Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Para eksekutif, kolesterol & jantung

Pola makan dan pola hidup menyebabkan eksekutif di sini rentan terhadap penyakit jantung. di banyak negara lain juga demikian. dalam 10-20 tahun dunia akan dilanda penyakit jantung koroner.

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BILA harus memilih antara diet kolesterol dan penyakit jantung, tentu Anda memilih yang pertama. Namun, bagi kalangan eksekutif di Jakarta, agaknya diet kolesterol merupakan pekerjaan yang hampir-hampir mustahil. Hal ini tercermin pada hasil penelitian yang dilakukan Dokter Harmani Kalim dari Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, baru-baru ini. Dari penelitian itu diketahui bahwa pada 100 manajer berusia 35-60 tahun yang bekerja di perusahaan multinasional, ternyata 19% menderita penyakit jantung koroner. Dan hanya 7% yang layak dikategorikan mempunyai kapasitas kebugaran yang baik. Kelompok terbesar (40%) punya kapasitas fisik yang kurang baik. Sementara itu, yang 30% lagi kadar kolesterolnya tinggi. Tingkat kebugaran para manajer yang rendah itu cocok dengan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Departemen Kesehatan tahun lalu. Penelitian terhadap 470 karyawan di sepanjang Jalan SudirmanThamrin, Jakarta, menunjukkan bahwa 60% dari mereka ternyata doyan makanan berlemak dan rendah serat. Hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap tenaga medis di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, memperlihatkan, 30% dari mereka berkolesterol tinggi. Tapi mengapa bisa begitu? Ternyata, kebugaran fisik adalah hal yang langka di kalangan manajer di Jakarta. Mungkin ini karena tidak cukup waktu bagi mereka untuk berlatih kebugaran -- rata-rata mereka berangkat dari rumah pukul enam pagi dan pulang pukul delapan malam. Juga, karena mereka tidak mungkin melakukan diet kolesterol. Namun, gejala serupa juga mencuat di negara lain. Pada simposium tentang epidemiologi dan risiko lemak di Hong Kong pekan lalu, Profesor Goto mengemukakan bahwa masyarakat Jepang juga mulai bergeser seleranya. Sementara dulu mereka gemar makan ikan laut yang kaya bahan penghancur kolesterol Omega 3, kini justru banyak yang melahap makanan berlemak ala Barat. Akibatnya, pada 2,5% anak-anak Jepang berusia 1-9 tahun, pembuluh arterinya sudah terkena plaque (kerak yang menempel pada pembuluh darah). Padahal, plaque inilah awal dari serangan jantung. Yang memprihatinkan, menurut Goto, intake lemak juga naik. Pada tahun 1955 masih 8,9%, sedangkan tahun 1991 menjadi 25%. Malah, pada anak-anak muda sudah mencapai 34%, persis seperti di Amerika dan Eropa Barat. Di Indonesia, intake lemak relatif aman, rata-rata 10-15%. Namun, untuk kalangan tertentu, di daerah Menteng, Jakarta, misalnya, sudah mencapai 25%, Sedangkan Standar Internasional kurang dari 15%. Pola makan inilah, agaknya, yang membuat penyakit jantung koroner merupakan musuh utama di dunia. Ada 12 juta penduduk dunia tiap tahun meninggal akibat penyakit kardiovaskuler, sedangkan di Indonesia ada sekitar 16% yang meninggal akibat penyakit jantung. Di Singapura, kematian akibat penyakit jantung paling tinggi ada pada ras India, lalu Melayu dan Cina. Namun, berdasarkan penelitian lain, orang keturunan Cina yang tinggal di Hong Kong, Beijing, dan Singapura menunjukkan profil kolesterol yang berbeda. Jadi, kendati mereka berasal dari ras yang sama, lingkungan hidup yang berbeda telah mempengaruhi pola makan dan, tentu saja, profil kolesterol mereka. Beberapa ahli jantung yang hadir dalam simposium di Hong Kong telah pula menampilkan adanya beberapa faktor risiko yang relatif baru, seperti kadar fibrinogen (serat dalam darah) dan lipoprotein (bahan pengangkut lemak). Sementara itu, faktor lama merokok, tekanan darah tinggi, dan kolesterol tetap sangat menentukan. Di pihak lain, dewasa ini sangat banyak kemajuan dalam pengobatan kolesterol, misalnya obat Inhibitor HMG Co A Reduktase. Generasi obat ini ampuh untuk mengerem laju lipoprotein dan menipiskan plaque. Ada beberapa jenis: lovastatin, pravastatin, dan simvastatin (lihat Menggasak Kolesterol). Obat-obat tersebut, dikabarkan, mampu mengempiskan kerak yang lunak, yang sebagian besar berisi timbunan kolesterol. Kerak lunak inilah sumber penyebab 80% penyakit jantung koroner. Jika kerak itu pecah, terjadi penggumpalan darah hingga serangan jantung tak terhindarkan lagi. Kendati ada kemajuan dalam pengobatan, bila tidak diimbangi dengan olahraga dan diet kolesterol, obat itu bisa tak berguna. Jika kondisi ini tak cepat dicegah, menurut Prof. Goto, sekitar 10-20 tahun ke depan akan terjadi epidemi penyakit jantung di dunia. "Saya rasa, Indonesia, bila masyarakat tak cepat disadarkan, juga akan terkena serangan ini," kata Harmani Kalim.Gatot Triyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum