MENUNGGU GODOT
naskah: Samuel Beckett sutradara: Dharnoto
produksi: LISENDRA
***
GRUP Lisendra dengan ini muncul untuk kedua kalinya di TIM (15,
16, 17 September). Berbeda dengan pemunculannya yang pertama
sebagai grup senior di Teater Arena, mereka tampak lebih rapih
kali ini di Teater Tertutup. Dengan kata pengantar pada brosur
yang sangat merendah-rendah dan meminta banyak pengertian dari
penonton agar jangan terlalu cepat menghakimi hasil kerja
mereka, mereka jauh lebih berhati-hati dari pementasan terdahulu
yang mengambil cerita Setahun di Bedahulu.
Ini juga untuk kedua kalinya naskah yang sama dimainkan. Pertama
kali publik mengenal Menunggu Codot, lewat pementasan Rendra
beberapa tahun yang lalu yang berlangsung di Teater Besar selama
4 jam dan diikuti dengan tekun oleh hadirin. Hal tersebut boleh
dikatakan semacam -- prestasi yang baik, mengingat banyaknya
dugaan sebelumnya bahwa naskah tersebut pasti akan sulit
diterima. Dengan gaya ketoprak dan ketrampilan teknis yang
cerdik Rendra berhasil membuat suasana menunggu yang monoton
dalam naskah jadi kaya dan mempesonakan. Kemampuan akting serta
penguasaan dialog oleh para aktor Bengkel Teater terutama dari
Khaerul Umam yang memainkan Gogo pada waktu itu, merupakan
musabab utama, mengapa banyak orang menganggap pementasan
tersebut adalah salah satu puncak dari Bengkel Teater yang
mungkin akan sulit diulanginya.
Ionesco, sama-sama pengarang sandiwara "absurd", jauh lebih
terkenal dari Beckett berkat usaha-usaha Teater Kecil
mementaskan beberapa karyanya. Di samping juga Ionesco
seringkali lebih kocak, dinamis dan segar. Sementara Beckett
hampir menyerupai tembok tebal yang dingin dan tak bersuara.
Drama-drama Beckett lebih menyerupai gumam yang lirih,
kendatipun langsung menyabet inti-inti kehidupan yang dasar.
Memilih naskah-naskahnya untuk bahan pertunjukan jauh lebih
banyak risikonya daripada memilih Ionesco, karena
naskah-naskahnya memerlukan aktivitas kongkrit dari penonton,
supaya dapat berkomunikasi. Menunggu Godot misalnya, sepintas
lalu tidak lebih dari permainan membunuh waktu dari dua orang
yang bernama Gogo dan Didi selama menanti Codot. Tidak ada laku
yang penting, kecuali kalau penonton segera teringat bahwa tak
pernah terpecahkan siapa sebenarnya Godot. Dan bahwa pada
akhirnya "menunggu" adalah semacam kenyataan dalam kehidupan
yang tak pernah terluputkan oleh siapapun sebagaimana kematian
dan kelahiran misalnya. Di sini Beckett jelas telah melukiskan
peristiwa manusia pada umumnya dalam satu sapuan yang besar.
Kemudian orang akan terpaksa mencari jawaban sendiri siapa
sebenarnya Lucky, budak yang terikat oleh tali dan menjunjung
barang-barang tuannya yang bernama Poo. Apakah ini semacam
simbul dari kehidupan, atau perlambang dari sesuatu yang bisa
dipakai sebagai mengorek-ngorek siapa sebenarnya Godot. Akan
muncul berbagai macam interpretasi yang seolah-olah semuanya
bisa benar, tanpa ada petunjuk-petunjuk mana sebaiknya yang
harus diikuti. Cerita ini mengambang, samar, misterius dan
terserah pada penonton. Yang jelas Gogo pada akhirnya tetap
menanti bersama Didi. Godot tak pernah datang.
Kurang Variasi
Lisendra menampilkan sebuah set dekor yang kurang sugestif. Di
tengah panggung sejumlah bambu tegak, sementara di belakangnya
disusun level-level yang menggambarkan suasana tak beraturan.
Lampu tidak diorganisir dengan cermat, sehingga ruangan banyak
yang memecahkan konsentrasi. Dengan memakai pakaian hitam-hitam
serta topi hitam, Budiman sebagai Gogo (Estragon) serta Dharnoto
sebagai ladimir (Didi) belum berhasil mencapai suasana menunggu
yang sedemikian rupa sehingga tragik "main-main" mereka tidak
terasa.
Juga tidak ada kesan bahwa segalanya adalah permainan membunuh
waktu yang sia-sia akan tetapi sangat disadari karena tidak ada
hal lain yang bisa dilakukan. Interpretasi yang dibawakan oleh
kedua pemain ini masih bersifat permukaan saja. Sehingga yang
mencuat baru beberapa kesempatan untuk menyusun bloking yang
manis, kesempatan mengisi ruang untuk kepentingan komposisi,
masih jauh dari kesempatan untuk melemparkan rasa trenyuh
terhadap kenyataan dalam kehidupan yang ternyata seperti
dagelan.
Dharnoto sebagai sutradara memang kali ini lebih berhasil dalam
memberi bentuk pemain-pemainnya untuk menampilkan pertunjukan
yang kompak dalam tempo yang lebih terkendali dari
pertunjukannya yang terdahulu, tetapi belum sempat menyentuh
inti persoalan dari menunggu yang dimaksudkan oleh Beckett. Hal
ini boleh jadi karena sikap jiwa dalam menghadapi dialog-dialog
yang mengucur dari mulut masing-masing tokoh masih mengarah
kepada keinginan untuk membuat drama ini menjadi bernilai
filosofis. Padahal dalam hal ini suasanalah yang lebih penting.
Tapi dengan AP Burhan sebagai Pozzo, I Wayan Sadra sebagai Lucky
Heru Kismadi sebagai anak kecil, Lisendra sempat juga menahan
jumlah penonton yang cukup banyak sampai akhir pertunjukan.
Beberapa adegan tampak sampai, paling tidak mengundang ketawa
karena kesia-siaan yang lucu bisa ditampilkan. Misalkan saja
Dharnoto memainkan Didi dengan lebih lugu lagi, serta membuat
duet Gogo dan Didi dengan lebih banyak variasi, pertunjukan ini
akan lebih mengesankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini