KETIKA mengunjungi Pulau Lembe, Walikota Bitung S.H. Sarunda terkejut dan bingung. Pulau yang terletak di mulut Pelabuhan Samudera Bitung itu tampak terbengkalai. Perawakan penduduk rata-rata kerdil, wajah mereka pucat dan lesu. Tubuh anak-anak balitanya kurus, perut mereka membusung. Sarunda pun meminta aparat kesehatan membongkar angka-angka statistik dan menggabungkannya ke dalam sebuah kesimpulan. Ia ingin tahu tingkat kesehatan di sana dan kalau bisa mencarikan jalan keluarnya. Kesimpulan studi empiris itu rampung belum lama ini. Dua pekan lalu, Sarunda dan aparat kesehatan Bitung mengemukakan beberapa kesimpulannya pada Phill M. Sulu dari TEMPO. Data statitistik ternyata sangat mengejutkan. Harapan hidup (life expectation) 1986 di pulau yang terpencil itu hanya 35,6 tahun. Pada 1984, harapan hidup itu 18,3 tahun, dan pada 1985: 21,7 tahun. Angka kematian pada kelahiran - salah satu faktor penentu tingkat harapan hidup - sampai tahun 1986, masih sangat tinggi: 333/ 1000 kelahiran. Posisi Lembe betul-betul merosot di tengah kenaikan angka indeks fisik kualitas hidup nasional (physical quality of life index) yang cukup tinggi. Pada pidato kenegaraan di DPR, 15 Agustus tahun lalu, Presiden Soeharto mengemukakan bahwa harapan hidup penduduk Indonesia sudah mencapai 56 tahun, dan akan menjadi 61 tahun di 1990. Tingkat kematian pada kelahiran sudah bisa ditekan hingga mencapai 80/1000 kelahiran - batas yang dianggap tinggi: 100/1000 kelahiran. Di DI Yogyakarta, berdasarkan perhitungan statistik lokal, angka harapan hidup malah sudah mencapai 60,5 tahun untuk daerah pedesaan dan 64,6 tahun untuk kawasan perkotaan. Perlu dicatat itu adalah angka tertinggi di Indonesia. Belum lama ini, Bupati Sleman mengklaim harapan hidup di daerahnya bisa mencapai 66 tahun. Sarunda menemukan, rata-rata penduduk Lembe mengalami rawan gizi. Yang aneh, tingkat perekonomian kecamatan 10 desa seluas 50,40 km2 berpenduduk 13.390 jiwa itu tidak buruk. Pranata kesehatan juga bukannya tidak ada. "Penduduk pulau ini tidak mengalami rawan pangan," ujar Sarunda. "Tapi mereka mengalami rawan gizi." Tidak jelas berapa penghasilan rata-rata penduduk, tapi Sarunda memperkirakan perolehan mereka cukup. Dari pengamatan TEMPO di lokasi, terlihat makanan pokok penduduk hanya ubi dan kadang-kadang ikan, dengan menu sehari-hari yang sangat tidak teratur. Padahal, Pulau Lembe adalah penghasil ikan cakalang dan pemasok hasil bumi, seperti pisang tandu, cabai, dan sayur-mayur, terutama untuk Kota Adiminstratif Bitung. Pranata kesehatan di Bitung Selatan tampaknya tak berdaya. Di sana terdapat satu puskesmas, satu puskesmas pembantu dan lima pos pelayanan terpadu (posyandu). Pranata kesehatan ini dilayani dua orang dokter dan 12 tenaga paramedis. Petugas kesehatan telah melatih pula puluhan kader kesehatan untuk melayani posyandu. Sementara masih mencari pangkal buruknya tingkat kesehatan Lembe, Walikota Bitung cenderung menunjuk permukimam penduduk yang sangat jorok sebagai salah satu penyebab. Mungkin karena permukimam di Lembe awalnya adalah permukiman darurat - penduduk rata-rata transmigran spontan dari Kepulauan Sangihe Talaud. Corak perumahan darurat inilah yang berkelanjutan mengganggu kesehatan. Hasil penelitian aparat kesehatan setempat menunjukkan, kurang gizi di sana akibat defisit protein. Ini terlihat nyata pada gejala kwashiorkor atau penyakit tropis pada anak-anak akibat kekurangan protein. Angka kwashiorkor pada anak-anak balita termasuk sangat tinggi, yaitu 62%. Ini sebenarnya gejala aneh, mengingat ikan sebagai makanan, sumber protein. Berdasarkan penelitian dr. Steve Nayoan, yang bertugas di Bitung Selatan, ada kemungkman protein sebagai sumber energi habis untuk memerangi penyakit saja. Daftar penyakit di Lembe sangat panjang 40% penduduk menderita TBC, 30% terjangkit malaria tropikana, 10% kelahiran meninggal karena tetanus tali pusat, dan 9% penduduk kena diare (penyakit perut) kronis. Yang mengkhawatirkan, kwashiorkor bisa mengakibatkan terganggunya pertumbuhan otak pada anak-anak, di samping menimbulkan penyakit hati kronis. Pada sejumlah anak, tak diragukan lagi, telah ditemukan gejala pembengkakan hati. Di samping itu, masih menurut Nayoan, alkoholisme adalah kebiasaan buruk yang merusakkan di Pulau Lembe, yang bisa diperkirakan pula sebagai pangkal buruknya tingkat kesehatan. Angka pecandu alkohol di pulau terpencil itu termasuk tinggi - tidak disebutkan berapa. Selain menghambur-hamburkan uang, kebiasaan minum minuman keras jelas merusakkan kesehatan di samping menghilangkan nafsu makan, menurunkan produktivitas, juga membangun rasa pesimistis. Yang disebut terakhir ini terlihat nyata pada keengganan membuang kebiasaan hidup jorok di sana. Kepala Subdinas Depkes Bitung dr. Liogu mengungkapkan, sulit sekali membina kesehatan penduduk. Pernah posyandu setempat mengorganisasikan pembuatan jamban umum. Target memang tercapai dan 127 jamban dibangun. "Tapi penduduk tetap saja buang air besar di pantai dangkal, dengan alasan lebih mudah mengambil air," ujar Liogu. Contoh lain, ibu-ibu di Lembe tak bisa meninggalkan kebiasaan menjemur popok bayi di tanah yang kotor tak jarang dekat dengan tempat buang air besar. Akibatnya, bayi yang masih rentan mudah sekali terserang penyakit. Sementara ini, untuk mengatasi rawan gizi, aparat kesehatan cuma bisa berulang-ulang memberi penjelasan dan menyuplai susu. Di samping itu, memberi pelayanan kesehatan kuratif dan mengedrop berbagai obat untuk mengurangi jumlah penderita penyakit. Untuk ikhtiar ini, Lembe terhitung paling besar menyerap dana pengobatan - 10% dari dana yang disediakan untuk semua Kabupaten Minahasa. Tapi itu semua, menurut Nayoan, belum dapat dikatakan efektif, karena obat yang disediakan untuk Kabupaten Minahasa umumnya bukanlah obat yang dibutuhkan penduduk Lembe. Barangkali mereka memang masih harus menunggu. "Cara yang efektif mengatasi lingkaran buruk gizi di pulau Lembe ini masih dicari," ujar Sarunda. Jim Supangkat, Laporan Phill M. Sulu (Manado) & Syahril Chili (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini