Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Ramai-ramai ke Luar Angkasa

Untuk pertama kalinya manusia mendaratkan wahana di atas komet. Peserta kompetisi ke luar angkasa bertambah.

1 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namanya Philae, dan ia telah "berjalan" jauh: 6,4 miliar kilometer. Philae, robot penjelajah yang diluncurkan ke ruang angkasa sepuluh tahun silam, telah menorehkan langkah bersejarah. Rabu, 12 November lalu, pukul 23.05 WIB, ia berhasil mendarat di atas permukaan komet Churyumov-Gerasimenko.

Tiga kali ia terpental ketika mencoba mendarat—sampai akhirnya pukul 23. 05 ia berhasil berlabuh di permukaan yang bergravitasi rendah dan tengah meluncur deras itu. "Aku tak percaya ini terjadi. Rasanya luar biasa. Kami sudah menunggu peristiwa ini sejak dulu," kata Profesor Monica Grady, ilmuwan yang ikut merancang dan mewujudkan gagasan pendaratan di atas permukaan bintang berekor ini, di Ruang Pusat Kendali Misi Luar Angkasa Rosetta di Darmstadt, Jerman.

Hingga pekan lalu, Philae masih tergolek sendirian di pinggir sebuah kawah tak dikenal. Sedangkan satelit bernama Rosetta, wahana induk yang selama ini telah membawanya terbang jauh, bergerak pada orbitnya.

Komet yang disinggahi Philae berjarak 510 juta kilometer dari bumi. Dengan jarak sejauh itu, sinyal radio dari bumi yang bergerak dengan kecepatan cahaya pun perlu hampir 30 menit untuk mencapai Rosetta dan Philae.

Sebelum terpaku di lokasi pendaratannya, Philae sempat mengirim informasi perdananya: ada molekul organik di komet itu. Para ahli menyebutkan Philae saat ini tengah "tidur panjang" dan diyakini akan "hidup kembali" jika baterainya mendapat suntikan sinar matahari. Sukses Philae membuka babak baru penjelajahan antariksa. Proyek senilai 1 miliar pound sterling memburu komet itu dikembangkan ilmuwan ESA bersama Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA).

Kompetisi petualangan ke luar angkasa yang bermula pada pertengahan 1950-an seperti berulang kembali. Amerika Serikat dan Uni Soviet, dua negara terkuat setelah Perang Dunia II usai, mengerahkan sumber dayanya untuk riset antariksa.

Uni Soviet meraih poin pertama setelah meluncurkan misil balistik antarbenua R-7 ke luar angkasa, 4 Oktober 1957. Roket itu membawa Sputnik-1, satelit bulat buatan berdiameter 58 sentimeter. Sputnik-1 adalah satelit yang mengorbit bumi. Gelombang radio yang dipancarkan Sputnik-1 saat itu dapat dideteksi oleh stasiun radio di bumi. Total jarak yang ditempuh Sputnik-1 selama tiga bulan di orbit mencapai 70 juta kilometer.

Tersengat prestasi Sputnik-1, pada1958 Amerika meluncurkan satelit Explorer I dan membentuk NASA. Namun Amerika kembali tertinggal ketika Uni Soviet mengirim wahana nirawak Luna 2 ke bulan pada 1959. Pada April 1961, Uni Soviet kembali menepuk dada karena sukses mengirim manusia ke luar angkasa. Menumpang kapsul luar angkasa Vostok 1, Yuri Gagarin menjadi manusia pertama yang mengorbit bumi.

Tak mau kalah, Amerika memulai program pengiriman manusia ke bulan dengan Proyek Apollo pada 1962. Setelah perjuangan penuh pengorbanan, pada 1969 pesawat Apollo 11 yang membawa astronaut Neil Armstrong, Edwin Aldrin, dan Michael Collins mendarat di bulan. Armstrong adalah manusia pertama yang menginjakkan kakinya di bulan. "Satu langkah kecil manusia, satu lompatan jauh untuk umat manusia," demikian penggalan ucapan Armstrong dari bulan, yang langsung populer di bumi.

Perlombaan di ruang angkasa terus berlanjut sampai Amerika dan Uni Soviet bekerja sama membangun misi ke luar angkasa Apollo-Soyuz pada 1975. Saat itu, tiga astronaut Amerika berangkat menumpang Apollo yang didorong ke orbit oleh roket Uni Soviet, Soyuz. Misi ini dinilai sebagai pembuka hubungan baru kedua negara adidaya itu dalam menjelajah antariksa. Sejak itu, astronaut Amerika dan Rusia terbiasa bekerja berdampingan di Stasiun Antariksa Internasional (ISS), yang dibangun pada 1998.

Kini planet Mars menjadi sasaran berikutnya. Sejauh ini, baru Amerika Serikat, ESA, dan Uni Soviet yang sukses mengirim wahana ke planet merah itu. India bergabung dalam grup elite penjelajah Mars setelah satelit mereka mengorbit Mars, September lalu.

India memakai roket Mangal­yaan, yang diluncurkan akhir tahun lalu dari Pusat Antariksa Satish Dhawan, Sriharikota. Roket itu membawa Mars Orbiter Mission India untuk mempelajari permukaan dan komposisi mineral planet. Menempuh jarak lebih dari 660 juta kilometer, wahana seberat 1,3 ton itu mengangkut rangkaian lima instrumen penelitian seberat 15 kilogram. Mereka juga mencari jejak metana, senyawa kimia yang berhubungan dengan bentuk kehidupan.

India memperbarui program luar angkasa yang mereka mulai 50 tahun lalu. Misi ini juga mengangkat pamor pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi, yang bekerja sejak Mei 2014. Modi mengatakan India bakal meningkatkan infrastruktur dan teknologi misi ke luar angkasa. "Risiko yang kita tanggung sangat menumpuk. Dari 51 misi percobaan di seluruh dunia, cuma 21 yang sukses. Namun kita berhasil," tulis Modi dalam akun Twitter, 24 September 2014.

Keberhasilan misi pertama India ke Mars adalah kejutan besar. Sebab, misi mereka tergolong sederhana jika dibandingkan dengan wahana MAVEN (Mars Atmosphere and Volatile Evolution) milik NASA. Nilai misi Mangalyaan sebesar US$ 74 juta, sedangkan proyek MAVEN mencapai US$ 672 juta. Mengangkut delapan instrumen riset, orbiter seberat 2,4 ton itu masuk ke orbit Mars pada 22 September 2014. Menurut laporan NASA, wahana itu dijadwalkan beroperasi selama setahun.

India mengembangkan teknologi roket sendiri setelah dijatuhi sanksi oleh negara-negara Barat akibat uji coba senjata nuklir pada 1974. Meski sebagian besar penduduknya miskin, India mampu menghasilkan jutaan programmer perangkat lunak, insinyur, dan ilmuwan yang menyokong perkembangan Lembaga Riset Antariksa India (ISRO). Salah satu hasilnya, pada 2009, satelit Chandrayaan menemukan bukti keberadaan air di bulan.

ISRO punya segudang pengalaman dengan misi luar angkasa dari negara lain. Lembaga itu sudah meluncurkan 35 satelit milik Prancis, Jerman, Kanada, Israel, dan Singapura. India adalah pesaing Cina dalam urusan bisnis peluncuran ke luar angkasa. India menawarkan harga lebih murah, meski Cina memiliki kemampuan mengirim satelit yang lebih berat dengan roket-roket peluncur raksasa mereka. Keberhasilan misi Mangalyaan dipercaya bisa mendongkrak bisnis industri luar angkasa India, yang nilainya diperkirakan lebih dari US$ 300 miliar.

Cina tak mau kalah. Awal November lalu, mereka berhasil mendaratkan orbiter Xiaofei atau Penerbang Cilik di bumi. Wahana itu diluncurkan delapan hari sebelumnya dan menempuh lebih dari 830 ribu kilometer mengorbit bulan. Kantor berita pemerintah Cina, Xinhua, menyebutkan misi itu sebagai langkah awal Cina mendaratkan warganya di bulan. "Itu adalah misi bolak-balik ke bulan yang pertama dilakukan dalam 40 tahun terakhir," tulis Xinhua.

Cina diperkirakan meningkatkan kemampuannya karena dibayangi India. Mereka berebut mendapatkan posisi teratas penguasa teknologi luar angkasa di Asia. Cina berencana mengirim lagi wahana nirawak ke bulan pada 2017. Wahana itu mengumpulkan sampel bulan, lalu kembali ke bumi.

Adapun Indonesia masih mengembangkan roket pengorbit satelit. Roket itu bisa membawa satelit nano ke orbit dengan ketinggian 300 kilometer. Tapi Indonesia tak punya pusat peluncuran roket yang cocok. Laporan peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Euis Susilawati, menyebutkan pusat peluncuran di Pameungpeuk, Jawa Barat, tidak layak lagi meluncurkan roket besar pembawa satelit. Laporan yang dipublikasikan pada 2013 itu menyebutkan bahwa Pulau Morotai, Halmahera Utara, adalah lokasi cocok untuk pembangunan pusat peluncuran. "Peluncuran dari lokasi ini akan secara bebas diarahkan ke arah timur menuju Samudra Pasifik tanpa melewati negara tetangga," tulis Euis.

Ahli roket Lapan, Rika Andiarti, mengatakan Pulau Biak di Papua juga bisa menjadi alternatif lokasi pembangunan bandar antariksa. "Sejauh ini kita punya Morotai dan Biak. Keduanya sedang dikaji, mana yang lebih memungkinkan," ujarnya. Untuk program satelit, kata Rika, ilmuwan Indonesia telah menguasai teknologi satelit mikro eksperimental. "Nantinya dikembangkan pada satelit pengindraan jauh operasional untuk pemantauan kehutanan, pertanian, bencana alam, dan maritim," ucapnya.

Perusahaan swasta global pun ikut bersaing di bisnis antariksa. NASA telah menandatangani kontrak dengan Planetary Ventures untuk Google sebesar US$ 1,2 miliar. Google berhak meminjam Moffett Federal Airfield, California, selama 60 tahun untuk riset dan pengembangan teknologi luar angkasa.

Miliarder Elon Musk, pemilik perusahaan SpaceX dan Tesla Motor, tengah merencanakan pembangunan satelit mikro. SpaceX dikabarkan berkolaborasi dengan mantan pegawai Google, Greg Wyler, meluncurkan 700 satelit yang lebih kecil daripada versi komersial saat ini. Mereka nanti dipakai untuk menghubungkan koneksi Internet dari luar angkasa.

Gabriel Wahyu Titiyoga


Kehidupan Lain di Antariksa

Populasi di bumi saat ini lebih dari tujuh miliar jiwa. Sumber daya alam berkurang dan kerusakan lingkungan bertambah. Skenario terburuknya: bumi bakal tak layak ditinggali lagi. Ilmuwan terus melacak planet baru dengan kondisi yang dinilai bisa menyokong hidup manusia.

  • Teleskop Kepler, yang mengorbit matahari (65 juta kilometer dari bumi), adalah andalan ilmuwan melacak planet alien. Target utama Kepler adalah planet yang diperkirakan memiliki air, syarat utama tempat layak huni. Dengan teleskop itu, ilmuwan menemukan planet Kepler-186f. Dengan ukuran 10 persen lebih besar daripada bumi, Kepler-186f adalah planet ekstrasolar—planet di luar tata surya—pertama yang paling mirip bumi dan menempati zona layak huni. Para astronom menjulukinya sepupu bumi.
  • Bumi adalah satu-satunya planet layak huni. Mars diduga pernah menyokong kehidupan seperti bumi saat ini. Hasil penelitian batuan, mineral, dan atmosfer planet merah itu mengindikasikan pernah ada air di sana. Foto-foto yang dikirim satelit menunjukkan permukaan planet itu dihiasi kanal-kanal yang diduga dulu dialiri air. Saat ini ada sedikit air beku di kutub utara Mars. Sebagian lagi melayang di atmosfer dalam bentuk uap atau terjebak di bawah lapisan karbon dioksida di kutub selatan Mars. Di luar tata surya, setidaknya ada 15 planet "berair" yang masuk daftar kandidat layak huni, antara lain Kepler-22b, Kepler-186f, dan Kapteyn b.
  • Molekul organik Philae menemukan bukti adanya molekul organik di komet Churyumov-Gerasimenko. Komet adalah obyek tua di antariksa dengan kandungan es dan debu. Usia komet diperkirakan setara atau lebih tua daripada galaksi Bima Sakti, yang berumur 4,6 miliar tahun. Instrumen di dalam Philae "mengendus" keberadaan molekul itu di atmosfer komet. Senyawa organik adalah molekul yang mengandung atom karbon, materi dasar yang membentuk kehidupan di bumi.
  • Awak Stasiun Antariksa Internasional (ISS) mencoba menanam tumbuhan Arabidopsis thaliana. Ternyata Arabidopsis—tanaman model untuk bioteknologi tanaman yang genomnya sudah disekuensing pada 2000—bisa tumbuh di lingkungan minim gravitasi.
  • Simon Gilroy dan koleganya dari Departemen Botani Universitas Wisconsin-Madison meneliti genetika protein yang membantu tanaman tumbuh pada gravitasi nol. Tanpa gravitasi, fisik tanaman melemah. "Ini mirip seperti manusia yang kehilangan massa tulang, padahal itu sangat dibutuhkan untuk menyokong bobot tubuh," kata Gilroy.

    Gabriel Wahyu Titiyoga


    Perjalanan Philae

    Setelah asatu dekade menjelajahi luar angkasa, akhirnya Rosetta berhasil mendaratkan Philae pada permukaan komet Churyumov-Gerasimenko.

    Maret 2004
    Rosetta diluncurkan.

    Juni 2011
    Untuk menghemat energi, Rosetta berhibernasi.

    Januari 2014
    Rosetta kembali diaktifkan.

    Agustus 2014
    Rosetta mencari tempat yang cocok untuk mendaratkan lander.

    November 2014
    Pendaratan Philae. Orbit komet Churyumov-Gerasimenko

    Desember 2015
    Misi berakhir.


    Philae Lander
    Harus mendarat pada komet berkecepatan 20 kilometer per detik.

    Kaki
    Dapat menyerap energi kinetis untuk mengurangi risiko terpental.

    Sistem sampling
    Bisa mengebor sedalam 20 sentimeter.

    Jangkar
    Untuk memantapkan posisi. Sensornya dapat mengukur kepadatan dan elemen permukaan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus