ORGANISASI Kesehatan Se-dunia (WHO) pernah mengimbau supaya obat
tradisionil yang sudah lama dikenal masyarakat dan harganya
lebih murah agar lebih digalakkan penggunaannya. Di wilayah
ASEAN khususnya imbauan itu didengar betul.
Desember 1978, misalnya, Departemen Kesehatan RI
menyelenggarakan simposium obat tradisionil. Di situ berbagai
ahli, termasuk dukun, sinshe, ahli jamu dan obat tradisionil
lainnya tidak lagi memperbincangkan benar-tidaknya sikap WHO
tadi. Tapi simposium sudah sampai pada tahap mencari ketentuan
bagaimana selayaknya menggunakan obat tradisionil. Misalnya,
siapakah yang berhak memberikan jamu, dokter atau dukun. Apakah
dukun atau ahli tusuk jarum boleh mempergunakan stateskop atau
tidak.
Singapura, sekalipun lebih makmur mulai berkepentingan merangkul
pelaksana obat tradisionil, dukun atau sinshe. Sikap ini
diarahkannya untuk menekan harga pelayanan kesehatan.
Research Centre of Oriental Medicine di Singapura sedang
berusaha keras mempertemukan para dukun Melayu dengan ahli obat
tradisionil India dan Cina setempat. Tetapi ternyata sulit
mencari para dukun Melayu di kota itu. "Seandainya kami bisa
mempertemukan mereka, kami tentu bisa tukar menukar pengetahuan
yang luas tentang obat tradisionil," kata E.C. Wong, direktur
pusat riset itu.
Jamu Pilipina
Mengetahui panggilan Wong tadi, datanglah ke Singapura pekan
lalu Haji Raden Supathan, ketua Perhimpunan Obat Tradisionil
Malaysia, beserta 3 anggotanya. Kunjungan tersebut dimanfaatkan
sekali oleh para ahli kesehatan Singapura. Apalagi dalam
rombongan tadi ada Raden Suratman, dukun tersohor dari Kuala
Lumpur. Ia ahli dalam mengobati orang yang kecanduan narkotik.
Sudah 600 orang yang berhasil dirawatnya.
Seluk-beluk obat tradisionil yang dicari Singapura itu nampaknya
juga sebagai persiapan ke Asian Traditional Medicine Conference
di Canberra, 2-9 September. Konperensi itu tentang obat
tradisionil Asia diselenggarakan oleh WHO dan Australiaw
National Universit. Dari Indonesia, antara lain Goenawan,
dokter di Cisarua yang menggunakan singkong untuk kanker dan
ahli jamu Darmi Soeparto diundang mengikutinya.
Pilipina lain lagi. Masyarakat sana berpaling ke obat
tradisionil karena obat moderen memang mahal. Terutama di
pedesaan ramu-ramuan akar diberikan oleh "dokter" tak berizin.
Malahan di kota metropolitan Manila, ada warung-warung ramuan
dan ajimat. Quiapo (bagian dari Manila) merupakan pasar obat
tradisionil yang paling banyak dikunjungi orang. Persis letaknya
di sebelah gereja Katolik. Seperti biasa, ada yang mengatakan
ramuan bikinannya bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Dari
pasar ini obat-obatan tadi menyebar ke berbagai penjuru.
Jamu Pilipina yang paling laris adalah sasaparilla yang dibuat
dari kulit tanaman merambat. Katanya jamu ini bisa mengempeskan
bengkak, menyembuhkan sakit ginjal dan jantung. Sedang kaum ibu
menggemari cresenciana sebagai pengganti obat anti hamil. Selain
murah, bila diminum dengan arak syoktong, ia dianggap tak
bertentangan dengan ajaran Katolik.
Ketua Ikatan Dokter Pilipina, Rufino Chua menyatakan
organisasinya tidak bisa menghambat penggunaan jamu, karena
dalam kenyataannya obat tersebut untuk sebagian orang memang
bermanfaat. Namun ia sama sekali menentang pencampuran obat
tradisionil dengan obat kimiawi yang diperdagangkan secara
bebas.
Universitas Pilipina sedang mempersiapkan buku mengenai tanaman
yang berkhasiat supaya masyarakat lebih dekat dengan pengobatan.
Dibandingkan dengan Indonesia, tanaman obat Pilipina masih
sedikit. Tapi Pilipina kini berniat menanam jenis tanaman
tertentu dari Cina. "Dengan begitu negara kita bertambah
senjatanya dalam bidang pengobatan," ulas Rufino Chua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini