KAMI tidak mengerti semua ini. Terduduklah kami di situ, kelu, pada suatu malam di Bandung bulan Agustus kemarin. Irawati Sudiarso, Charlotte Panggabean (keduanya juru piano), Simanungkalit, Remy Sylado, Frans Haryadi, Mohamad Hidayat (guru musik di SMA Bandung), Adhi Tohari (arsitek di Jakarta, juru biola, bekas dirigen paduan suara), dan saya. Tak ada rafal atas keluhan Frans. Kami baru selesai mendengarkan 19 rombongan SMP Jawa Barat menyanyi. Tigapuluh anak tiap rombongan. "Saya merasa paling ngeri bahwa anak-anak kita tidak mampu menyanyikan lagu mars", begitu Frans. Memang, siapa tidak ngeri. Kalau oom Tan Tjeng Bok yang tidak mampu, ya maklumlah. Tapi anak sekolah! "Dan ini bukan di sini saja, tapi di mana-mana juga begitu", sambung Frans. Lagunya ialah Mars Angkatan Muda. Mestinya tegap dan bersemangat. Tapi bunyinya kemarin ini seperti mars angkatan muda "peuyeum bol" saja. Maaf, ini Bandung-isme sedikit. Julukan ngeri ini terkenal semasa Revolusi kita dulu ditujukan kepada angkatan muda Bandung yang belum berani bertempur. Peuyeum-itu makanan lezat yang terbuat dari singkong. Cuma, ini singkong keras yang telah disulap jadi barang lembik sekali. Mengandung alkohol pula. Dulu dia dikepal jadi bola sebesar onde-onde, digoreng, lantas digelindingkan di atas gula bubuk. Kalau diisi selai, tentu tambah kelewat manis lagi. Itulah peuyeum bol yang kesohor. Sayang julukan ini sudah hilang, padahal justru paling cocok buat jaman sekarang. Bung Karno pernah menggantinya dengan "pemuda tempe", yang terus terang saja saya tidak pernah mengerti. Mana tempe itu jauh lebih keras kalau digoreng, tidak bergula, dan menguatkan badan pula. "MUSIK KERAS" Yang terang, anak sekarang itu bisa bersemangat sekali kalau nyanyi "musik keras", sampai telinga jebol dan dinding runtuh. Tapi mars patriotik rupanya memang sudah tidak bisa dihayatinya lagi. Apa karena bukan jamannya lagi atau bagaimana? Maka besok lusanya kampus ITB mempertemukan kami dengan guru-guru dan murid sekolah menengah. Acara duatahunan ini menampung segala unek-unek mengenai pembinaan musik di sekolah menengah. Kalau tentang Mars Angkatan Muda ini, kata seorang pak guru, itu sudah saya latih dengan cara yang seharusnya. Tapi begitu tongkat dirigen diserahkan kepada murid, segalanya jadi loyo. Ya tidak tahu kenapa begini jadinya, tapi ini belum tentu "salah" murid. Ha, adik dari mana? Dari SMP-XII? Ikut paduan suara? Teman-temanmu lebih suka mana? Lagu mars atau lagu patah hati? (dan menyusullah beberapa detik tegang). "Tentu yang patah hati, pak. Cocok dengan selera anak-anak". Bleng!! Meledaklah udara sarasehan di ITB minggu pagi itu tanggal 22 Agustus. Mendengar jawaban begini, kita ini harus patah hati atau bagaimana? Baik. Andaikan adik sekarang jadi panitia lomba paduan suara. Apa adik mau tentukan lagu patah hati sebagai lagu wajib? Tidak pak. Kenapa? Ya tidak cocoklah. Kenapa? Ya sebaiknya lagu untuk menumbuhkan cinta kepada tanah air. Kalau mars? Ya boleh. Tapi kurang suka, ya dik? Ya kurang. Habis anak-anak sekarang sih.. Baik, yang iramanya santai saja, ya? Naa itu, tul pak! Tul tul tul sebetulnya mana yang betul? ! Kami merasa menghadapi jalan buntu di sini. "FALDERIE!" Mars perjuangan memang paling laku di jaman musuh-musuhan. Tapi lagu yang berjiwa baris-berbaris mestinya kan bisa laku di segala cuaca dan buat semua umur. Badan aku amal gaya, tidak 'kan lembik atau lemah. Falderie!! Falderaa!! Waktu saya masih kecil, saya rajin nonton taptoe di pinggir jalan Bawean dan orkes tiup di taman sebelah gereja Protestan di Bandung. Sampai lagu-lagu John Philip Sousa hafal di luar kepala. Tapi mana semua itu sekarang? Padahal dulu itu tanah air kita masih anteng. Orkes simfoni angkatan darat juga belum ada. Menurut selera saya, udara musik kita sekarang sangat miskin mars. Di TV, RRI, siaran kanak-kanak, bahkan juga Hasibuan punya siaran ABRI, sama saja. Ben-ben gondrong dengan segala tanjidor dan selompretnya juga tidak main mars. Kalau anak sekolah berbaris, atau ikut festival popsinger, apa pada nyanyi mars? Komponis kita suka bikin mars apa tidak? Kabarnya di Jakarta sudah ada orkes simfoni remaja atau orkes tiup entah mana yang betul. Tunggu saja nanti tanggal mainnya. Ada marsnya apa tidak. Dan seperti peuyeum bol atau singkong. Itu yang dipimpin Idris Sardi terang tidak ada mars. Yang patah hati itu tentu saja ada di segala musim. Di jaman Revolusi dan Konfrontasi saja juga populer. Tapi baru sekaranglah dia jadi makanan anak. Dan lebih dari itu: segala macam panggung dan piala dan promosi tersedia bagi remaja yang mau memamerkan gaya duka nestapa di hadapan umum. Kalau belum mampu menjerit tentang cinta "kejam" yang menghasilkan "kehancuran", itu belum singer namanya. Lebih baik lagi kalau pakai gerakan ular. Dan lihat saja. Bakal banyak yang meniru linangan air mata sang juara yang di close-up TVRI baru-baru ini. Corak hati berantakan yang beginilah yang dulu tidak ada, biarpun dulu bunyinya "bawa keluhku bersama kau" (O, Angin), "air mataku titik berlinang" Jauh di Mata, "meskipun hatiku remuk redam" (Sesampul Surat), "mengenang susah hati patah" Jembatan Merah), atau "mengapa berdusta seribu kata" Rindu). Bahkan tak aneh kalau semua itu dulu dinyanyikan sambil senyum. Itulah jamannya "not the singer but the song' biarpun biduannya kelihatan. Baik, baik. Sekarang jamannya lain, musimnya lain. Apakah ini sekedar perkara musim saja, entahlah. Tapi bagi saya yang keblinger Sousa ini, jaman kemajuan cuma berarti jaman "voowaarts.... mams!!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini