Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menunggu godot, di permukaan

Naskah: samuel beckett sutradara: dharnoto produksi: lisendra. (ter)

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENUNGGU GODOT naskah: Samuel Beckett sutradara: Dharnoto produksi: LISENDRA *** GRUP Lisendra dengan ini muncul untuk kedua kalinya di TIM (15, 16, 17 September). Berbeda dengan pemunculannya yang pertama sebagai grup senior di Teater Arena, mereka tampak lebih rapih kali ini di Teater Tertutup. Dengan kata pengantar pada brosur yang sangat merendah-rendah dan meminta banyak pengertian dari penonton agar jangan terlalu cepat menghakimi hasil kerja mereka, mereka jauh lebih berhati-hati dari pementasan terdahulu yang mengambil cerita Setahun di Bedahulu. Ini juga untuk kedua kalinya naskah yang sama dimainkan. Pertama kali publik mengenal Menunggu Codot, lewat pementasan Rendra beberapa tahun yang lalu yang berlangsung di Teater Besar selama 4 jam dan diikuti dengan tekun oleh hadirin. Hal tersebut boleh dikatakan semacam -- prestasi yang baik, mengingat banyaknya dugaan sebelumnya bahwa naskah tersebut pasti akan sulit diterima. Dengan gaya ketoprak dan ketrampilan teknis yang cerdik Rendra berhasil membuat suasana menunggu yang monoton dalam naskah jadi kaya dan mempesonakan. Kemampuan akting serta penguasaan dialog oleh para aktor Bengkel Teater terutama dari Khaerul Umam yang memainkan Gogo pada waktu itu, merupakan musabab utama, mengapa banyak orang menganggap pementasan tersebut adalah salah satu puncak dari Bengkel Teater yang mungkin akan sulit diulanginya. Ionesco, sama-sama pengarang sandiwara "absurd", jauh lebih terkenal dari Beckett berkat usaha-usaha Teater Kecil mementaskan beberapa karyanya. Di samping juga Ionesco seringkali lebih kocak, dinamis dan segar. Sementara Beckett hampir menyerupai tembok tebal yang dingin dan tak bersuara. Drama-drama Beckett lebih menyerupai gumam yang lirih, kendatipun langsung menyabet inti-inti kehidupan yang dasar. Memilih naskah-naskahnya untuk bahan pertunjukan jauh lebih banyak risikonya daripada memilih Ionesco, karena naskah-naskahnya memerlukan aktivitas kongkrit dari penonton, supaya dapat berkomunikasi. Menunggu Godot misalnya, sepintas lalu tidak lebih dari permainan membunuh waktu dari dua orang yang bernama Gogo dan Didi selama menanti Codot. Tidak ada laku yang penting, kecuali kalau penonton segera teringat bahwa tak pernah terpecahkan siapa sebenarnya Godot. Dan bahwa pada akhirnya "menunggu" adalah semacam kenyataan dalam kehidupan yang tak pernah terluputkan oleh siapapun sebagaimana kematian dan kelahiran misalnya. Di sini Beckett jelas telah melukiskan peristiwa manusia pada umumnya dalam satu sapuan yang besar. Kemudian orang akan terpaksa mencari jawaban sendiri siapa sebenarnya Lucky, budak yang terikat oleh tali dan menjunjung barang-barang tuannya yang bernama Poo. Apakah ini semacam simbul dari kehidupan, atau perlambang dari sesuatu yang bisa dipakai sebagai mengorek-ngorek siapa sebenarnya Godot. Akan muncul berbagai macam interpretasi yang seolah-olah semuanya bisa benar, tanpa ada petunjuk-petunjuk mana sebaiknya yang harus diikuti. Cerita ini mengambang, samar, misterius dan terserah pada penonton. Yang jelas Gogo pada akhirnya tetap menanti bersama Didi. Godot tak pernah datang. Kurang Variasi Lisendra menampilkan sebuah set dekor yang kurang sugestif. Di tengah panggung sejumlah bambu tegak, sementara di belakangnya disusun level-level yang menggambarkan suasana tak beraturan. Lampu tidak diorganisir dengan cermat, sehingga ruangan banyak yang memecahkan konsentrasi. Dengan memakai pakaian hitam-hitam serta topi hitam, Budiman sebagai Gogo (Estragon) serta Dharnoto sebagai ladimir (Didi) belum berhasil mencapai suasana menunggu yang sedemikian rupa sehingga tragik "main-main" mereka tidak terasa. Juga tidak ada kesan bahwa segalanya adalah permainan membunuh waktu yang sia-sia akan tetapi sangat disadari karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukan. Interpretasi yang dibawakan oleh kedua pemain ini masih bersifat permukaan saja. Sehingga yang mencuat baru beberapa kesempatan untuk menyusun bloking yang manis, kesempatan mengisi ruang untuk kepentingan komposisi, masih jauh dari kesempatan untuk melemparkan rasa trenyuh terhadap kenyataan dalam kehidupan yang ternyata seperti dagelan. Dharnoto sebagai sutradara memang kali ini lebih berhasil dalam memberi bentuk pemain-pemainnya untuk menampilkan pertunjukan yang kompak dalam tempo yang lebih terkendali dari pertunjukannya yang terdahulu, tetapi belum sempat menyentuh inti persoalan dari menunggu yang dimaksudkan oleh Beckett. Hal ini boleh jadi karena sikap jiwa dalam menghadapi dialog-dialog yang mengucur dari mulut masing-masing tokoh masih mengarah kepada keinginan untuk membuat drama ini menjadi bernilai filosofis. Padahal dalam hal ini suasanalah yang lebih penting. Tapi dengan AP Burhan sebagai Pozzo, I Wayan Sadra sebagai Lucky Heru Kismadi sebagai anak kecil, Lisendra sempat juga menahan jumlah penonton yang cukup banyak sampai akhir pertunjukan. Beberapa adegan tampak sampai, paling tidak mengundang ketawa karena kesia-siaan yang lucu bisa ditampilkan. Misalkan saja Dharnoto memainkan Didi dengan lebih lugu lagi, serta membuat duet Gogo dan Didi dengan lebih banyak variasi, pertunjukan ini akan lebih mengesankan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus