Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis bedah konsultan bedah digestif dan anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. dr. Warsinggih, Sp.B-KBD, meminta untuk mewaspadai infeksi daerah operasi (IDO) yang mungkin terjadi pascaoperasi. Dia mengatakan IDO adalah infeksi yang terjadi di daerah operasi dalam kurun waktu 30 hari pascabedah, bahkan 1 tahun jika tindakan bedah menggunakan implan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Infeksi itu terjadi di daerah yang sudah dioperasi. Padahal, operasi yang dilakukan bukan karena penyakit akibat infeksi. Misalnya, kecelakaan awalnya daerah yang bersih," kata Warsinggih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada umumnya IDO ditandai dengan beberapa kondisi, seperti kemerahan dan bengkak di sekitar luka jahitan, keluar nanah atau darah, dan tidak jarang disertai rasa sakit yang luar biasa.
"Kemudian rasa hangat di daerah luka operasi dan membengkak. Biasanya kadang sampai mengalami demam," tambahnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan IDO diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yakni superfisial, deep, dan organ atau rongga. Superfisial merupakan jenis IDO yang terbatas di lapisan kulit dan jaringan subkutis. Deep jika infeksi mengenai lapisan yang lebih dalam hingga otot, sedangkan organ atau rongga jika infeksi telah mencapai organ atau berbentuk rongga.
Spesialis bedah saraf konsultan sekaligus ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Indonesia (IKABI) dr. Andi Asadul Islam, Sp.BS(K), menambahkan jika IDO sudah melebar atau mendalam, terutama jika pasien menggunakan implan, kondisinya akan semakin membahayakan.
"Berbahaya kalau sudah mendalam, terutama apabila ada penggunaan implan. Infeksi pada kulit yang awalnya hanya di luar bisa menyebar ke implan. Kalau sudah infeksi ke implan, implannya harus diangkat. Itu hal yang paling repot," ujarnya.
Dia juga mengatakan selain dapat memperburuk kondisi pasien, IDO juga dapat menyebabkan tambahan biaya perawatan dan ancaman meningkatnya resistensi antibiotik bahkan kematian.
"IDO menyebabkan kematian tiga kali lipat lebih tinggi. Beban biaya juga menjadi lebih tinggi karena durasi rawat inap yang lebih lama dan diperlukannya intervensi medis tambahan seperti operasi ulang," kata Andi.
Adapun, faktor risiko IDO, kata dokter Warsinggih, dapat berasal dari kondisi pasien, faktor lingkungan operasi, dan faktor mikroorganisme. Dari faktor kondisi pasien, IDO mungkin terjadi jika menderita hiperglikemia (tingginya kadar glukosa dalam darah), gizi buruk, obesitas, gangguan sirkulasi iskemia (kurangnya pasokan oksigen ke organ atau jaringan), hipoksia (kekurangan oksigen dalam jaringan), dan hipotermia (suhu tubuh yang rendah).
Pada pasien obesitas, Warsinggih mengatakan risiko IDO dapat meningkat hingga empat kali lipat. Hal ini karena peningkatan massa lemak dalam tubuh dapat menyebabkan lemahnya sistem imun sehingga rentan terhadap infeksi.
"Obesitas merupakan faktor risiko utama sejumlah penyakit yang dapat mempengaruhi keberhasilan operasi," kata Warsinggih.
Sedangkan faktor lingkungan operasi meliputi personel bedah dan operasi emergensi, sementara faktor mikroorganisme meliputi jenis bakteri resisten. Di lingkungan ruang operasi, personel bedah sebaiknya diminimalisir untuk menurunkan kejadian IDO.
"Hal ini juga sudah diatur dalam Clinical Practice Guidelines (CPG) IDO bahwa maksimal di dalam kamar operasi hanya 10 personel dan diharapkan tidak ada orang yang mondar-mandir," ujarnya.
Mengenai rekomendasi yang disusun dalam CPG IDO, Warsinggih mengatakan upaya penurunan kejadian IDO dapat dilakukan dari praoperasi, intraoperasi, dan pascaoperasi. Saat praoperasi, CPG merekomendasikan untuk menjaga kebersihan daerah operasi dengan mandi menggunakan sabun 24 jam sebelum operasi. Jika diperlukan pencukuran, maka dilakukan di kamar operasi.
Untuk pemberian antibiotik, dilakukan dengan indikasi yang tepat mengikuti pola kuman yang terjadi di rumah sakit, waktu yang tepat, dosis yang tepat, dan jalur yang tepat. Kemudian, semua spesialis bedah yang terlibat dalam perawatan luka pascaoperasi harus memahami dan melakukan pengawasan dalam proses penyembuhan luka, termasuk pemilihan balutan pascabedah.
Terkait perawatan luka pascaoperasi, Warsinggih menekankan pentingnya menjelaskan kepada pasien atau keluarga untuk menjaga kondisi luka operasi agar tetap terjaga dengan baik.
Berikut ini adalah beberapa tips yang dapat dilakukan dalam perawatan luka pasca operasi agar tidak terjadi IDO. Pertama, ikuti dengan seksama petunjuk penggunaan obat yang diberikan dokter. Hati-hati dengan obat yang dikonsumsi tanpa petunjuk dokter karena bisa jadi menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Kedua, jaga diri dengan mengonsumsi makanan dan minuman bergizi serta menjaga kebersihan diri.
"Pascaoperasi, kita membutuhkan lebih banyak protein, kurangi lemak, dan karbohidrat. Akan lebih baik jika berkonsultasi dengan ahli gizi," kata Andi.
Ketiga, jangan sampai melewatkan jadwal kontrol berikutnya. Selalu perhatikan jadwal kontrol dan datang sesuai tanggal yang telah ditetapkan. Jika melakukan perawatan luka pascaoperasi di rumah, jangan mengelupas bagian yang gatal atau kering dan mandi 48 jam pascabedah bila luka ditutup balutan kedap air. Jika boleh, ganti balutan sendiri, cuci tangan menggunakan sabun dan jangan sentuh area luka.
Pasang balutan atau perban dengan hati-hati, jangan sentuh bagian dalam balutan, dan jangan oleskan krim antiseptik di bawah balutan. Jika ada kecurigaan pada luka seperti bertambah nyeri atau mengeluarkan bau tidak sedap, jangan ragu untuk segera berkonsultasi ke dokter.
Andi mengatakan insiden IDO masih menjadi masalah serius dan penuh tantangan bagi para dokter spesialis bedah, khususnya di negara berkembang, serta menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas yang signifikan setelah operasi. Mengutip laporan dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2013, Andi mengatakan insiden IDO pada bedah abdomen sebesar 7,2 persen dan tahun 2020 dilaporkan 3.4 persen. Namun, dia menilai data pelaporan insiden IDO di Indonesia masih perlu ditingkatkan.