Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Perang melawan Bangke

7 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENCANA apa yang paling menghantui penghuni Lembah Napu, Lindu, dan Besoa, di Sulawesi Tengah. Jawabnya, penyakit bengke. Pada daerah pegunungan, 1.000 meter di atas permukaan laut ini, penyakit bengke, yang sering disebut demam keong, diketahui membawa akibat yang mengerikan: perut menggembung dan gembur, tungkai membengkak, lalu muntah darah. Dan kesudahannya pun hampir pasti: kematian. Lembah Napu, Lindu, dan Besoa, di seputar Danau Lindu, Kabupaten Poso, tercatat sebagai satu-satunya daerah endemi demam keong. Adalah keong Oncomelania hupensis lindoensis yang berperan sebagai inang cacing Schistosoma japonicum, penyebab penyakit itu. Habitat keong bercangkang cokelat yang panjangnya 6 milimeter ini di Indonesia hanya diketemukan di sektiar lembah berpaya berhawa sejuk itu. Lembah keong ini kembali menarik perhatian ketika tersiar kabar, dua pekan lalu, bahwa bengke kembali mengganas. Berita buruk itu memang mendapat pengesahan dari pejabat Kanwil Departemen Kesehatan Sul-Teng. "Sebagian besar penduduk lembah itu memang terjangkiti penyakit demam keong," ujarnya. Tapi buru-buru berita itu diluruskan oleh Dirjen PPM dan PLP (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman) dr. Adhyatma, M.P.H. "Jumlah penderita demam keong di sana tak lebih dari dua persen," ujarnya kepada Riya Sesana dari TEMPO. Catatan resmi di Dinas Kesehatan SulTeng menunjukkan prevalensi l-1,5% dari sekitar l0.000 jiwa yang mendiami ketiga lembah itU. Lima tahun silam, angka penderita demam keong (Schistosomiasis) di desa-desa seputar Lindu masih 28-40%. Perang terhadap demam keong memang telah dilakukan. Sejak awal 80-an ini, menurut Adhyatma, Depkes telah membagi-bagikan kepada penduduk lembah itu tablet anticacing dengan bahan aktif Praziquantel. "Ternyata sangat efektif," ujarnya. Semua penduduk di daerah rawan ini diberi dua pil itu setahun, secara gratis. Hasilnya memuaskan, tapi mahal. "Sebutir pil itu harganya Rp 10.000," tutur Dirjen PPM dan PLP ini. Maka, untuk menekan ongkos, mulai tahun ini pil hanya akan diberikan kepada orang yang positif terinfeksi cacing ganas ini. Cacing Schistosoma japonicum memang berbahaya. "Dalam 5-10 menit, dia mampu menembus kulit manusia," ujar Dr. Pinardi Hadiwidjaja, Kasubag Helmintologi, FK UI. Lalu, larva cacing yang disebut serkaria ini berkelana ke sekujur tubuh mengikuti aliran darah. Larva ini sebagian parkir di lantung, paru-paru, atau hati, sambil melukai organ tubuh di sana sini. Pada tahap pertama ini penderita hanya akan merasakan gejala demam dan batukbatuk. Hanya larva yang tinggal di hati yang mampu tumbuh menjadi dewasa, sekitar 40 hari setelah infeksi. Cacing betina bertelur di pembuluh balik sekitar usus. Seekor betina mampu menghasilkan 500 telur sehari. Sebagian telur akan masuk ke usus dan keluar bersama feses. Yang lain mengikuti aliran darah dan menimbulkan kerusakan pada jaringan hati, pembuluh dekat tenggorokan, dan tungkai kaki. Dalam 5--10 tahun, timbul gejala klinis yang khas: pembengkakan pada bagian-bagian itu dan penggembungan perut. Telur yang keluar bersama feses akan segera menetas menjadi mirasidium, fase pralarva, jika keadaan lingkungan memungkinkan: berada dalam air dengan suhu 25--30C dan pH-nya antara 5 dan 8. Keong Oncomelania inilah satu-satunya inang yang bisa menolong mirasidium. Dalam tubuh si keong, mirasidium akan tumbuh menjadi sporokista yang kemudian berbiak dengan membelah diri. Seekor mirasidium, setelah 62 hari berada dalam tubuh keong, akan menghasilkan 10.000 ekor serkaria, yang siap mencari mangsa baru. Serkaria mampu menginfeksi mamalia, seperti sapi, kuda, kerbau, anjing, babi, atau tikus selain manusia. Maka, untuk memotong daur hidup si cacing, hanya ada satu pilihan: melenyapkan keong Oncomelania dari lembah itu. Tapi memberantas keong itu, secara serta merta, bisa menimbulkan bencana baru, karena dia telah telanjur menjadi satu komponen penyangga keseimbangan komunitas lembah yang berpaya ini. "Mungkin lembah itu merupakan daerah kutukan Tuhan," ujar Adhyatma, tentu, berseloroh. Putut Tri Husodo, Laporan Riya Sesana (Jakarta) & Andi Makassau (Poso)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus