Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYEBAB banjir di kawasan Kemang dan Gandaria, Jakarta Selatan, serta Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, pada akhir Agustus lalu serupa. Pemicunya adalah hujan deras yang turun pada musim kemarau. Fenomena ini dikenal sebagai kemarau basah.
Di Indonesia, fenomena ini imbas dari anomali iklim global. Suhu dingin di Samudra Hindia bertemu dengan suhu panas di perairan Indonesia. Akibatnya suhu perairan di Indonesia menghangat. Kondisi ini ditunjukkan oleh angka indeks Indian Ocean Dipole (IOD) negatif, antara minus 0,5 dan minus 1,5.
"Suhu laut Indonesia dalam tiga bulan terakhir berada pada kisaran 27-30 derajat Celsius," kata Kepala Bidang Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Ardhasena Sopaheluwakan. Angka itu tiga derajat lebih tinggi ketimbang periode yang sama tahun lalu. Bahkan di perairan Sumatera bagian utara dan Jawa bagian barat pernah mencapai 31 derajat Celsius.
Suhu laut yang menghangat menghasilkan uap air lebih besar. Kondisi tersebut otomatis membuat awan cumulus congestus, yang berkembang menjadi awan konvektif hujan, lebih banyak, disertai petir dan angin kencang. Adapun pada musim kemarau normal, jenis awan yang muncul adalah awan tinggi, seperti cirrus, cirrostratus, dan cirrocumulus.
Dampaknya, intensitas, durasi, dan persistensi hujan meningkat. Dalam kondisi normal, curah hujan berkisar 50-100 milimeter per kubik. Namun, dengan adanya kemarau basah, curah hujan meningkat drastis menjadi di atas 300 milimeter per kubik.
Akibatnya terjadi banjir di wilayah dengan sistem drainase buruk, seperti di Kemang, Gandaria, dan Majalaya. Atau banjir bandang di Padang pada Juni lalu. Sedangkan di daerah dengan tanah gembur, terjadi longsor. Selain itu, banyak penerbangan ditunda lantaran muncul awan cumulonimbus. Nelayan pun enggan melaut akibat gelombang tinggi.
Kepala Pusat Informasi dan Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan setidaknya ada 63,7 juta jiwa di 315 kabupaten dan kota di Indonesia yang rentan terkena banjir. Sedangkan 40,9 juta jiwa di 274 kabupaten dan kota berada di wilayah rawan longsor. "Longsor menjadi bencana mematikan sejak 2014," ucapnya.
Potensi jatuhnya korban akibat bencana cukup tinggi. Untuk mengurangi kerugian lebih besar, terutama korban tanah longsor, sejak 2015 BNPB bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada mengembangkan sistem peringatan dini pergerakan tanah di 52 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Sistem tersebut meliputi pemetaan daerah risiko bencana, pembuatan skema penanganan bencana, sosialisasi dan pelatihan tanggap darurat, serta pemeriksaan rutin kesiapan logistik dan peralatan penanggulangan bencana. "Untuk antisipasi jangka panjang, kami lakukan penghijauan serta memanen air hujan dengan cara biopori, sumur resapan, embung, dan tendon air hujan," kata Sutopo.
Untuk menanggulangi terjadinya tanah longsor, kelompok peneliti gabungan dari Institut Teknologi Bandung, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menempatkan alat pemantau pergeseran tanah di daerah rawan, khususnya di Jawa Barat, pada Juni lalu. Wilayah itu meliputi antara lain Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan Kabupaten Bandung.
"Namun kami terhambat masalah pengoperasian alat," kata Muhammad Miftahul Munir, anggota tim pemasangan alat peringatan dini pergerakan tanah. "Sebab, sistemnya masih rumit. Banyak indikator longsor yang harus dilihat dan dianalisis sebelum disampaikan ke warga."
Tak hanya menimbulkan bencana alam, kemarau basah juga dapat merugikan sektor pertanian. Produksi kopi, tembakau, dan tanaman buah tropika, yang membutuhkan kondisi kering, terganggu. Jumlah hama bertambah karena kondisi tanah yang lembap. Dari segi kesehatan, kondisi basah seperti itu memicu aktifnya jentik nyamuk pembawa virus demam berdarah, Aedes aegypti.
Kemarau basah pernah terjadi beberapa kali di Indonesia, yakni pada 1998, 2010, dan 2013. Meski terjadi tiap tiga tahun sekali, fenomena ini bukan siklus tetap. "Atmosfer tak punya siklus. Kemarau basah merupakan bentuk chaos atmosphere," ujar Erma Yulihastin, peneliti klimatologi di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Dari pengamatannya, angin muson timur mulai menguat. Itu berarti musim kemarau akan berakhir. "Tampaknya akan berakhir bulan ini," ucapnya. Meski begitu, Erma mewanti-wanti, bukan lantas persoalan selesai. Perginya kemarau basah akan diikuti oleh fenomena alam lainnya: La Nina. Ya, kejadian alam ini adalah fenomena turunnya suhu muka air laut di Samudra Pasifik. Sama seperti kemarau basah, La Nina juga berdampak pada meningkatnya curah hujan.
Berdasarkan data hasil prediksi dynamic of the conformal cubic atmospheric model Lapan, Erma menunjukkan potensi hujan di selatan Indonesia, seperti Jawa, Bali, Lombok, dan kepulauan Nusa Tenggara, ada di 200-300 milimeter per kubik pada Oktober mendatang. Curah hujan tersebut akan meningkat pada November dan Desember di angka 250-400 milimeter per kubik. Sebetulnya La Nina muncul sejak Juli lalu, tapi aktivitasnya masih lemah.
"Gejala alam lainnya yang juga patut diwaspadai setelah kemarau basah adalah cold tongue dan cold surge alias aliran massa udara dingin nan kering serta bertekanan tinggi," kata Erma. Seruak dingin ini merupakan hasil rembesan polar vortex (pusaran udara dingin dari kutub). Semestinya seruak dingin hanya berkutat di wilayah kutub. Tapi, karena bocor, ia menjalar keluar dan menyebabkan berbagai peristiwa alam.
Amri Mahbub, Anwar Siswadi (Bandung)
Bencana Satu Dasawarsa Lebih
Anomali cuaca dan kemarau basah menyebabkan bencana hidrometeorologi tahun ini meningkat. Hingga akhir Agustus, terjadi 1.495 kali bencana alam yang menyebabkan 257 orang tewas, 303 cedera, 2,1 juta mengungsi, dan ribuan rumah rusak. "Longsor menjadi bencana paling mematikan sejak 2014," kata Kepala Pusat Informasi dan Data BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo