Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hutang itu hutang

Berhutang termasuk ciri kebudayaan golongan miskin. sering hutang dicampuradukkan dengan bantuan. ada koran yang menulis: "bantuan dalam rangka iggi ...", dsb. padahal hutang adalah hutang.

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PINJAM meminjamkan punya jalur, punya pola. Buruh tani miskin punya cara tertentu, usahawan kaya punya cara lain. Jumlahnya berbeda, jenisnya berbeda, tujuannya lain, sumbernya lain. Namanya pun bisa lain: yang satu "ijon" yang lainnya "kredit". Berbeda dengan "kredit" yang keren, yang dianggap sebagai faktor pelicin pembangunan, "ijon" dihubungkan dengan transaksi keparat. Lintah darat yang lihai menghisap darah orang miskin, yang berkeinsyafan rendah. Para korban yang tak berdaya orang bodoh, kurang pendidikan, kurang penyuluhan. Tolol. Mengapa tidak memanfaatkan bank lembaga kredit yang mutakhir yang jaringannya telah direntang ke desa-desa? Mereka malah mau menerima kredit dalam hentuk panci, ember, baju, pacul dan lain-lain. Bagi orang miskin pinjaman identik dengan bantuan. Dalam otak mereka hutang dan bantuan menjadi berbaur. Terserah mau diterangkan dengan teori apa. Barangkali bisil dihubungkan dengan teori Kusum Nair tentang aspirasi yang terlalu rendah, dengan David Penny tentang subsistence-mindedness, dengan David Mc Clelland tentang need for Achievement (n Ach) yang pudar. Ahli lain barangkali bilang mereka tidak jauh melihat ke depan. Punya kecondongan yang terlalu besar untuk segera mengkonsumsikan. Tapi Osxcar Lewis akan bilang, tanpa tedeng aling-aling, bahwa doyan berhutang termasuk sebuah ciri kebudayaan golongan miskin, the culture of poverty. Mereka senantiasa terjun ke dalam dunia hutang dengan spontan, kapan saja kesempatan terbuka. Di samping itu suka jual beli barang bekas, membeli makanan dalam jumlah kecil dengan frekwensi yang tinggi. Indonesia mengembangkan hutang demi usaha pembangunan. Untuk dana pembangunan di pelbagai bidang, diproyeksikan jumlah dana yang diperlukan sebesar Rp 21,84 trilyun pada Pelita III. Sebesar 42,4 persen diharapkan dari sumber luar negeri. Dengan demikian proporsi bantuan luar negeri meningkat secara berarti: pada Pelita II sebanyak 34,6 persen terdiri dari sumber luar negeri. Orang awam seperti saya, jelas tidak mampu berpendapat perihal seni berhutang dalam skala besar dan perihal pengelolaan uang bertimbun-timbun guna pembiayaan pembangunan. Cuma berdoa. Namun satu hal cukup mencengangkan dalam soal hutang-hutang ini bagi mereka yang mengikuti media massa. Kerap kali hutang (yang bukan grant) dicampur-adukkn dengan istilah "bantuan". Memang hasil akhir dari hutang bisa melonggarkan, bisa membantu. Tapi tidak harus. Hutang juga bisa mencekik, semakin ama semakin menghimpit. Dus, hutang adalah hutang. Contohnya dalam koran-koran, majalah-majalah dan warta berita begini: "Bantuan Dalam Rangka IGGI . . . ", "Bank Dunia Akan Bantu Industri Kecil di . . . " "Tak Benar Bantuan Bank Dunia Pada Kaum Miskin Indonesia Salah Arah" "Bantuan Luarnegeri Harus Dicegah dari Kebocoran . . . ". Dan banyak lagi contoh lain. Hati lalu bertanya: apakah ini percikan dari kebudayaan nasyarakat miskin, the culture of poverty?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus