Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kenangan yang bikin geregetan

Granada record mengeluarkan kaset "nostalgia" berisi 16 lagu ismail marzuki dibawakan secara instrumental oleh kwartet sudharnoto. sayang warna kaset jadi ampang karena tidak diberi suasana asli. (ms)

23 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAYA betul-betul gandrung -- baik kepada melodi, syair, maupun masalah yang dibawakan oleh ciptaan Ismail Marzuki," kata Soewanto Soewandi, Kepala Urusan Siaran TVRI Jakarta. Bulan lalu ia telah menggarap kembali sejumlah karya Almarhum dalam siaran kenangan di TVRI dengan dukungan beberapa orang biduan. Di antaranya Hetty Kus Endang, yang menyanyikan Gugur Bunga dengan suara yang kurang los. Sekarang Granada Record telah mengeluarkan sebuah kaset 'Nostalgia' namanya, berisi 16 lagu Ismail. Semuanya dibawakan secara instrumental oleh kwartet Sudharnoto (piano), Irawan (bas), Andi. R. (dram), plus Adi Karso (perkusi) yang bertindak juga sebagai penasehat. Agak berbeda dengan yang sudah sempat kita nikmati dari tangan Soewanto di TVRI, lagu-lagu ini dilemparkan dalam berbagai irama -- wals, bosanova, slow fox, slow rock, foxtrot chacha, paso pouble, mars. Ismail Marzuki, yang namanya diabadikan untuk Pusat Kesenian Jakarta (TIM), adalah anak Betawi. Ia dilahirkan di kampung Kwitang, 11 Mei 1914. Meninggal 44 tahun kemudian, 25 Mei, akibat sakit paru-paru yang dideritanya sejak 1945. Karyanya terakhir berjudul Inilah Bahagia -- dikerjakan 1957. Sejak lagunya yang pertama O, Sarinah (1931), ia telah menuliskan sekitar 202 komposisi yang beraneka ragam: seriosa, populer, keroncong, stambul, mambo, rumba, tango, mars dan sebagainya. Anak seorang pengusaha bengkel ini adalah anggota 'Lief Java', sebuah orkes yang tersohor pada zamannya baik di Jakarta, Jawa, sampai ke Malaya. Pada 1941 ia memasuki dunia siaran radio. Empat tahun kemudian menikah dengan Eulis Zuraidah, biduanita dan pimpinan orkes keroncong 'Hea An' di Bandung. Dari dia inilah Ismail menggali inspirasi untuk lagunya yang berjudul Panon Hideung. Pada 1964, Almarhum mendapat anugerah Piagam Wijayakusuma dari Pemerintah RI untuk karyanya lagu Rayuan Pulau Kelapa (1944). Kendati Ismail sering romantis dan sentimentil, lagu-lagunya memang merupakan catatan revolusi yang mengharukan. Mengingatkan kita kepada para pahlawan di masa lalu -- bukan sebagai hero-hero yang super, tetapi manusia biasa yang mengangkat senjata karena menjawab keadaan -- dan bukan untuk jadi pahlawan. "Memang lagu-lagu Ismail pesimis, melankolis, tapi tidak cengeng. Lagu-lagu perjuangann, sangat manusiawi," kata Soewanto. Terasa Tak Direkam Kekuatan Ismail tidak hanya pada melodi. Tetapi juga syair. Lihat misalnya Juwita Malam. Lagu yang pernah dinyanyikan dengan bagus oleh Almarhum Sam Saimun ini, dibangun dengan lirik yang antik -- tetapi bersama melodi ada kerjasama yang bagus, sehingga sekarang pun kita tidak terganggu menikmatinya. Engkau gemilang alam cemerlang Bagaikan bintang timur sedang mengambang Tak jemu-jemu mata memandang Aku namakan dikau juwita malam Sinar matamu menari-nari Masuk menembus ke dalam sanubari Aku terpikat masuk perangkap Apa daya asmara sudah melekat Juwita malam siapakah gerangan tuan Juwita malam dari bulankah tuan Kereta kita hampirlah tiba Di Jatinegara kita kan berpisah Berilah nama alamat serta Esok lusa boleh kita jumpa pula Kekuatan tersebut juga kita rasakan pada lagu seperti Sepasang Mata Bola, Aryati, Selendang Sutra serta lagu-lagu lain yang termuat di dalam kaset 'Nostalgia'. Tanpa hadirnya lirik, plus keindahan vokal yang diperhitungkan, Ismail terasa tidak direkam secara utuh. Sudharnoto telah memberikan permainan yang lincah dalam sebuah tim yang cukup kompak, tetapi warna kaset menjadi gampang. Ia tidak memberikan suasana aslinya -- sudah diarahkan kepada musik penyedap telinga, sebagaimana biasa kita dengar di lobi hotel atau di ruang tunggu lapangan udara. "Sekarang setelah Ismail Marzuki, lalu Cornel Simandjuntak, tak ada pencipta lagu sebobot mereka," kata Soewanto Soewandi. Pujian itu mungkin bisa saja dibantah, tapi jelas Almarhum berharga sekali sebagai tonggak dalam sejarah musik kita. Sebuah nostalgia dengan 16 lagu yang dirangkaikan menjadi begitu sederhana, mungkin berharga sebagai usaha yang cukup berani di tengah amukan dangdut sekarang. Tetapi sebagai catatan untuk seorang Ismail Marzuki, pencipta Rayuan Pulau Kelapa dan Gugur Bunga, kaset ini bikin geregetan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus