Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Akses pengobatan penyakit ginjal kronis atau gagal ginjal belum menyentuh sekitar 20 ribu penderita di Indonesia. Penyebabnya bukan hanya biaya yang mahal, tapi juga fasilitas hemodialisis atau cuci darah yang belum merata di seluruh Indonesia.
Baca: Hari Ginjal Sedunia, Intip Dua Penyebab Utama Penyakit Ginjal
Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Nefrologi Indonesia atau Pernefni Aida Lydia mengatakan, saat ini fasilitas hemodialisis di Indonesia ada sekitar 650 unit. Tapi sebagian besar berada di Pulau Jawa. Ditambah lagi, dokter spesialis penyakit ginjal di Indonesia jumlahnya belum memadai, baru sekitar 131 orang, sehingga harus melibatkan dokter spesialis penyakit dalam.
Hemodialisis menjadi salah satu alternatif yang paling banyak dipilih pasien gagal ginjal. Prosedur ini dijalani ketika ginjal tidak lagi berfungsi dengan baik untuk menyaring limbah, racun, dan cairan dalam darah. Biasanya, hemodialisis dilakukan di klinik atau rumah sakit yang memiliki alat cuci darah. Idealnya dilakukan tiga kali dalam seminggu.
Tapi sebenarnya cuci darah tak harus dilakukan di rumah sakit. Pasien gagal ginjal juga dapat menjalani prosedur cuci darah di rumah dengan metode peritoneal dialysis atau continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD).
Sayangnya, metode ini belum populer di Indonesia. “CPAD baru dijalani sekitar 2 persen dari tiga modalitas yang ada,” kata Aida di Jakarta, Rabu, 13 Maret 2019. Tiga modalitas penyakit ginjal kronis adalah hemodialisis, CPAD, dan transplantasi ginjal.
CPAD merupakan metode cuci darah menggunakan peritoneum atau selaput dalam rongga perut sebagai penyaring. Peritoneum memiliki ribuan pembuluh darah kecil seperti pada ginjal. Pasien akan dimasukkan selang atau kateter secara permanen di perut untuk memasukkan cairan dialisit. Cairan dialisit itu akan menarik limbah dari pembuluh darah sekitar, lalu akan dibuang.
Menurut Aida, cairan sebanyak 2 liter itu harus diganti empat kali dalam sehari. Hal yang memudahkan adalah pasien tak harus ke rumah sakit. Pasien bisa mengganti cairan itu secara mandiri di mana pun, asal ruangannya bersih. “Waktu yang digunakan sedikit. Biayanya juga akan lebih murah jika dipersiapkan dengan baik,” kata Aida.
Menurut Aida, ada beberapa hal yag membuat metode ini belum populer. Pertama, belum tersedianya perawat-perawat yang didedikasikan khusus untuk CPAD di daerah-daerah terpencil. Pasien butuh dilatih untuk menggantikan cairan ini secara mandiri.
Kedua, distribusi cairan ke rumah-rumah pasien juga kadang-kadang menjadi kendala.
“Tapi sebetulnya ini layanan yang sangat dibutuhkan untuk pasien di seluruh Indonesia,” ujar Aida.
Baca: Ingin Ginjal Sehat? Hindari Minuman Berpemanis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini