KRITIK terhadap dokter (TEMPO, 21 Agustus) nampaknya mengenai
langsung para dokter spesialis. Tapi adilkah sepenuhnya kritik
itu? Seorang pasien langsung minta petolongan kepada spesialis
tanpa mampir dulu pada dokter umum, memang bukan satu kesalahan.
Karena seseorang pada dasarnya bebas minta bantuan pertolongan
kepada siapa saja. Tetapi selama penyakit yang diidap si pasien
tidak memerlukan bantuan yang bersifat spesialistis, seharusnya
si spesialis akan mengirimkan pasien tadi kepada dokter umum.
Sayang, ada pasien yang dikirimkan oleh dokter umum ke spesialis
untuk konsul, ternyata tak kembali ke asalnya.
Tapi dalam banyak peristiwa, si spesialis memang mengembalikan
si pasien dengan beberapa nasehat yang dikirimkan kepada dokter
umum tadi. Hanya si pasien saja yang karena alasan tak mau
repot-repot -- dan kebetulan sanggup membayar. Ia terus
tersangkut di dokter spesialis.
Tapi toh pasien yang seenaknya berangkat ke spesialis sebenarnya
akan merugikan dirinya sendiri: dia kemungkinan membayar terlalu
mahal buat penyakitnya -- juga, dia mengganggu peraturan yang
ada di kalangan para dokter.
Berikut ini wawancara TEMPO dengan beberapa dokter spesialis,
membicarakan hubungan mereka dengan dokter umum dan pasien.
UTOYO SUKATON ahli diabetes:)
"SAYA BUDAK PASIEN"
Sebenarnya kami kaum spesialis ini hanya menerima pasien yang
dikirimkan oleh dokter umum. Tetapi ada beberapa faktor yang
membuat keadaan ini menjadi berobah. Masyarakat, terutama di
kota-kota besar, sekarang ini begitu bebasnya bisa langsung
minta pertolongan kepada spesialis. Mungkin ini disebabkan oleh
bertambah meningkatnya kesadaran berobat mereka atau memang
jumlah dokter umum yang terlalu sedikit.
Saya kira untuk memperbaiki flow of patient (arus pasien) ini,
di saming pemerintah, fihak swasta juga sebaiknya mengadakan
asuransi kesehatan. Hingga para pasien bisa diatur kemana
sepantasnya mereka pergi. Dalam keadaan seperti sekarang ini
saya sebagai spesialis tidak lebih daripada budak para pasien
saja, karena terpaksa menerima pasien yang oleh dokter umum saja
sudah dapat ditolong.
Memang ada beberapa spesialis yang menahan pasien yang
dikirimkan dokter umum. Kekotoran begini bisa terjadi dimana
saja. Itu sifat orang. Cuma repotnya bagi dokter spesialis yang
meminta pasien pergi dulu kepada dokter umum, mereka bisa
dianggap sok oleh pasien.
NURHAY ABDURAHMAN (ahli jantung):
"KESADARAN MASYARAKAT BELUM TINGGI"
Sebenarnya di Indonesia ini belum ada yang mengatur arus pasien,
hingga orang semaunya memilih dokter. Dalam anggapan saya
keadaan ini hanya bisa diperbaiki kecuali ada asuransi yang
terpercaya. Untuk taraf sekarang para spesialis diharapkan
bantuan mereka terhadap pasien dalam hal menyadarkan mereka
bahwa penyakit mereka memang tidak segawat yang mereka anggap,
sehingga mereka perlu minta tolong kepada spesialis (sejauh
penyakitnya memang tidak memerlukan bantuan spesialis).
Arus pasien yang kacau ini antara lain disebabkan oleh kesadaran
masyarakat yang belum tinggi mengenai apa peranan dokter umum
dan spesialis. Di samping memang ada pasien yang merasa
terhormat kalau dia bisa berobat kepada spesialis yang terkenal.
Beberapa dokter memang melakukan perbuatan yang tidak baik
seperti menahan pasien, tetapi itu bukanlah gambaran seluruh
dokter.
HENDARTO HENDARMIN (ahli THT) :
"ADA DOKTER UMUM YANG . . ."
Ada dokter umum yang tidak mau melepaskan pasiennya meskipun
sudah berada di luar kapasitasnya, sebab mereka akan kehilangan
pasien kalau segera dikirimkan ke spesialis. Saya pikir adanya
post graduate course seperti yang diselenggarakan oleh FKUI ada
baiknya, sebab dengan begini dokter umum dapat mengetahui
tentang apa-apa yang penting diketahuinya dalam kasus-kasus yang
bersifat spesialistis.
Dalam soal spesialis menahan pasien yang dikirimkan dokter umum,
saya kira ini sudah melanggar kode etik. Sebab seorang dokter
haruslah membalas surat cari koleganya. Tapi soalnya
kadang-kadang si pasien yang tak mau kembali. Jadi perbaikan
hubungan dokter umum-spesialis ini bukan hanya tergantung pada
pribadi dokter-dokter tapi juga pada sikap masyarakat.
D. TJINDARBUMI (ahli bedah kanker) "KALAU SEMUA ORANG BERKORBAN,
BAIKLAH"
Memang banyak spesialis yang berpraktek umum, dan malahan banyak
yang menahan-nahan pasien. Asuransi kesehatan yang ada tak bisa
diharapkan untuk mengatasi kericuhan ini. Keadaan ini hanya bisa
diatasi oleh dokter sendiri-sendiri. Karena mereka toh ada yang
memimpin, yaitu kode etik.
Terhadap mereka yang menuntut banyak dari dokter, saya ingin
mengatakan supaya janganlah mengharapkan yang muluk-muluk dari
seorang dokter, sebab mereka adalah produk dari masyarakat yang
begini ... Sikap bahwa seorang dokter itu adalah super human
beeing (manusia luar biasa) adalah salah. Saya kadang-kadang
bingung, kalau misalnya dokter sakit, maka masyarakat akan
berkata: "Dokter koq bisa sakit?" Dan mengapa sekarang orang
mengharapkan pengorbanan dari dokter saja? Kalau semua orang mau
berkorban, seperti tahun empatpuluhan, baiklah.
FRITS KAKIAILATU (ahli bedah urology):
"TERJUN SEPERTI GLADIATOR"
Kecuali dokter-dokter perusahaan, masyarakat memang memandang
rendah untuk pergi ke dokter umum. Kode etik dalam hubungan
antara dokter umum dengan spesialis memang banyak ditinggalkan.
Bertambah mahalnya pelayanan Kesehatan di Jakarta ini antara
lain karena bertambah menjurusnya bentuk pelayanan. Di kota
metropolitan ini seorang dokter spesialis yang muda akan hilang
faktor humanitasnya. Karena kita harus terjun ke gelanggang
seperti gladiator untuk mencari uang. Seorang spesialis muda
misalnya tidak bisa memasang tarif yang menurut dia ideal buat
masyarakat, karena terbentur kepada tarif yang sudah ada di
kalangan spesialis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini