Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erik Meijaard
Koordinator Borneo Futures-Science for Change Initiative
KELAPA sawit menjadi salah satu tanaman yang mungkin paling dibenci di muka bumi saat ini. Tanyakan saja kepada setiap pencinta lingkungan. Hanya dengan mendengar namanya, mereka sudah antipati terhadap tanaman yang berasal dari Afrika ini.
Bagai tokoh antagonis dalam kisah Harry Potter, kelapa sawit layaknya Lord Voldemort dari dunia tanaman. Kelapa sawit dituding menciptakan kehancuran dan kebakaran hutan, pemusnah habitat dan populasi orang utan, melenyapkan masyarakat tradisional, serta merusak moral manusia. Pemerintah baru-baru ini juga mengumumkan akan memberlakukan moratorium atau penundaan pemberian izin selama lima tahun kepada sekitar 950 ribu hektare lahan perkebunan sawit untuk mencegah penggundulan hutan.
Mengapa hampir semua orang tidak suka dan marah kepada tanaman yang memiliki tampilan cantik ini? Ada apa dengan semua kebencian itu? Mengapa selalu kelapa sawit yang menjadi target? Mengapa pohon kelapa, yang merupakan tumbuhan sejenis, tumbuh pesat dan berproduksi tanpa pergolakan sosial dan lingkungan seperti kelapa sawit?
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), luas lahan yang ditanami kelapa sawit di seluruh dunia sekitar 20 juta hektare atau 60 persen lebih besar daripada lahan yang ditanami kelapa. Pohon kelapa umumnya tumbuh di daerah pantai tropis dan bahkan telah mengambil wilayah hutan dan bakau. Meski demikian, umumnya orang lebih menyukai kelapa dan produk-produknya.
Carilah di Internet dengan kata kunci "kelapa" atau "coconut", gambar produk organik, bersertifikat, dan sehat akan muncul. Kemudian lakukan juga dengan kata kunci "kelapa sawit" atau "oil palm", artikel dan gambar yang muncul adalah tentang lingkungan hidup, perusakan hutan hujan tropis, dan orang utan yang mati.
Citra kelapa sawit sebagai pohon yang jahat tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Ketika negeri lain membenci kelapa sawit, masyarakat di Indonesia dan Malaysia justru bersikap sebaliknya: menyukai kelapa sawit dan produk yang dihasilkannya.
Pemerintah menyukainya karena industri kelapa sawit memberi kontribusi terhadap produk nasional bruto. Investor memilih kelapa sawit karena tidak ada tanaman lain di dunia, sebut saja jagung, bunga matahari, kedelai atau jenis tanaman rapeseed, yang menghasilkan lebih banyak minyak dibanding sawit. Tanaman penghasil minyak dari kelapa sawit hanya menempati 4 persen dari total luas lahan yang ditanami tanaman penghasil minyak, tapi justru menghasilkan 30 persen dari seluruh minyak nabati. Pada akhirnya masyarakat lebih menyukai kelapa sawit karena memberi jaminan pendapatan jangka panjang, kompensasi untuk klaim tanah atau pekerjaan di perkebunannya.
Selain itu, meski kampanye negatif tentang kelapa sawit terus digencarkan, tarif impor dinaikkan, dan hambatan lain dikeluarkan, semua itu tak mampu membendung investasi di industri kelapa sawit. Pertanyaannya adalah apa yang bisa dilakukan. Atau bagaimana meningkatkan manajemen dan mengurangi dampak lingkungan dan sosial kelapa sawit.
Praktek kelapa sawit yang lebih baik adalah pilihan lain daripada melarang atau memeranginya. Selama beberapa tahun terakhir, saya secara teratur telah mengunjungi beberapa perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang mencoba meningkatkan kinerja perlindungan terhadap lingkungan. Salah satunya berlokasi di Kecamatan Matan Hilir Utara, Ketapang, Kalimantan Barat. Melalui perencanaan matang dan pengelolaan konservasi yang sangat baik di area mereka, perusahaan ini sekarang menjaga sekitar 150 orang utan dalam wilayah hutan konservasi di area kebun yang terkoneksi dengan adanya koridor satwa.
Orang utan Kalimantan baru-baru ini dinyatakan sebagai satwa kritis. Spesies ini membutuhkan segala bantuan untuk tetap ada. Mengingat pengelolaan konservasi yang umumnya kurang baik di Indonesia, orang utan di dalam kebun kelapa sawit yang dikelola dengan baik mungkin lebih aman daripada mayoritas orang utan di tempat lain.
Tapi ada lebih banyak cerita lagi. Perkebunan kelapa sawit tersebut dikelilingi hutan, termasuk Taman Nasional Gunung Palung di sisi utara, hutan rawa besar di sisi selatan, dan beberapa lagi hutan lindung di bagian timur. Lanskap yang lebih besar ini diisi sekitar 5.000 orang utan dan spesies lain yang cukup dikenal di Kalimantan, seperti bekantan, burung enggang, macan tutul, dan ada yang disebut tupai teraneh di dunia.
Lanskap besar itu, yang terdiri atas hutan lindung dan tidak terlindungi, perkebunan skala industri, serta pertanian kecil, dapat diperlakukan dengan dua cara. Pertama, deforestasi dan degradasi hutan, yaitu tanaman monokultur seperti kelapa sawit akan mendominasi. Kedua adalah apa yang saya cari, yaitu lanskap multifungsi: hutan alam menyediakan layanan ekologis untuk memastikan produksi yang berkelanjutan di lahan yang dikelola secara lebih intensif.
Hal ini penting karena hutan bukan hanya rumah untuk orang utan. Hutan menyimpan air, yang dikeluarkan saat musim kemarau ketika petani membutuhkannya. Hutan mencegah banjir. Hutan mengandung sejumlah besar karbon yang dapat mengurangi pemanasan global. Dan, masyarakat yang paling terpinggirkan dan miskin akan mendapat manfaat dengan jaring pengaman, tempat bagi mereka mencari ikan, berburu babi, atau mengumpulkan tanaman ketika tingkat pendapatan mereka berkurang.
Opsi lanskap pertama sangat mudah dan itulah yang telah dilakukan selama beberapa dekade terakhir. Pilihan kedua, perencanaan tingkat bentang alam yang tidak hanya memaksimalkan keuntungan jangka pendek dengan menebang semua hutan yang tersisa dan menggantinya dengan kelapa sawit, lebih sulit karena membutuhkan visi jangka panjang, cara-cara yang realistis untuk menerapkannya, serta pemahaman bahwa deforestasi punya keuntungan dan kerugiannya. Pilihan kedua adalah satu-satunya yang sejalan dengan visi Pertumbuhan Ekonomi Hijau untuk Indonesia.
Perusahaan kelapa sawit yang mendapat pencerahan dapat masuk opsi kedua. Mereka memiliki dana dan kapasitas memfasilitasi perencanaan tingkat lanskap; mempertemukan pemerintah daerah, organisasi, dan komunitas non-pemerintah; serta mencapai kesepakatan tentang penggunaan lahan di masa depan. Dengan kemampuan yang dimiliki, perusahaan dapat membantu mewujudkannya.
Mencoba melakukan pekerjaan konservasi dan mengoperasikan perkebunan kelapa sawit adalah hal yang kontroversial. Saya berpendapat: tanpa kolaborasi, 10-20 ribu orang utan yang tinggal di lanskap perkebunan akan mengungsi dan mungkin segera mati.
Saya sadar bahwa hanya ada segelintir perusahaan yang bermaksud baik yang mencoba melakukan hal yang benar; bahwa sebagian besar dari ratusan perusahaan lain mengabaikan tanggung jawab sosial dan lingkungan mereka. Tapi kita harus mulai pada suatu titik.
Melarang industri sawit adalah kesia-siaan. Ini artinya kita harus menekan pemerintah dan produsen penghasil kelapa sawit, baik skala besar maupun kecil, agar lebih serius menangani dampak lingkungan dan sosial industri ini. Pada saat bersamaan, kita pantas memuji dan memberi penghargaan untuk praktek-praktek yang baik sebagai satu-satunya cara menyelamatkan kelapa sawit dari stigma "jahat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo