Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Panggil Dukun, Tanam Obat Cina

WHO menghimbau agar obat tradisional digalakkan. Depkes RI menyelenggarakan simposium obat tradisional. r.c.o.m Singapura mempertemukan dukun melayu dengan ahli obat tradisional India dan Cina. (ksh)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORGANISASI Kesehatan Se-dunia (WHO) pernah mengimbau supaya obat tradisionil yang sudah lama dikenal masyarakat dan harganya lebih murah agar lebih digalakkan penggunaannya. Di wilayah ASEAN khususnya imbauan itu didengar betul. Desember 1978, misalnya, Departemen Kesehatan RI menyelenggarakan simposium obat tradisionil. Di situ berbagai ahli, termasuk dukun, sinshe, ahli jamu dan obat tradisionil lainnya tidak lagi memperbincangkan benar-tidaknya sikap WHO tadi. Tapi simposium sudah sampai pada tahap mencari ketentuan bagaimana selayaknya menggunakan obat tradisionil. Misalnya, siapakah yang berhak memberikan jamu, dokter atau dukun. Apakah dukun atau ahli tusuk jarum boleh mempergunakan stateskop atau tidak. Singapura, sekalipun lebih makmur mulai berkepentingan merangkul pelaksana obat tradisionil, dukun atau sinshe. Sikap ini diarahkannya untuk menekan harga pelayanan kesehatan. Research Centre of Oriental Medicine di Singapura sedang berusaha keras mempertemukan para dukun Melayu dengan ahli obat tradisionil India dan Cina setempat. Tetapi ternyata sulit mencari para dukun Melayu di kota itu. "Seandainya kami bisa mempertemukan mereka, kami tentu bisa tukar menukar pengetahuan yang luas tentang obat tradisionil," kata E.C. Wong, direktur pusat riset itu. Jamu Pilipina Mengetahui panggilan Wong tadi, datanglah ke Singapura pekan lalu Haji Raden Supathan, ketua Perhimpunan Obat Tradisionil Malaysia, beserta 3 anggotanya. Kunjungan tersebut dimanfaatkan sekali oleh para ahli kesehatan Singapura. Apalagi dalam rombongan tadi ada Raden Suratman, dukun tersohor dari Kuala Lumpur. Ia ahli dalam mengobati orang yang kecanduan narkotik. Sudah 600 orang yang berhasil dirawatnya. Seluk-beluk obat tradisionil yang dicari Singapura itu nampaknya juga sebagai persiapan ke Asian Traditional Medicine Conference di Canberra, 2-9 September. Konperensi itu tentang obat tradisionil Asia diselenggarakan oleh WHO dan Australiaw National Universit. Dari Indonesia, antara lain Goenawan, dokter di Cisarua yang menggunakan singkong untuk kanker dan ahli jamu Darmi Soeparto diundang mengikutinya. Pilipina lain lagi. Masyarakat sana berpaling ke obat tradisionil karena obat moderen memang mahal. Terutama di pedesaan ramu-ramuan akar diberikan oleh "dokter" tak berizin. Malahan di kota metropolitan Manila, ada warung-warung ramuan dan ajimat. Quiapo (bagian dari Manila) merupakan pasar obat tradisionil yang paling banyak dikunjungi orang. Persis letaknya di sebelah gereja Katolik. Seperti biasa, ada yang mengatakan ramuan bikinannya bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Dari pasar ini obat-obatan tadi menyebar ke berbagai penjuru. Jamu Pilipina yang paling laris adalah sasaparilla yang dibuat dari kulit tanaman merambat. Katanya jamu ini bisa mengempeskan bengkak, menyembuhkan sakit ginjal dan jantung. Sedang kaum ibu menggemari cresenciana sebagai pengganti obat anti hamil. Selain murah, bila diminum dengan arak syoktong, ia dianggap tak bertentangan dengan ajaran Katolik. Ketua Ikatan Dokter Pilipina, Rufino Chua menyatakan organisasinya tidak bisa menghambat penggunaan jamu, karena dalam kenyataannya obat tersebut untuk sebagian orang memang bermanfaat. Namun ia sama sekali menentang pencampuran obat tradisionil dengan obat kimiawi yang diperdagangkan secara bebas. Universitas Pilipina sedang mempersiapkan buku mengenai tanaman yang berkhasiat supaya masyarakat lebih dekat dengan pengobatan. Dibandingkan dengan Indonesia, tanaman obat Pilipina masih sedikit. Tapi Pilipina kini berniat menanam jenis tanaman tertentu dari Cina. "Dengan begitu negara kita bertambah senjatanya dalam bidang pengobatan," ulas Rufino Chua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus