PINJAM meminjamkan punya jalur, punya pola. Buruh tani miskin
punya cara tertentu, usahawan kaya punya cara lain. Jumlahnya
berbeda, jenisnya berbeda, tujuannya lain, sumbernya lain.
Namanya pun bisa lain: yang satu "ijon" yang lainnya "kredit".
Berbeda dengan "kredit" yang keren, yang dianggap sebagai faktor
pelicin pembangunan, "ijon" dihubungkan dengan transaksi
keparat. Lintah darat yang lihai menghisap darah orang miskin,
yang berkeinsyafan rendah. Para korban yang tak berdaya orang
bodoh, kurang pendidikan, kurang penyuluhan. Tolol. Mengapa
tidak memanfaatkan bank lembaga kredit yang mutakhir yang
jaringannya telah direntang ke desa-desa? Mereka malah mau
menerima kredit dalam hentuk panci, ember, baju, pacul dan
lain-lain.
Bagi orang miskin pinjaman identik dengan bantuan. Dalam otak
mereka hutang dan bantuan menjadi berbaur. Terserah mau
diterangkan dengan teori apa. Barangkali bisil dihubungkan
dengan teori Kusum Nair tentang aspirasi yang terlalu rendah,
dengan David Penny tentang subsistence-mindedness, dengan David
Mc Clelland tentang need for Achievement (n Ach) yang pudar.
Ahli lain barangkali bilang mereka tidak jauh melihat ke depan.
Punya kecondongan yang terlalu besar untuk segera
mengkonsumsikan. Tapi Osxcar Lewis akan bilang, tanpa tedeng
aling-aling, bahwa doyan berhutang termasuk sebuah ciri
kebudayaan golongan miskin, the culture of poverty. Mereka
senantiasa terjun ke dalam dunia hutang dengan spontan, kapan
saja kesempatan terbuka. Di samping itu suka jual beli barang
bekas, membeli makanan dalam jumlah kecil dengan frekwensi yang
tinggi.
Indonesia mengembangkan hutang demi usaha pembangunan. Untuk
dana pembangunan di pelbagai bidang, diproyeksikan jumlah dana
yang diperlukan sebesar Rp 21,84 trilyun pada Pelita III.
Sebesar 42,4 persen diharapkan dari sumber luar negeri. Dengan
demikian proporsi bantuan luar negeri meningkat secara berarti:
pada Pelita II sebanyak 34,6 persen terdiri dari sumber luar
negeri.
Orang awam seperti saya, jelas tidak mampu berpendapat perihal
seni berhutang dalam skala besar dan perihal pengelolaan uang
bertimbun-timbun guna pembiayaan pembangunan. Cuma berdoa.
Namun satu hal cukup mencengangkan dalam soal hutang-hutang ini
bagi mereka yang mengikuti media massa. Kerap kali hutang (yang
bukan grant) dicampur-adukkn dengan istilah "bantuan". Memang
hasil akhir dari hutang bisa melonggarkan, bisa membantu. Tapi
tidak harus. Hutang juga bisa mencekik, semakin ama semakin
menghimpit. Dus, hutang adalah hutang.
Contohnya dalam koran-koran, majalah-majalah dan warta berita
begini: "Bantuan Dalam Rangka IGGI . . . ", "Bank Dunia Akan
Bantu Industri Kecil di . . . " "Tak Benar Bantuan Bank Dunia
Pada Kaum Miskin Indonesia Salah Arah" "Bantuan Luarnegeri
Harus Dicegah dari Kebocoran . . . ". Dan banyak lagi contoh
lain.
Hati lalu bertanya: apakah ini percikan dari kebudayaan
nasyarakat miskin, the culture of poverty?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini