PELTU Pol I Nyoman Suwerda, 47 harus menanggung beban Rp 200.000-Rp 260.000 sebulan. Bintara polisi yang bertugas di Polda Jatim ini telah bertahun menderita penyakit kencing manis (Diabetes mellitus). Bahkan kini dia harus menghadapi kenyataan yang lebih pahit: telah terjadi komplikasi diabetes-ginjal. Sebagai peserta asuransi kesehatan (Askes), Nyoman agak tertolong. Biaya pengobatannya mendapat penggantian. "Tapi suka terlambat sampai lima bulan," ujarnya. Nyoman Suwerda barangkali tak akan pernah berpisah dengan penyakitnya itu. "Diabetes memang sulit disembuhkan sama sckali. Dia bisa menyerang penderita seumur hidup," ujar Prof. Dr. Askandar Tjokroprawiro dari Pusat Diabetes FK Unair, Surabaya. Para penderita diabetes di Surabaya, seperti halnya I Nyoman Suwerda, kini telah menghimpun diri. Sebanyak 460 penderita, dari yang ringan sampai berat, bersatu dalam wadah Persatuan Diabetes (Perdiab) Surabaya. Mereka hanya sebagian kecil dari sekitar 27.000 penderita diabetes di kota itu. Perdiab "berlindung" di bawah Pusat Diabetes FK Unair, yang berkedudukan di RS dr. Sutomo Surabaya, dan diasuh oleh 44 dokter. Di Bandung, kelompok serupa malah sudah dirintis 12 tahun lalu. Tapi, seperti halnya di Surabaya, Perkumpulan Diabetes Bandung (PDB) belum terlalu memasyarakat. PDB baru memiliki 300 anggota berusia di atas 40 tahun, dari kalangan kelas ekonomi bawah-menengah. Padahal, kuat dugaan, di Bandung terdapat ribuan penderita diabetes. Menjadi anggota PDB rupanya bisa meringankan beban penderita. Setidaknya, beban biaya pengobatan bisa menjadi lebih ringan. Sebab, hampir tiga tahun lalu, ada delapan buah apotek dan delapan klinik laboratorium di Bandung yang memberi rabat bagi anggota PDB. Kedelapan apotek itu bersedia memangkas harga obat antara 10% dan 25%. Sedangkan kedelapan klinik laboratorium tadi bersedia mengenakan potongan biaya 10%. Lumayan, 'kan ? Bukan hanya potongan biaya pengobatan yang menarik Ny.Tony A.S., 63, untuk menjadi anggota perkumpulan ini. Di tengah kawan senasib, "Saya bisa berbesar hati ternyata, di dunia ini saya tak sendirian menanggung diabetes," ujar nenek yang sudah hampir 20 tahun jatuh bangun menghadapi kencing manis. Nyonya Tony juga tak pernah melewatkan acara ceramah diabetes, setiap tiga bulan yang diselenggarakan PDB. Sebaliknya, Pusat Diabetes Surabaya (PDS) belum mampu mendorong apotek atau klinik laboratorium memberi potongan harga bagi anggota Perdiab Surabaya. Lembaga ini baru bisa memberi pelayanan informasi bagi anggota, seperti ceramah. "Untuk jangka panjang, kami ingin punya klinik sendiri," ujar dr. Pranawa, Sekretaris I PDS. Sebelum melangkah jauh, PDS memang merasa perlu mengumpulkan informasi ilmiah lebih dahulu, yakni berupa data dasar jumlah kasus diabetes di kalangan masyarakat. Sejak tahun 1983, Kelompok Studi Diabetes Mellitus FK Unair, yang di kemudian hari menjelma menjadi PDS, telah mulai menghimpunkan data dilakukan tidak saja atas 31.000 warga kota Surabaya, tapi juga dikenakan terhadap 9.400 warga dari 48 desa yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Ke-48 desa itu dibagi dalam empat wilayah: Malang, Lamongan, Trenggalek, dan Sampang--Bangkalan. Penelitian prevalensi diabetes di pedesaan ini memang baru meliput 9.400 sampel dari 15.000 sampel yang direncanakan. Hasil sementara menunjukkan bahwa 1,01% sampel dinyatakan positif menderita diabetes. Lebih dari separuhnya, 52%, diduga menderita diabetes gara-gara salah diet, atau biasa disebut Malnutrition Related Diabetes Mellitus (MRDM). Diabetes akibat kesalahan gizi memang lazim menyerang masyarakat pedesaan, yang konsumsi proteinnya terhadap karbohidrat relatif rendah (TEMPO, 2 Agustus 1986). Ketidakseimbangan konsumsi itu, konon, mengakibatkan kerusakan pankreas, organ yang memproduksi hormon insulin. Padahal, hormon inilah yang mengontrol konsentrasi gula pada darah. Akibatnya, berjangkitlah diabetes itu. Di kalangan masyarakat desa memang sering dijumpai nisbah konsumsi protein-karbohidrat yang sangat rendah. Di Indonesia, saat ini, ditaksir terdapat sekitar 1,336 juta penderita diabetes. Yang mencemaskan, penderita diabetes mudah terserang penyakit sekunder, sehingga timbul komplikasi ginjal, impotensi, TBC, paru, tekanan darah tinggi, atau penyakit mata katarak. Dan diketahui pula bahwa penderita diabetes dinyatakan sebagai kelompok berisiko tinggi terhadap beberapa penyakit genting lainnya. Kalangan kedokteran telah mencatat bahwa penderita diabetes ternyata dua kali lebih mudah terkena penyakit jantung koroner, 17 kali lebih gampang terkena penyakit ginjal, dan punya peluang 25 lipat terserang kebutaan dibanding orang normal. Mengingat prevalensi diabetes yang begitu tinggi di Indonesia, sungguh masuk akal jika Kongres I Persadi (Persatuan Diabetes Indonesia) di Bandung, pertengahan tahun lalu, menyerukan agar pakar-pakar diabetes membentuk wadah penanggulangan penyakit ini di wilayah masing-masing. Melalui wadah itu, barangkali, akan terjalin komunikasi yang lebih sehat antara dokter dan pasien, atau di antara sesama penderita. Wadah semacam itu diyakini Prof. Askandar bisa efektif menolong penderita diabetes. "Dan bisa menekan ongkos pengobatan," ujarnya penuh harap. Putut Tri Husodo, Laporan Biro Bandung & Biro Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini