Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Primadona dalam Konferensi Kanker Paru se-Asia-Pasifik di Kuala Lumpur bulan lalu adalah terapi target. Di antara belasan materi yang mereka diskusikan, pembahasan tentang hal ini selalu muncul dalam tiga hari konferensi, mulai Kamis, 6 November. "Ini adalah terapi yang menjanjikan, baik dari sisi kemanjuran maupun efek samping bagi pasien," ujar Profesor Keith Kerr dari Boehringer Ingelheim di Hotel Sheraton Kuala Lumpur, 7 November lalu.
Terapi target, sesuai dengan namanya, adalah pengobatan kanker yang hanya membidik atau mencari sel yang sakit. Seperti Arjuna yang bisa memanah Bisma dengan tepat di antara ratusan ribu anggota pasukan Kurawa. Ini berbeda dengan penghancuran sel kanker dengan kemoterapi. Kemoterapi seperti pasukan Amerika Serikat yang menjatuhkan bom atom di Jepang, tanpa pandang bulu menghajar semua sel, baik yang terkena kanker maupun yang sehat. Efek samping yang paling kentara dari terapi kimia ini adalah gangguan nafsu makan, rambut rontok, penekanan sistem imun, hingga kerusakan ginjal.
Kisahnya dimulai pada pertengahan 1990-an. Mengutip catatan A History of Cancer Chemotherapy dari Yale Cancer Center, Amerika Serikat, terapi target dimulai dari temuan obat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker darah atau leukemia. Obat tersebut memanfaatkan mutasi khas yang terjadi pada gen penderita leukemia. Mutasi yang unik ini merupakan penanda alami atau biomarker untuk menjadi petunjuk sel mana yang harus dihancurkan obat. Ini sama seperti musuh yang memakai rompi jingga di tengah kerumunan orang berjas hitam. "Yang terpenting pasien harus memiliki mutasi sebagai biomarker," ujar Kerr.
Obat terapi target bekerja dengan memanfaatkan mutasi tersebut. Mereka masuk ke tubuh dan mencari sel dengan gen yang bermutasi tersebut, lalu "melumpuhkan"-nya. Ada lima cara melumpuhkan sel yang sudah terdeteksi. Pertama, memblokade sinyal yang terlibat dalam pertumbuhan sel kanker. Cara kedua adalah dengan memagari lahirnya pembuluh darah baru di sekitar sel kanker. Lalu dengan merusak siklus pembelahan sel kanker. Teknik keempat dengan membuat sistem imun mengenali sel kanker. Terakhir adalah dengan mengganti atau merusak gen yang dijangkiti kanker.
Jenis penghambatan dengan mengganggu sinyal adalah yang terbanyak dipakai dan dikembangkan saat ini untuk mencegah berbagai jenis kanker. "Terapi target berupaya merusak sinyal antarsel sehingga sel kanker tidak mendapatkan makanan," ujar Profesor Abdul Muthalib, guru besar ilmu penyakit dalam Universitas Indonesia, akhir Oktober lalu.
Meski menjanjikan, Kerr menjelaskan, tidak semua orang bisa menjalani terapi target. Bagi mereka yang divonis dengan kanker stadium I dan II, profesor dari Universitas Aberdeen, Skotlandia, ini menyarankan untuk menjalani operasi dan radioterapi. Kedua cara lama ini lebih efektif ketimbang meminum obat terapi target. Terapi ini hanya cocok untuk penderita kanker tingkat lanjut atau di atas stadium III. Atau mereka yang sudah menjajal pengobatan standar tapi sel kankernya kambuh lagi. Memang terapi target ini dibuat sebagai pemberi harapan di ujung jalan, ketika harapan mulai menipis karena semua jalan terapi buntu. Karena itu, uji klinis diprioritaskan untuk tipe yang sudah masuk kategori kronis.
Ada dua obat terapi target yang dikeluarkan dua perusahaan yang diluncurkan baru-baru ini. Pada 29 Oktober lalu, Regorafenib dari Bayer diluncurkan untuk Indonesia. Regorafenib adalah obat terapi target untuk kanker kolorektal, yaitu kanker yang tumbuh di area usus besar dan rektum atau bagian dari saluran pembuangan akhir di atas dubur. Berselang sepekan, perusahaan obat lain dari Jerman, Boehringer Ingelheim, meluncurkan Afatinib sebagai terapi target untuk kanker paru. Afatinib baru bisa diakses pasien dari sejumlah negara di Asia, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Dua obat minum ini merupakan bagian dari puluhan terapi target yang sudah teruji klinis. Badan Pengawas Obat Amerika Serikat (FDA) telah membuat daftar nama obat yang sudah lolos tersebut. Jenisnya pun bisa dilihat di situs resmi FDA dan cancer.gov. Regorafenib mendapat persetujuan pada 2012. Setahun kemudian giliran Afatinib. Dengan keluarnya pengesahan itu, produk mereka secara resmi mulai mengglobal. Tinggal menunggu persetujuan di negara yang akan menjadi sasaran distribusi.
Data yang dipaparkan dari situs kedokteran Medscape menunjukkan bahwa Afatinib lebih lama menghambat pertumbuhan sel kanker (progression free survival) ketimbang obat terapi target sebelumnya, Gefitinib. Pasien dengan konsumsi Afatinib teratur menunjukkan sel kankernya stagnan 11 bulan. Adapun Gefitinib, yang dipasarkan perusahaan obat AstraZeneca dan Teva, rata-rata bisa memperpanjang hingga 9,8 bulan. Obat yang bisa mengungguli Afatinib adalah Erlonitib, yang dipasarkan oleh Genetech, dengan rata-rata 11,2 bulan.
Untuk mengetahui sel kanker, Afatinib membutuhkan mutasi EFGR (epidermal growth factor receptor). Ini adalah enzim yang berperan dalam pembelahan sel, untuk menandai sel-sel kanker yang akan diringkus. Pada pasien kanker paru, polah si EFGR berlebihan sehingga terjadi mutasi. EFGR sebenarnya tidak sendiri bermutasi pada sel kanker paru. Tapi ia menjadi mutasi yang khas, ciri berkembang biaknya sel yang jahat itu.
Untungnya, kata Profesor Keunchil Park, mutasi ini sangat mudah ditemukan pada pasien kanker paru di Asia. Kurang-lebih 40 persen pasien di kawasan ini memiliki tipe mutasi EFGR. "Sehingga kesempatan besar untuk bisa menjalani terapi target," ujar pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sunkyunkwan, Korea Selatan, ini. Dalam terapi target, karena memanfaatkan mutasi genetik, pengaruh ras sangat berperan.
Berbeda dengan penderita dari ras Kaukasus. Hanya maksimum 15 persen dari mereka yang memiliki biomarker mutasi ini. Pada pasien yang tidak memiliki biomarker ini, terapi target tidak bisa dipakai. Ini sama saja dengan menyewa penembak titis tapi kita tidak memberi tahu ciri-ciri sasaran. Obat akan kehilangan arah di jalan karena penunjuk jalannya tidak keluar.
Regorafenib juga menggunakan model serupa. Hanya, mutasi yang dipilihnya adalah mutasi KRAS, protein yang berguna dalam pengiriman sinyal dalam jaringan tubuh. Untuk KRAS, angka kejadiannya merata tanpa pembedaan ras. Hampir sekitar 50 persen pasien kanker kolorektal memiliki abnormalitas KRAS yang biasanya berujung jadi mutasi.
Dengan diketahuinya mutasi KRAS, Regorafenib bisa langsung diberikan secara oral. "Saat ini Regorafenib hanya digunakan sebagai terapi tunggal," tulis Kepala Medical and Regulatory Bayer Indonesia dr Dewi Muliatin Santoso. Penggunaan yang bebarengan dengan terapi kanker lain, seperti kemoterapi dan radioterapi, tidak dianjurkan lantaran belum ada uji klinisnya. Tapi, bagi pasien kanker kolorektal yang sudah tidak bisa dioperasi dan kankernya menyebar ke organ lain, Regorafenib bisa diberikan. "Apa pun status mutasi KRAS-nya," kata Dewi.
Tak ada obat yang sempurna. Afatinib dan Regorafenib membeberkan efek samping dari terapi mereka. "Diare dan jerawat menjadi laporan yang paling sering akibat efek samping Afatinib," ujar Profesor Yi Long Wu dari Institut Kanker Paru Guangdong, Cina. Adapun Reforafenib bisa memicu peradangan di kaki dan tangan atau hand-foot skin reaction, tekanan darah tinggi, kelelahan, dan diare. Tapi tidak ada indikasi kerusakan organ lain, seperti yang terjadi ketika kemoterapi.
Hal lain, obat-obat ini masih sangat mahal. Di Amerika Serikat, 30 tablet Afatinib untuk 30 hari dibanderol US$ 6.135 (sekitar Rp 74,8 juta) dan 84 tablet Regorafenib seharga Rp 136,8 juta. Terapi target tak cukup hanya satu bulan. Melihat dari uji klinis, rata-rata membutuhkan waktu di atas 9 bulan. "Memang ini jauh lebih mahal ketimbang kemoterapi, bisa ratusan kali lipat," kata Kerr. Total biaya kemoterapi di Indonesia dari Rp 6 juta hingga Rp 90 juta.
Dianing Sari
Terapi Target
1. Ketika kanker menyerang tubuh, sejumlah gen bermutasi. Mutasi pada gen itu membuat sel menjadi unik. Itulah yang menjadi penanda (biomarker).
2. Obat jadi tahu sasaran yang dituju.
3. Sel dengan biomarker atau penanda alami itulah yang kemudian digempur oleh obat.
Cara Melumpuhkan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo