnya bukan merundingkan soal harga yang pantas, tapi buat mendengarkan bujukan. Rayuan. Dan kemudian ancaman. Bahwa ia harus segera angkat kaki dari sisi Hotel Internasional Lamin Indah, yang termasuk barang paling mewah sekarang di sana. Sadar pada haknya, Tarmiji tetap menolak sebelum ada penegasan mengenai harga ganti rugi. Apalagi kalau dikenangkan: tanah pengganti yang diulurkan untuk kediamannya yang baru adalah tanah kampung - yang juga hanya dipinjamkan tidak lebih dari 3 tahun. Tarmiji membangkang dan berhasil mengelak dari segala bujukan. Maka ia pun dikecam sebagai penghalang pembangunan. Stempel itu tentulah merupakan muatan buruk bagi hidup seseorang di pedalaman. Namun si tua ini tidak takut hanya ancaman pembongkaran paksa membuat ia panik. Sebagai akibat, tekadnya untuk memperjuangkan keadilan setidak-tidaknya menurut ukuran Tarmiji sendiri - makin membaja. "Seng hewan saja dibangunkan kandang scbelum dipindah. Masak saya lebih rendah dari hewan," kata orang tua itu dengan sebal. Kisah ini kemudian seperti cerita pendek Anton Chekov, itu pengarang kesohor Rusia yang lucu dan sekaligus getir memotret masyarakat. Entah dari mana datangnya gelombang fikiran, Tarmiji malam itu teringat sebuah nama yang disanjung-sanjung di Amuntai, Kalimantan Selatan. Negeri asal orangtuanya itu masih memiliki sebuah nama besar sebagai lambang kebanggaan daerah dan fanatisme NU. Dialah KH Idham Cholid -- waktu itu menjabat Ketua DPR/MPR. Isterinya, yang sudah tidur, dibangunkan. Sekarang ia yang mencoba membujuk isterinya. Agar kalung yang melingkar di leher wanita itu dilepaskan. Demikian juga cincin yang masih cukup berharga untuk dijual. Isterinya bengong. Tapi Tarmiji sudah bulat. Ia ingin mengadukan nasibnya kepada Idham Cholid. Tidak melalui surat, tapi langsung dari mulut ke mulut dengan empat buah mata, dengan mengandalkan "solidaritas satu kampung". Rancangan yang tiba-tiba itu membuat seisi rumah tidak tidur sepanjang malam. Pagi berikutnya, Tarmiji langsung ke pasar. Tidak banyak, tapi cukup untuk terbang ke Jakarta. Dasar orang sederhana, ia tidak berfikir jauh-jauh bagaimana nanti di Jakarta dan bagaimana pulangnya. Dengan menggagahkan hatinya ia pun memasuki kendaraan yang baru pertama kali dijamahnya. Melayang di udara, penuh semangat bahwa Jakarta akhirnya akan membagikan keadilan dengan merata kepada seluruh warga dipelosok dengan tidak pandang bulu. Minta Hotel Di Pelabuhan Udara Kemayoran, tatkala para penumpang dengan tenang menuju arah masing-masing, Tarmiji baru tercenung. Ia begitu terlena dan kagum. Begitu ramai, begitu banyak orang. Seorang sopir taksi kemudian memungutnya. Kebetulan sopir baik, tahu di mana rumah Ketua DPR itu. Tarmiji langsung dibawa ke depan pintunya. Dihadapkan kepada seorang ajudan. Orang tua ini cepat pasang omong dalam bahasa Banjar: "Saya datang ke mari mencari hukum, macam apa keadaan hukum di sini?" Tentu saja ajudan heran. Tapi setelah ia faham apa yang terjadi, ia jatuh simpati. Apalagi ternyata Idham Cholid berkenan menerima Tarmiji. Lebih dari itu, orang kampung ini dipersilakan menginap di rumah sang pejabat. Herannya Tarmiji menolak. Ia minta hotel. Lho kenapa? "Ya supaya bisa meragakan macam apa hotel itu," jawabnya kalem. Ia memperoleh sebuah hotel di bilangan Senen. Tapi dari posnya ini ia tidak benar-benar dapat mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Jakarta. Ia hanya berkurung dalam kamar. "Habis saya tidak berani ke luar kamar, dan tidak bisa tidur. Hotelnya besar sekali dan dingin." Nama hotel itu saja ia tidak tahu. Pagi harinya sedan Menteri-ini istilah Tarmiji sendiri - sudah datang menjemput dengan seorang ajudan. Hebat juga Tarmiji ini. Ia berhasil memperoleh sebuah surat pengantar dari tangan Idham Cholid. Dengan senjata surat tersebut, Tarmiji mulai menembus gedung-gedung penting yang barangkali cukup sulit bagi orang Jakarta sendiri. Tanpa banyak halangan, lancar seperti arus air Sungai Barito atau Mahakam ia menemui Mendagri Kapolri, Jaksa Agung, Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung akhirnya langsung ke Bina Graha menemui Menteri Sudarmono. Hanya dalam tempo satu hari saja ia berhasil mengumpulkan tanda tangan dan stempel dari para penjabat tersebut. Semuanya tertera dalam sebuah surat, yang isinya pada pokoknya: agar pembongkaran dilaksanakan berdasar ketentuan yang berlaku. Sebuah itikad baik yang kedengarannya manis, tetapi masih merupakan formulasi kata-kata yang terlalu menggaris besar -- sementara Tarmiji memerlukan butir-butir keputusan yang konkrit. Tapi dasar orang sederhana, si tua ini merasa sudah cukup kuat dan puas. Hari kedua warga Samarinda ini ditemani seorang ajudan melihat-lihat Jakarta. Duka hatinya di Samarinda jadi terobat. Ia merasa yakin kini bahwa Idham Cholid benar-benar - seorang Amuntai yang baik. Lega, senang merasa mendapat perlindungan sebagai rakyat. Ini semuanya membuat ia pulang kampung bagaikan "pria Brisk" - penuh kepercayaan diri. Sampai Padang Mahsyar Sesampainya di tanah lahir kembali Tarmiji punya kesibukan baru. Ia mengedarkan fotokopi surat penuh tanda tangan yang hendak dipakainya sebagai senjata pemungkas. Dari Camat ke Walikota sampai Gubernur dan Laksus disentuhnya dengan surat tersebut hatinya berubah mantap. Lalu ia pun mendapat kegairahan bekerja sebagai pedagang kayu. Isterinya tidak merasa sedih lagi karena kehilangan kalung, sebab buahnya jelas kelihatan. Tapi empat hari setelah menyebarkan fotokopi, aduh -- rumah Tarmiji dirobohkan dengan paksa. Tiang-tiangnya diikat dengan tali, kemudian ditarik oleh mobil. Tarmiji tak melihat kejadian itu karena sedang di pasar. Begitu pulang, segalanya sudah rata, berikut tiga buah rumah yang bersebelahan. Ranjang dan kasur memang sempat dikeluarkan tapi barangbarang lainnya tertimbun atap. "Dasar benar-benar tidak ada hukum di sini," kata Tarmiji mengenangkan peristiwa itu kepada Dahlan Iskan dari TEMPO. "Sedihnya lagi, anak saya belum satu hari melahirkan? terpaksa dipikul seperti mayat. Saya segera mencari di mana isteri saya. Ternyata ia juga selamat." Demikian kekalahan Tarmiji. Kemudian dia nebeng di rumah iparnya--selama satu setengah tahun. Tapi juga dengan rasa waswas karena rumah itu terancam digusur. Tarmiji akhirnya memutuskan pindah dari situ, paling tidak untuk menenangkan fikirannya sendiri. Ia berhasil membangun sebuah rumah yang sampai sekarang belum benar-benar rampung. Ini pun ternyata tidak aman. Sekali waktu, kediamannya yang baru ini didatangi tentara yang menanyakan apakah orang tua ini memiliki izin bangunan. Apa jawab Tarmiji? "Buat apa izin. Pakai izin dibongkar, tidak juga dibongkar." Hati terus kesal mengingat gugatannya tak pernah digubris. "Sampai di hadapan Tuhan tetap akan saya tuntut. Nanti di Padang Mahsyar saya akan adukan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus